KEMARAHAN meledak di Bukit Harapan, 120 km dari Medan. Entah di mana mereka berkumpul, sekitar 200 lelaki muncul tiba-tiba di kawasan pelacuran tersebut, Jumat malam, 17 Januari lalu. Mereka bersenjata: kapak, parang, tombak, kayu. Hiruk-pikuk yang biasanya mewarnai daerah itu berganti senyap. Musik dangdut dari kaset dengan suara yang asal keras langsung lenyap. Hasbi, salah seorang germo di situ, yang agaknya mencium gelagat tak enak, buru-buru menemui mereka. Bukan musyawarah yang diperoleh germo itu, tapi sebiji batu bata hinggap di kepalanya. Mulailah suasana ramai kembali. Bukan oleh musik, tapi jeritan para pelacur yang lari menyelamatkan diri. Lalu tiba-tiba api menyala di rumah bordil Hasbi. Suasana makin ribut. Rombongan yang marah itu meneruskan perjalanan, dan rumah bordil yang terbakar makin banyak. Kurang dari dua jam 17 rumah bordil di Bukit Harapan jadi arang. Mereka memang tak kekurangan bahan bakar. Jalan di depan daerah itu menghubungkan Aceh dan Pangkalanbrandan, kota pengilangan minyak. Tiap saat ada saja mobil tangki yang lewat, setelah diberhentikan, disedot miyaknya barang satu-dua jeriken. Keesokan harinya masih datang serombongan laki-laki, sebagian besar masih remaja ternyata, menyempurnakan pembasmian: puing rumah yang belum terjilat api dibakar. Aksi ini tak berhenti di situ. Sabtu malam pembakaran rumah bordil dilanjutkan ke Bukit Pelita dan Bukit Selamat -- 4 km dari Bukit Harapan. Hari Minggu, 19 Januari, siang, dengan tiga truk, operasi ini pun berlanjut, menyapu bersih rumah-rumah bordil di tiga Bukit. Hasilnya 52 rumah pelesiran rata dengan tanah. Tak semuanya dibakar. Yang berlokasi dekat dengan rumah penduduk hanya dirobohkan, menjaga agar api tak menjalar ke rumah yang tak menjadi sasaran. Untung tak ada korban. Rumah pelacuran yang berbaur dengan permukiman memang mengundang masalah. Penduduk yang mengobrak-abrik kompleks pelacuran bukan sekali ini saja terjadi di Sumatera Utara. Juni 1984, umpamanya, ibu-ibu Kecamatan Sibiru-biru, Deli Serdang, memporakperandakan tiga rumah bordil di kampung mereka. Akan halnya penduduk Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, sudah sejak 1983 merasa terganggu oleh rumah-rumah itu. Bukannya mereka sok alim. Ketika pertama kali berdiri satu atau dua rumah bordil di desa itu, pada 1976, masyarakat setempat pura-pura tak acuh saja. Tapi usaha yang konsumen utamanya, konon, para sopir yang kebetulan lewat itu ternyata laris. Maka, pada 1983 tak kurang dari 40 rumah bordil berdiri sudah. Dan penduduk pun mulai terganggu. "Mereka berjoget dan berpelukan dengan langganan tak cuma di kamar, tapi juga di jalanan," kata Atek Panggabean, kopral purnawirawan TNI AD yang jadi Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Halaban. Lalu tiap pagi dan sore mereka seperti sengaja mengiklankan dagangannya: mandi di kamar-kamar mandi -- yang biasanya berada di halaman depan rumah -- yang dindingnya cuma setinggi satu meter. Kemudian anak-anak muda desa itu rasanya makin jarang di rumah, eh, ternyata mereka ikut main-main di tempat pelesiran. Satu hal lagi yang membuat penduduk tak merasa aman, hampir tiap minggu di situ terjadi perkelahian dan pasti jatuh korban. Bahkan pernah, pada 1984, dua mayat ditinggalkan begitu saja di halaman rumah penduduk. Surat aduan pun dikirimkan ke Camat, "Sampai lima kali," kata Atek, tapi tak ada hasilnya. Memang, tiga tahun lalu pernah ada razia, dan 60-an pelacur ditangkapi. Toh, bak peribahasa "patah tumbuh hilang berganti", pelacur baru datang lagi, malah jumlahnya lebih banyak. Terakhir di wilayah itu bermukim 200-an pelacur, hampir menyamai jumlah penduduk Desa Halaban yang hanya 300 jiwa itu. Maka, kemarahan itu memang tak bisa dielakkan. "Bak telur dierami, suatu saat pasti menetas juga," kata Atek, yang, karena desakannya kepada Kepala Desa agar rumah-rumah bordil itu ditindak ditolak, mengundurkan diri sebagai ketua LKMD, awal Januari lalu. Ini memang masalah lama, bila para tetua desa, bahkan camat, tak berdaya: konon, di belakang rumah-rumah pelesiran itu berdiri oknum berseragam. Pihak Polisi di Besitang menilai tindakan rombongan itu sebagai tindak kriminal. "Tapi pelaku-pelakunya tak dikenali, jadi tak bisa kami adakan penangkapan," kata Serma (polisi) Iskandar dari Polsekta tersebut. Maka, para pendiri rumah bordil yang tentu saja tak punya izin resmi itu pun mengeluh. "Ini main hakim sendiri, kok tidak ditangkap," kata Syukur Sihombing, pemilik rumah bordil di situ sejak 1980. Ia mengaku selama ini tak cuma mengumpulkan pelacur, tapi juga membawa mereka ke jalan lurus. "Sudah lima orang saya tobatkan," katanya. Akan halnya ia sendiri mengapa tak bertobat, "Saya tak bisa kerja yang lain bisa-bisa saya malah jadi perampok," kata bapak tujuh anak ini. Dan itulah barangkali persoalan yang sebenarnya. Di balik masalah moral, soal lapangan dan kemampuan kerja menjadi pendorong munculnya pelacuran. Ini soal klasik, memang. Contohnya, para pelacur Desa Halaban yang diobrak-abrik itu tak juga jera. Kabarnya, kini mereka pindah ke Kualasimpang, Lhok Seumawe, dan Banda Aceh. Laporan Monaris Simangunsong (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini