Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Langkah Pertama Menutup Jurang

20 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewi Anggraeni

  • Koresponden Tempo di Australia

    Minggu lalu Festival Nusantara berlangsung selama lima hari di Australia. Bukan di Sydney atau Melbourne, kota metropolitan nomor satu dan nomor dua di negara ini, melainkan di Brisbane, kota nomor tiga, ibu kota Negara Bagian Queensland. Dan semua bertumpu pada kaitan personal seorang warga Australia dengan teman-teman warga Indonesianya.

    Sosok ini, Andrew Ross, kini Direktur Pusat Seni Brisbane Powerhouse, sudah mengenal Indonesia lebih dari 30 tahun. Dia lancar berbahasa Indonesia dan teman Indonesianya di sini banyak. Sejak beberapa tahun silam, dia punya angan-angan memperkenalkan seni dan budaya Indonesia kontemporer kepada masyarakat Queensland. Ini berarti memboyong sebuah pergelaran yang komprehensif dari berbagai tempat ke Brisbane. Bukan sesuatu yang dapat dilakukan sambil sarapan.

    Angan-angan ini sangat besar perannya dalam membina kelanggengan dan kestabilan hubungan Indonesia-Australia, yang kini meluncur naik-turun bagai roller coaster. Barangkali kita perlu lebih dulu menyelidiki sebab-sebabnya hubungan kedua negara begitu volatil.

    Kita mendengar diktum yang diulang-ulang bahwa sebagai tetangga, Indonesia dan Australia sangat berbeda dalam budaya dan segala nilai kehidupan. Jadi, apa boleh buat, terimalah keadaan dan, dalam vernakuler bahasa Inggris, get over it! Lalu bagaimana caranya get over it kalau setiap kali kesandung, yang satu langsung berpaling menyalahkan yang lain? Bagaimana caranya get over it kalau rasa curiga yang menggumpal di ulu hati tak kunjung menguap?

    Bagaimana mungkin menawarkan rasa curiga ini kalau kita sebenarnya tidak saling kenal? Berbeda sih sah-sah saja, tapi sebaiknya kita sama-sama membuka kartu dan membuat peta, di mana kita berbeda lahan dan di mana kita rancu. Kita toh tidak hidup dalam tabung terpisah tanpa saling menyentuh, apalagi kita bertetangga. Sadar atau tidak, selama ini imaji Indonesia yang masuk ke bawah sadar Australia sangat ganjil.

    Di satu pihak, Indonesia tampil seperti patchwork quilt, selimut yang dibuat dari potongan-potongan bahan kain yang berbeda-beda, yang dijahit bersama menjadi hamparan besar yang indah. Bagaimana tidak? Setiap kali ada pergelaran seni-budaya, apalagi yang resmi didatangkan oleh instansi pemerintah, ada tari kupu-kupu dari Jawa Barat, tari jangir dari Bali, tari piring dari Sumatera Barat, dan sebagainya. Cantik, luwes, menakjubkan bagai mimpi, dan kesan itu pun melekat dalam ingatan para penonton. Namun semua itu terlalu muluk untuk diserap, diproses, lalu dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi tetaplah ia menjadi teka-teki.

    Di pihak lain, ada berita-berita yang sangat memprihatinkan tentang penganiayaan yang dilakukan yang berkuasa terhadap warga daerah tertentu, bahkan penekanan sistematis. Ada buktinya. Sudah berkali-kali warga daerah yang konon ditekan itu, dalam kunjungan resmi ke Australia, membelot. Bahkan ada sejumlah warga yang melarikan diri dalam perahu tidak layak laut, tiba di tanah Australia, dan membawa cerita mengerikan yang didukung dengan bekas-bekas luka penganiayaan. Timbullah gambaran dalam benak orang Australia bahwa sesungguhnya potongan-potongan dalam patchwork quilt itu dijahit paksa oleh sepasang tangan raksasa yang siap meremas hancur potongan mana pun yang ingin memisahkan diri.

    Australia punya nilai kolektif bahwa siapa pun yang tertekan, apalagi sengaja ditekan, harus dibela. Kalau ada potongan yang begitu sengsara dalam hamparan selimut itu tapi tidak sanggup membebaskan diri, potongan itu harus dibela. Nah, bagaimana membelanya, itu masalah tersendiri. Sedangkan Indonesia marah besar kepada tetangganya yang ”usil” dan suka campur tangan. Lalu terjadilah sengketa.

    Apa yang luput dari perhatian kita ialah Indonesia sejauh ini tidak pernah memberikan perhatian yang serius pada upaya mengenalkan diri dengan jujur, di luar imaji-imaji muluk yang sukar diserap tanpa konteks yang luas dan jelas. Konteks? Bukankah sudah dipaparkan, Indonesia negara indah, alamnya permai, budayanya kaya, rakyatnya ramah, budi pekertinya luhur, tingkah lakunya halus, tidak seperti orang Barat yang kasar itu?

    Lagi-lagi kita menunjukkan kita berbeda dari mereka. Jauh berbeda. Pesan yang sampai kepada Australia ialah, ”Kalau ingin mengenal kami, pelajarilah kami. Kami tidak seperti Anda. Budaya kami luhur….”

    Polarisasi pun tak terhindarkan. Di satu ujung terjadi orientalisasi oleh kelompok yang ”mempelajari” Indonesia sebagai sesuatu yang terperangkap dalam sangkar waktu selama-lamanya; cantik, indah, tapi jelas ”tidak mungkin berbaur dengan kita”. Mereka terdiri atas berbagai kelas, antara lain akademisi, cendekiawan, seniman, dan penulis. Di ujung lain ada kelompok yang memproyeksikan Indonesia sebagai lahan berbahaya, penuh dengan kekerasan dan sengketa, dan tidak segan-segan ”menyerang kita kalau kita menampakkan diri lemah dan tidak hati-hati”. Semua imaji muluk yang dipertontonkan cuma lapisan tipis untuk menutupi keburukan rupa yang sebenarnya.

    Untunglah di antara kedua ujung itu ada segelintir yang sempat mengenal Indonesia sebagaimana adanya, karena mereka sudah cukup bergaul dengan orang-orang Indonesia dalam realitas kehidupan. Mereka juga terdiri atas berbagai kelas, antara lain akademisi, cendekiawan, penulis, seniman, dan pengelola seni. Dan pada bahu merekalah jatuh tugas untuk merapatkan jurang di antara dua kutub ini.

    Kita kembali kepada Andrew Ross yang mengerahkan seluruh stafnya di Powerhouse serta network-nya di Indonesia dan di Australia untuk melaksanakan angan-angannya menyelenggarakan Festival Nusantara. Ini kontribusi Ross pada upaya mengisi jurang dua kutub di atas.

    Dia memboyong bukan saja kelompok-kelompok pergelaran kontemporer, melainkan juga yang luwes, tahan banting, berpengalaman antarbudaya, dan tidak takut kerja keras. Secara kolektif Festival Nusantara menampakkan wajah Indonesian tulen; wajah yang sudah ada kerut-kerutnya; wajah yang bisa tersenyum dan merajuk, yang bisa tertawa dan melotot marah. Dalam kata lain, wajah yang mencerminkan kepribadian yang bulat. Dan yang penting juga, yang bisa melucu dan menikmati kelucuan orang lain. Pengunjung dan penonton festival ini merasa dekat dengan sosok pemilik wajah itu dan mengerti setidaknya sebagian besar dari humor yang disorongkan kepada mereka.

    Mereka menyaksikan bagaimana satiris Indonesia tidak takut menyindir penguasa sendiri, sehingga sewaktu figur pemimpin mereka disindir pun mereka tertawa dan manggut-manggut. Butet Kartaredjasa, misalnya, membandingkan SBY dengan Perdana Menteri John Howard. Setelah ”membanting” SBY, Butet meneruskan, sebenarnya Howard masih menang dalam segi kreativitas. Lihat saja cerita-ceritanya yang kemudian ternyata buatannya sendiri, antara lain bahwa para pengungsi yang tiba di perairan Australia di kapal Tampa, kata Howard, membuang anak-anaknya sendiri ke laut untuk menarik simpati. Setelah diusut-usut, ternyata itu tidak benar. Dan masih saja cerita buatan beredar.

    Bahwa ”bantingan” seperti ini dilakukan di negara itu sendiri, dan diterima penonton lokal, jelas menunjukkan bahwa mereka sudah melihat good faith dari tetangga mereka.

    Dalam pertunjukan musik dan hiburan yang digelar Kua Etnika dan Project Pop, aspek-aspek Australia tampak tanpa penonton melihat kapan dimasukkannya. Artinya, aspek-aspek itu sudah terbaur luwes, bukan paksaan, sehingga penonton merasa menjadi bagian dari pertunjukan. Dalam seni tari dan pentas drama seperti Merah Bolong Putih Bolong dan Sangketo Piriang dalam Randai, penonton dapat mengagumi kreativitasnya karena, kendati kadang-kadang sukar dimengerti, dekat pada pijakan bumi mereka.

    Pameran foto Mata Hati menjadi jauh lebih bercerita, bukan sekadar adegan-adegan bisu tanpa arti. Dan dalam seminar Obrolan Sama Tetangga, pengunjung turut mengutarakan pendapat mereka dengan antusias.

    Namun upaya Ross barulah langkah pertama dalam proyek yang lebih besar. Dan kita hanya bisa berharap bahwa gayung akan bersambut.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus