IA datang Jumat petang dan kembali pulang hari Minggunya. Toh kunjungan singkat dua hari itu bisa dikatakan telah membuka babak baru dalam hubungan antara Indonesia dan Papua Nugini. Hampir semua pihak sepakat: kunjungan Menlu PNG Legu Vagi ke Jakarta pekan lalu berhasil. Legu Vagi, 35, sebelum mengunjungi Jakarta, juga mengunjungi Kepulauan Solomon, Vanuatu, Fiji, dan Australia. Ini adalah kunjungan dinasnya ke luar negeri yang pertama sejak November 1985, ketika ia diangkat sebagai menlu dalam kabinet PM Paias Wingti. Vagi pernah bertugas sebagai diplomat di Kedubes PNG di Jakarta antara 1975 dan 1978. Di Jakarta, selain berunding dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Vagi juga bertemu dengan Presiden Soeharto, Mendagri Soepardjo Rustam, dan Pangab Jenderal L.B. Moerdani. Keberhasilan kunjungan Legu Vagi tercermin dalam pernyataan bersama berisi 20 pasal yang dikeluarkan di akhir kunjungannya. Tak syak lagi, yang terpenting adalah kesepakatan untuk menyelesaikan masalah pelintas batas dan pengungsi dari Irian Jaya yang sejak 1984 mengganjal hubungan kedua negara. Seperti termaktub dalam pernyataan bersama tersebut, Indonesia "menghormati keputusan PNG untuk memberi peranan yang lebih besar pada UNHCR di wilayah PNG" dalam usaha penyelesaian masalah pelintas batas itu. Kedua negara sependapat, masalah perbatasan tidak boleh mempengaruhi hubungan persahabatan kedua negara. Kedua pihak juga menegaskan kembali kesepakatan: tidak akan mengizinkan wilayah mereka dipakai sebagai tempat perlindungan atau basis kegiatan yang ilegal atau tidak sah terhadap negara lain. Selama dua tahunan ini masalah sekitar 10 ribu pengungsi dari Ir-Ja yang menetap di PNG memang menjadi duri dalam hubungan RI--PNG. Pengungsian dimulai pertengahan Februari 1984, menyusul kegagalan kelompok OPM dan simpatisannya di Jayapura untuk meletuskan "revolusi bersenjata" pada 13 Februari di kota itu. Waktu itu mereka memang berhasil mengibarkan bendera OPM di gedung DPRD Jayapura, tapi rencana yang lainnya gagal karena takut ditangkap, kelompok ini lari membawa keluarganya ke hutan, dan akhirnya menyeberang perbatasan masuk ke wilayah PNG. Arus itu makin deras. Ada dugaan, aktivis OPM yang bersenjatalah yang memaksa penduduk di beberapa desa di perbatasan menyeberang perbatasan guna menimbulkan kesan bahwa kekuatan OPM dan simpatisannya cukup besar. Jumlah mereka diduga sekitar 10 ribu. Oleh pemerintah PNG, ribuan pengungsi ini ditempatkan di beberapa barak. Beberapa kali usaha menyelesaikan masalah ini gagal. Pemerintah Indonesia bersedia menerima para pelintas batas itu kembali, tapi mereka yang terbukti pernah melakukan tindakan kriminal harus dihukum. Untuk itu para pengungsi harus didaftar dan diteliti, sebelum mereka diizinkan masuk kembali. Usaha registrasi ini tidak pernah berhasil. Di barak-barak, umumnya kelompok OPM yang mendominasi. Mereka kabarnya menghalangi penduduk yang ingin balik ke kampungnya, setelah sadar bahwa mereka terbujuk propaganda OPM. Sementara masalah ini terkatung-katung, keadaan diperburuk oleh kegiatan bersenjata gerombolan OPM yang lari bersembunyi di wilayah PNG setiap kali dikejar ABRI. Pemerintah PNG memang tidak mengizinkan wilayahnya dipakai sebagai pangkalan OPM, tapi situasi lapangan serta keterbatasan kekuatan tentara PNG agaknya membuat mereka tidak mampu mengatasi masalah ini. Pada 21 November 1985, pemerintahan PM Michael Somare jatuh dan diganti kabinet baru di bawah PM Paias Wingti. Seperti juga Somare, Wingti tampaknya ingin memelihara hubungan baik dengan Indonesia dan bertekad menyelesaikan masalah pengungsi ini. Dasar sikapnya: meminta bantuan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) dan meminta diberlakukannya Konvensi PBB dan Protokol 1967 mengenai status pengungsi. Cara, yang selama ini ditolak Indonesia ini, memang termudah buat PNG, terutama karena bisa mengatasi masalah keuangan, sebab UNHCR dengan sendirinya akan menanggung sebagian besar biayanya. UNHCR sekaligus juga diharapkan bisa mencari negara ketiga buat menampung para pengungsi politik ini, sebab PNG tampaknya tak ingin menampung aktivis OPM yang bisa lagi mengganjal hubungannya dengan Indonesia. Pemerintah Indonesia, meski tak terang-terangan menyetujui rencana PNG ini, Juga tak menyatakan penolakannya, dan cuma menyatakan -- dalam bahasa diplomatik yang khas: "menghormati" keputusan tersebut. Toh sikap ini sudah merupakan terobosan dalam pemecahan masalah itu. Tak heran PM Paias Wingti menyambut gembira hasil kunjungan menlunya. Kapan rencana Wingti itu akan dimulai, belum jelas. Langkah awal tampaknya adalah memisahkan antara ribuan "pelintas batas" dan "pengungsi", yang menurut Wingti cuma berjumlah "beberapa ratus". "Begitu kembali ke PNG, kami akan membentuk suatu tim, dan mempelajari masalah ini lebih lanjut yang melibatkan banyak departemen, dan membutuhkan waktu lama," kata Menlu Vagi dalam konperensi persnya Sabtu pekan lalu. Sementara menunggu pelaksanaannya, para pengungsi ini akan dipindahkan ke "suatu tempat yang layak", di pedalaman, hingga mereka tidak gampang melakukan pengacauan. Yang akan menjadi masalah di kemudian hari tampaknya: menemukan negara ketiga yang bersedia menampung beberapa ratus pengungsi itu. PNG sendiri agaknya ingin Australia menjadi negara penampung itu. Namun, Menlu Australia Bill Hayden beberapa kali telah menolak secara halus, dengan mengingatkan adanya persyaratan bahwa yang diterima negaranya hanyalah mereka yang "memiliki keterampilan" hingga bisa melebur dalam pembangunan Australia. Sebagian besar pengungsi dari Ir-Ja agaknya tak bisa memenuhi persyaratan ini. Meski duri telah tercabut, masih perlu waktu sebelum masalah ini terselesaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini