Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kau di mana?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Siap, Ndan! Saya di komisariat. Ada perintah?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERCAKAPAN di atas terjadi dalam aplikasi WhatsApp antara Miko dan Sujat. Ini satu contoh dari sekian percakapan yang janggal bagi saya. Miko dan Sujat bukan tentara dan bukan polisi. Keduanya mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta.
Dari jawaban Sujat, simaklah betapa ungkapan militeristik begitu gamblang. Ndan adalah panggilan singkat untuk komandan. Adapun ada perintah menunjukkan kesiagaan sekaligus ketakberdayaan—sungguh ironis bila ini dikatakan seorang sipil kepada orang sipil lain.
Komandan adalah sebutan untuk kepala pasukan tentara atau polisi. Orang yang menunggu atau mengharapkan perintah menandakan bahwa dia tak punya kemerdekaan sebagai individu. Kehendak si penutur untuk bergerak atau berdiam dikendalikan oleh faktor di luar dirinya. Faktor itu bisa komandan, senior, ndoro, ketum (ketua umum), gusmen (gus menteri), kakak pembina, bos, majikan, kanda, abangda, ibu suri, atau “raja Jawa”.
Pada waktu lain, saat bercakap atau berkirim pesan kepada Miko, Sujat memulai dengan kalimat “Mohon izin, Ndan, saya akan...” atau “Mohon maaf, Ndan, bagaimana kalau kita...”. Padahal saat itu Sujat tidak salah atau tidak melakukan kelancangan yang mengharuskannya memohon izin atau meminta maaf kepada Miko.
Percakapan dengan bahasa militeristik semacam itu tidak hanya diucapkan antara Miko dan Sujat, tapi juga hampir semua aktivis organisasi gerakan mahasiswa. Struktur kepengurusan organisasi mereka pun memakai istilah militer, seperti rayon, komisariat, dan korps. Korps Putri (Kopri) dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), misalnya, atau Korps HMI-wati (Kohati) pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Walaupun paling getol menentang militerisme di ranah sipil, mereka justru masif memakai bahasa-bahasa militeristik di kalangan mereka sendiri.
Lulus atau jebol dari kampus, Miko, Sujat, dan aktivis lain lazimnya bergeser ke partai politik atau bergabung dengan organisasi kepemudaan yang bertalian dengan organisasi keagamaan. Di kedua jenis organisasi kemasyarakatan ini bahasa-bahasa militeristik tak kalah subur.
Uniknya, setiap partai politik, organisasi kepemudaan, atau organisasi keagamaan sama-sama memiliki kelompok paramiliter. Model dan warna pakaian, etos, serta gaya berkomunikasi kelompok ini pun militeristik. Diksi-diksi semacam ndan, siap perintah, siap salah, segera kondisikan, atau mengawali kalam dengan mohon izin dan mohon maaf seakan-akan wajib dalam percakapan mereka.
Pengurus sebuah organisasi kepemudaan keagamaan di republik ini pernah mengultimatum anggotanya: “Organisasi kita adalah organisasi kader yang sifatnya instruksi, bukan diskusi. Jadi, apa pun titah pimpinan, laksanakan! Tidak ada diskusi setelah instruksi!” Wow, militeristik banget, kan?
Militerisme kini tidak hanya masuk ke ranah jabatan-jabatan sipil, tapi juga muncul dalam cara berbahasa masyarakat kita dan akhirnya pada cara mereka berinteraksi. Ungkapan, panggilan, sebutan, istilah, dan unsur bahasa militeristik lain merasuk dan berakar, lalu menjalar dalam bahasa publik. Setidaknya sindrom ini sudah mewabah di kalangan terpelajar, mahasiswa, pemuda, dan aktivis.
Bahasa menunjukkan bangsa. Gaya berbahasa suatu bangsa menggambarkan apa yang telah mereka jalani sekaligus yang sedang mereka alami. Cara berbahasa militeristik dan feodal semacam ini, meski terkesan basa-basi, menampilkan apa yang bercokol di alam bawah sadar penuturnya dan akhirnya menunjukkan mentalnya. Feodalisme dalam berbahasa—sebagaimana masyarakat nonmiliter yang gemar berbahasa militeristik—menunjukkan bahwa mereka tak punya kedaulatan sejak dalam pikiran.
Apakah menjamurnya bahasa militeristik di kalangan masyarakat sipil ini merupakan tanda keberhasilan Orde Baru menyuntikkan virus militerisme? Apakah virus itu pula yang membius bangsa ini sehingga mereka seakan-akan ingin mengulang kepemimpinan militer? Pengkaji psikolinguistik dan sosiolinguistik barangkali dapat menelitinya lebih lanjut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Siap, Ndan"