Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APAKAH Indonesia hari ini bagi orang yang lahir seratus tahun silam? Apakah negeri ini sekarang bagi Sitor Situmorang atau A.A. Navis, yang lahir pada tahun 1924?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka telah pergi. Tapi karya mereka bersama kita. Seratus tahun yang lalu, di sebuah lembah yang bagaikan mitologi penciptaan dunia—di kaki Pusuk Buhit di barat Danau Toba—ia lahir. Saat itu, ayahnya seorang kepala negeri yang telah lanjut usia, yang masih menyembah tuhan-tuhan leluhur. Tapi pria tua yang semula melawan Belanda itu akhirnya berdamai dan membiarkan istri serta anak-anaknya dididik oleh misionaris Kristen. Dalam otobiografinya, Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45: Penyair Danau Toba, kita mungkin melihat sebuah lompatan menyeberang dari alam mitologis ke alam rasional. Dari dunia “parokial” ke dunia “universal”, dari “kampung halaman” ke “global”. Tapi apa itu parokial, kampung halaman? Apa itu universal, global?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan kemudian, bukan di utara, melainkan di barat Sumatera, di sebuah kota yang hidup dengan niaga dan lalu lintas, lahir orok yang lain, yang kelak juga dikenal sebagai sastrawan. Di Kota Padang Panjang itu telah ada tangsi militer dan gudang peluru Belanda. Ali Akbar Navis lahir dalam masyarakat Minangkabau yang telah lama menganut Islam—sebuah agama yang, seperti juga Kristen, mengklaim universalitas. Kita tidak melihat A.A. Navis melompat dari mitologi ke alam pikir modern, dari kampung halaman ke alam global. Tapi, sekali lagi, apa itu universal, global, kampung halaman?
Perbedaan mereka—Sitor dan Navis—menarik. Juga untuk merenungkan hari ini. Dalam Pemikiran Minangkabau: Catatan Budaya A.A. Navis, ia bercerita tentang “Minang complex”, suatu ambivalensi antara kecintaan dan kebencian pada adat. Barangkali tak ada suku bangsa yang demikian keras mengecam tradisinya seperti orang Minangkabau, tulisnya. Tapi, sekaligus, kampung halaman adalah nostalgia yang selalu dibayangkan. Barangkali dari terang inilah saya bisa mencoba memahami kisah Malin Kundang, yang bagi saya sangat sulit dimengerti.
Dalam analisis Navis, kampung halaman itu, adat istiadat itu, dimusuhi oleh kaum muda yang sekaligus mendambakan universalitas, mereka yang belajar di sekolah modern, atau mereka yang beragama dengan cara modern—sebagian belajar di Timur Tengah. Di sini, pendidikan Barat dan Islam modern merepresentasikan universalitas. Kelak, dalam beberapa kelokan sejarah, memang ada juga kerinduan kembali memeluk kampung halaman. Tapi, mengenai semangat melampaui identitas kampung halaman itu, kita pantas takjub atas pasokan intelektual dari Sumatera Barat, baik yang sosialis, religius, maupun komunis.
Dalam sejarah sastra, kita tentu ingat pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang tahun 1950, yang banyak perumusnya berlatar Minang: Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia. Manifesto ini mungkin tak bisa dipahami anak-anak yang lahir seratus tahun setelah mereka. What’s the problem? Emang kenapa sampai harus bikin pernyataan? Bukannya kita memang ahli waris kebudayaan dunia (kita adalah ahli waris kebudayaan apa pun yang bisa kita akses dan kita pilih sejauh hak cipta atau hak kekayaan intelektualnya belum dipatenkan)? Apa yang dulu dinyatakan dengan heroik hanya akan jadi ucapan pahlawan kesiangan. Globalitas bukan merupakan cita-cita lagi di masa ini, malah nyaris merupakan paksaan.
Toh, universalitas tak berhenti menjadi sengketa. Bahkan makin mendesak lagi sebagai pertanyaan setelah kesadaran poskolonialisme dan posmodernisme. Adakah, sebenarnya, nilai-nilai universal? Atau semua itu hanyalah mendaku universal sambil menyembunyikan kepentingan-kepentingan tertentu? Tapi pertanyaan semacam itu mungkin hanya muncul jika kita berpikir analitis, kategoris, diskursif—segala pola berpikir yang dituntut dalam sains dan filsafat. Hidup, kita sering lupa, bukanlah selalu tentang sains dan filsafat. Di situlah sastra berharga. Sastra adalah kata-kata—bahasa—yang bisa menyampaikan pengalaman yang sering kali dihilangkan oleh ilmu pengetahuan.
Di sinilah kita perlu kembali kepada sajak-sajak Sitor atau cerita-cerita Navis. Bukan pada otobiografi atau risalah mereka. Navis menulis banyak cerita, tapi yang dikenang orang adalah Robohnya Surau Kami. Orang tak ingat cerita alam barzahnya yang lain yang lebih absurd, Sebelum Pertemuan Dimulai, di mana Chairil Anwar dan Marilyn Monroe bergenit-genit. Mungkin ini menunjukkan selera publik Indonesia yang mencari moral cerita dan memerlukan kritik agama.
Navis tetap di kampung halaman. Sitor terbang ke Eropa, yang di masa itu merupakan tanda kosmopolitanisme. Navis mengkritik fanatisme dan formalisme agama. Sitor menghadirkan pengalaman paradoks iman dan perzinaan dalam “Cathédrale de Chartres”: Maka malam itu di ranjang penginapan / Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan / Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan / Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan / Demikianlah / Cerita Paskah....
Apakah Indonesia hari ini bagi orang yang lahir seratus tahun silam atau hari ini? Masih suatu paradoks jika dirumuskan. Masih suatu ambiguitas pengalaman perselingkuhan dalam bayang-bayang iman.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seratus Tahun"