Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ketika Mantra Tak Lagi Laku

AS mengebom Irak lagi dengan alasan yang tak masuk akal: Irak membuat senjata pemusnah massal.

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COBAAN teramat berat dihadapi rakyat Irak di bulan Ramadan ini. Bila di Indonesia suara beduk bertalu-talu yang mengantarkan masyarakat menjalankan ibadah puasa, di Baghdad ledakan hujan bom yang membahana. Sementara itu, media massa dunia yang didominasi Barat umumnya mengelu-elukan serangan militer Amerika Serikat (AS) itu.

Mereka memang berdansa sesuai irama gendang dari Washington DC. Baghdad layak dihujani bom karena Irak mempersulit kerja para inspektur PBB yang menjalankan tugas mencari pabrik-pabrik pembuat senjata pemusnah, begitulah mantra yang diucapkan para pejabat AS. Mantra yang perlu diucapkan berulang-ulang untuk menutupi kenyataan bahwa Dewan Keamanan PBB belum lagi mengambil kata sepakat soal ini.

Tapi, adalah kekhawatiran PBB tak akan sepakat, barangkali, yang justru membuat Presiden Clinton mengambil keputusan sepihak. Masalahnya, jualan Washington bahwa Irak perlu diisolasi—dengan alasan upaya mereka membuat senjata pemusnah massal merupakan ancaman bagi umat manusia—makin lama makin tak laku, termasuk di kalangan rakyat AS sendiri.

Tak kurang dari mantan pejabat AS sendiri menampik jualan ini. ''Orang yang berpikir rasional sulit menerima adanya ancaman serius dari negara Irak yang terpuruk, ketika sedang berjaya pun tak mampu melawan teknologi militer AS," kata Ramsey Clark, warga AS yang pernah menjabat Jaksa Agung itu.

Apalagi, keterpurukan Irak memang bukan main-main. Perang Teluk pada 1991, yang melibatkan lebih dari seratus ribu serangan udara AS dan sekutunya, telah membuat negara yang dipimpin Saddam Hussein ini terbongkar dari kehidupan modern. Selain sekitar 300.000 warganya tewas, ratusan ribu lainnya kemudian meninggal sebagai akibat tidak langsung dari kebijakan dunia melakukan embargo ekonomi terhadap Irak.

Maka, sebuah pertanyaan menggelitik lantas muncul: haruskah jutaan rakyat Irak menderita sebagai tebusan dosa kolektif mempunyai pemimpin seperti Saddam Hussein? Suatu pertanyaan yang mudah mencari jawabannya, mengingat Saddam Hussein bukanlah pemimpin yang dipilih melalui pemungutan suara yang sejati, seorang pemimpin yang lahir dari kekuatan bedil.

Dalam kerangka berpikir seperti ini, tak ada pilihan lain bagi kita selain menyerukan AS menghentikan serangannya segera dan meminta PBB mengecualikan mereka yang tak berdosa dari dampak embargo ekonomi kepada Irak. Juga, seruan kepada kalangan media massa agar berhenti menarikan irama gendang Washington DC, dan lebih memperhatikan suara-suara Ramsey Clark yang lain. Selain itu, tentunya juga dengan berdoa, agar di Hari Raya Lebaran nanti, rakyat Irak dapat merayakannya dengan kegembiraan dan damai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus