Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun 1948 Chairil Anwar menulis "Persetujuan Dengan Bung Karno":
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu
dipanggang di atas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapalkapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapalkapal kita bertolak & berlabuh
Sajak ini ditulis Chairil Anwar tiga tahun setelah proklamasi, sejak Bung Karno jadi presiden tapi belum disebut "paduka yang mulia". Politik masih bergerak, seakanakan dibentuk "api" dan "laut", katakata yang berpendar menyala dan dinamis. Retorika belum jadi untaian klise.
Politik adalah partisipasi; hampir semua terlibat, tanpa jarak, tanpa protokol. Sajak ini memakai kata "mu", bentuk ajektif posesif dari "kamu"yang egaliter, lugas, dan akrabuntuk menyebut Bung Karno. Waktu itu panggilan "bung" (untuk teman seperjuangan lakilaki) dan "zus" (untuk perempuan) masih lazim. Sebutan itu belum "aikonik", dipasang seakanakan bagian dari namanama bersejarah. Kita ingat sajak Chairil "KarawangBekasi", yang mengenang mereka yang "mati muda", gugur dalam pertempuran melawan Belanda di sekitar Jakarta:
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Tak ada tokoh politik yang dipanggil "Bapak" dan "Ibu". Tak ada bahasa yang dibentuk tinggirendah posisi sosial. Tak ada perbedaan generasi yang mengharuskan yang muda merunduk: Chairil, waktu itu berumur 26 tahun, memanggil "Bung" kepada orang yang berusia hampir dua kali lebih tua.
Ada sikap percaya diri yang besar dalam sajak ini. "Persetujuan dengan Bung Karno" sebenarnya belum ada: persetujuan itu baru dinyatakan sepihak. Kata "ayo" bersifat mengajak dengan bersemangat, tapi juga bisa diucapkan dengan nada imperatif, sama seperti dalam kalimat "Ayo maju!". Sementara itu, "mari kita bikin janji", yang bersifat persuasif, bisa juga mendesak. Kata "mari" dalam kalimat itu menghendaki komitmen yang serius dari orang lain.
Tampak sekali, "aku" dalam sajak ini menempatkan diri dalam posisi yang menentukan. Tapi sebagaimana lazimnya dalam politik demokratik, sang "aku" tak hanya sebuah subyek yang terletak di atas. Ia tak hanya membentuk keadaan; ia juga dibentuk: aku "dipanggang di atas apimu, digarami lautmu".
Bagi saya, kata "garam" dan "laut"yang tak lazimmenunjukkan jejak dan tanda lain dari generasi tahun 1940an itu: Chairil, Asrul Sani, Rivai Apin. Dalam pelbagai sajak mereka, "laut" adalah kiasan kemerdekaan.
Sebuah sajak Asrul Sani:
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Sajak Rivai Apin lebih memberontak:
Tiada tahan, ke laut kembali
Mengembara
Sajak "Persetujuan Dengan Bung Karno" sendiri mengesankan sebuah perjalanan laut yang panjang, hingga tubuh diliputi garam dari ombak. "Kapal" yang mengarungi samudra bahkan seakanakan bertaut dengan hidup: "di zatku di zatmu kapalkapal kita berlayar". Gerak yang dinamis, yang tak pernah henti, bahkan juga terasa ketika berlabuh; saat "berlabuh", sebagaimana saat "bertolak", terpaut rapat dengan tubuh yang hidup, "di uratmu di uratku"urat tempat darah terusmenerus mengalir.
Bagi saya, sajak "Persetujuan Dengan Bung Karno" adalah kesaksian tentang lahirnya subyek dalam politik: "aku sekarang api aku sekarang laut". "Aku" sebagai api dan laut itu tak ditentukan sebelumnya, melainkan lahir dari aksi. Bergerak bersama perjuangan (dengan Bung Karno), "aku" mengalami metamorfosis. "Aku" adalah energi. "Aku" pun menggerakkan, bukan cuma digerakkan.
Pada saat yang sama, kiasan "api" dan "laut" dalam sajak ini menyarankan satu tenaga tanpa hierarki. Politik yang bergerak dari energi ini adalah politiksesamabungsesama zus: politik dengan dan dalam kesetaraan.
Di sini kesetaraan tak diciptakan dan ditata sebuah struktur, melainkan justru mendahului tersusunnya struktur, khususnya negara. Jika kita pinjam katakata Rancière, politik dari "api" dan "laut" adalah la politique: pergulatan mereka yang selama ini tak masuk hitungan untuk mengguncang struktur yang merumuskan mereka. Yang dihadapi la policebukan cuma polisi atau aparat negara, melainkan lebih dalam, yakni aturan yang tumbuh dalam sejarah yang membagibagi sebuah masyarakat dalam pelbagai hierarki.
Sejarah menunjukkan, pergulatan melawan la police tak pernah selesai. Selalu saja konsensus berubah jadi dissensus, selalu terjadi ketakcocokan. Bahkan dalam sajak Chairil itu, dalam kata "persetujuan" tersirat dissensus: kesepakatan masih harus dibentuk, ada musuh yang akan mengembalikan tatanan lama. Indonesia sedang terancam. Hanya beberapa bulan sesudah Chairil menuliskan sajak itu, 19 Desember 1948, Yogyakarta, ibu kota Republik, diserang Belanda. Dan api menyala lagi, laut bergerak. GOENAWAN MOHAMAD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo