Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Agama, negara, dan kemanusiaan tak bisa dipisahkan satu sama lain.
Larangan salat Idul Fitri berangkat dari persepsi salah soal hubungan agama-negara.
Ada hal-hal yang negara tak boleh intervensi terhadap agama.
Abd. Rohim Ghazali
Direktur Eksekutif Maarif Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ahmad Syafii Maarif, hubungan antara agama (Islam), negara (kebangsaan), dan kemanusiaan tak bisa dipisahkan satu sama lain. Melalui perdebatan panjang dan bermutu dalam sidang Konstituante, para pendiri bangsa Indonesia telah membingkai ketiganya dalam Pancasila sebagai dasar negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munculnya larangan salat Idul Fitri yang menggunakan fasilitas umum pada hari di luar jadwal yang ditetapkan pemerintah pada dasarnya berawal dari persepsi yang salah (gagal paham) dalam memaknai hubungan antara agama dan negara. Itu yang terjadi ketika Wali Kota Pekalongan, Jawa Tengah; dan Wali Kota Sukabumi, Jawa Barat, melarang kaum muslim (Muhammadiyah) menggunakan fasilitas umum untuk salat Idul Fitri pada Jumat, 21 April 2023.
Belakangan, Wali Kota Pekalongan Achmad Afzan Arslan Djunaid mengklarifikasi bahwa dia hanya melarang salat id di Lapangan Mataram karena tempat itu sudah menjadi ikon kegiatan Pemerintah Kota Pekalongan. Wali Kota Sukabumi Ahmad Fahmi akhirnya juga mengizinkan salat id digelar di Lapangan Merdeka.
Pelarangan seperti ini seharusnya hanya terjadi di negara penganut paham sekularisme, yang meletakkan agama vis a vis negara. Meskipun, pada kenyataannya, di negara sekuler sekali pun pelarangan seperti ini tidak selalu ada.
Apakah Wali Kota Pekalongan dan Wali Kota Sukabumi itu menganut paham sekuler? Pasti tidak. Saya menduga keduanya gagal paham. Berbeda dengan mereka, Bupati Merauke, Papua Selatan, malah menyetujui pemakaian halaman Kantor Bupati Merauke sebagai tempat pelaksanaan salat Idul Fitri. Padahal, kita tahu, secara demografis, mayoritas warga Merauke beragama Kristen.
Negara Pancasila
Dalam soal hubungan antara agama dan negara, ada yang mengatakan bahwa Indonesia ini negara yang "bukan-bukan". Bukan negara sekuler, bukan negara agama. Indonesia memilih menjadi negara Pancasila. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan mencermati keragaman suku, ras, dan agama, pemilihan Pancasila sebagai dasar negara merupakan keputusan yang sangat tepat. Jika Indonesia memilih menjadi negara agama, misalnya berdasarkan syariat Islam, yang merupakan agama mayoritas, sangat mungkin wilayah yang mayoritas penduduknya bukan muslim akan memisahkan diri dari Indonesia. Indonesia akan terpecah menjadi beberapa negara.
Negara berdasarkan Pancasila merupakan hasil kesepakatan agung para pendiri bangsa yang berjiwa besar mengorbankan kepentingan subyektif masing-masing. Muhammadiyah menyebutkan kesepakatan itu sebagai dar-al ‘ahdi, wal al-syahadah (negara konsensus dan kesaksian). Adapun Nahdlatul Ulama (NU) menyebutnya sebagai mu’ahadah wathaniyyah (kesepakatan kebangsaan).
Dalam negara Pancasila, agama bukan dasar negara, melainkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dasar hidup bernegara. Implementasinya seperti apa? Nilai-nilai agama yang luhur, seperti keadilan, antikorupsi, kejujuran, ketulusan, menjaga kebersihan lingkungan, kedisiplinan, ketertiban, dan saling menghormati satu sama lain, misalnya, harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sikap hidup pengamalan Pancasila. Jangan mengaku Pancasila kalau Anda masih belum bisa berlaku adil, jujur, tulus, bersih, disiplin, tertib, dan saling menghormati. Koruptor, misalnya, tidak berhak mengklaim dirinya Pancasila(is).
Wilayah Intervensi Agama-Negara
Kalau ada intervensi agama terhadap negara, intervensi itu berupa pengalokasian atau pengintegrasian nilai-nilai agama dalam tata cara hidup bernegara. Apakah perlu diformalkan dalam bentuk penetapan syariat agama sebagai hukum negara? Tidak perlu karena agama berbeda dengan nilai-nilai agama.
Agama merupakan institusi yang bersifat subyektif dan eksklusif. Sedangkan nilai-nilai agama bersifat obyektif dan inklusif. Nilai-nilai agama bisa menjadi sikap hidup yang konstruktif bagi semua orang tanpa membedakan agama yang dipeluknya. Tapi, jika syariat/hukum agama ditetapkan, ia tak lagi obyektif dan inklusif karena syariat agama sudah menyangkut teknis dan tata cara (menegakkan institusi) agama yang masing-masing agama memiliki perbedaan satu sama lain. Bahkan antar-kelompok/mazhab dalam satu agama yang sama pun bisa memiliki perbedaan dalam tata cara beragama.
Jika agama bisa mengintervensi negara dalam pengalokasian nilai-nilai, negara bisa mengintervensi agama dalam pengadministrasian/pencatatan. Pencatatan nama agama dalam KTP, pendataan jumlah penduduk berdasarkan agama, dan lain-lain yang menyangkut kewenangan administratif menjadi wilayah intervensi negara terhadap agama. Tugas negara adalah melayani kebutuhan rakyat. Intervensi administratif ini penting agar negara bisa memberikan pelayanan yang tepat kepada rakyat sesuai dengan agama yang dipeluknya. Itu yang pertama.
Yang kedua, negara bisa atau bahkan harus mengintervensi untuk melindungi atau menjamin keamanan umat beragama. Negara wajib menjamin keamanan umat yang tengah menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya. Jaminan keamanan diperlukan pada saat umat beragama mendapat gangguan keamanan dari pihak lain saat menjalankan ibadahnya.
Dalam hal ini, negara tidak boleh kalah dan atau bahkan menjadi bagian yang ikut mengganggu atau melarang jalannya ibadah. Pada saat negara ikut andil dalam pelarangan ibadah, negara telah melanggar Pasal 28E ayat 1 dan Pasal 29 ayat 2 serta Pasal 28G ayat 1 serta Pasal 28I ayat 1-5 Undang-Undang Dasar.
Intervensi Terlalu Dalam
Dalam praktiknya, negara kerap mengintervensi terlalu dalam. Tidak sekadar administratif dan pelindungan atau jaminan keamanan, negara juga ikut mengatur kehidupan umat beragama. Sebagai contoh, negara ikut mengatur tata cara beribadah yang dituangkan dalam peraturan daerah (perda syariah), ikut menetapkan awal dan akhir Ramadan (salat Idul Fitri), serta menetapkan kapan salat Idul Adha harus dijalankan.
Mengatur bagaimana tata cara beribadah adalah wilayah agama yang seharusnya tidak boleh diintervensi negara karena setiap agama memiliki tata cara yang berbeda dalam ibadah dan bahkan dalam satu agama pun (antar-mazhab) bisa saling berbeda. Pada saat negara ikut campur, akan terjadi regimentasi agama atau mazhab. Alih-alih melindungi, negara malah ikut melegitimasi kemungkinan terjadinya diskriminasi atau bahkan penindasan atas nama agama atau mazhab. Tata cara beribadah yang tidak sesuai dengan ketetapan negara akan diberangus dan para pelakunya dikriminalisasi.
Yang juga tidak boleh diintervensi negara adalah tata cara mendirikan tempat ibadah. Mendirikan tempat ibadah adalah hak yang tidak bisa dipisahkan dengan hak beragama dan beribadah karena setiap orang yang beribadah sudah pasti akan membutuhkan tempat ibadah. Dalam kaidah ushul fikih disebutkan, "ma la yatimmul wajib illa bihi, fahual wajib, atau al amru fil amri, amrun bi wasaailihi" (mengadakan sarana dan prasarana ibadah sama wajibnya dengan melaksanakan ibadah).
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, yang antara lain mengatur tentang pendirian rumah ibadah, merupakan contoh intervensi negara yang terlalu dalam. Dengan adanya aturan ini, negara yang seharusnya memfasilitasi pendirian tempat ibadah malah kerap ikut menghambat atau bahkan melarang pendirian tempat ibadah. Jika ini terjadi, disadari atau tidak, negara telah melanggar konstitusi.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo