Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Berita Tempo Plus

Duel berdarah di touliang

Kendati tanah 2.000 m2 di desa touliang, iris, minahasa, milik orang tua herry tumelap sudah terjual, herry tetap menggarapnya. ia membunuh salah seorang keluarga pembeli, abraham dl. polisi menembak herry.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Duel berdarah di touliang
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DENGAN tangan menggenggam pisau berlumur darah dan pakaian, berlumpur, Herry Tumelap menemui istrinya, Olga. "Aku baru saja membunuh Bram," katanya. Olga seketika meminta suaminya itu menyerahkan diri ke polisi. Tapi Herry, 35 tahun, merasa seperti tak terjadi apa-apa. "Tenang saja, ini urusan saya," katanya. Setelah itu, bak cowboy yang baru saja menembak musuhnya, Herry mengambil cangkul. "Saya akan mengubur mayatnya," ujarnya. Tapi ketika ia sibuk mengubur korbannya, polisi yang sudah menerima laporan tentang pembunuhan itu -- rupanya telah sampai di sawah itu. Polisi itu, Sersan Dua Laluyan mencoba memanggilnya. Sambil senyum-senyum Herry mendekati Laluyan. Tapi, begitu ia berada dalam jarak pukul, Herry seketika mencabut pisaunya dan menikamkannya ke dada Laluyan. Tentu saja Laluyan kaget akibat serangan mendadak itu, dan tak bisa mengelak. Untung, dadanya dilapisi majalah, sehingga lukanya tak dalam. Pergumulan sengit terjadi. Lelaki itu baru meninggalkan Laluyan yang terluka, setelah polisi itu melepaskan tembakan peringatan. Rupanya Herry kembali ke rumahnya. Kepada istrinya ia menceritakan baru saja ditembaki polisi, tapi tak mempan. "Sekarang mereka sudah mundur," katanya. Setelah itu dengan tenang ayah satu anak itu minta disediakan makan. Dan hebatnya, dengan tenang Herry makan dengan lahapnya. Bahkan sebelum itu, ia juga sempat mengganti pakaiannya yang kotor. Tapi begitu ia selesai makan, polisi sudah mengepung rumahnya. Herry diminta menyerah. Toh Herry tak hendak mengikuti perintah penegak hukum itu. Bahkan ia malah menyandera istrinya. "Kalau kamu keluar rumah, parang ini akan menghabisimu," ancamnya. Baru setelah polisi mengancam akan membakar pondoknya, ia keluar dengan menghunus parangnya. Ketika itu, menurut versi polisi, Herry nyaris pula menghabisi Kopral Satu Laehengko. Untung, polisi lebih sigap memuntahkan pelurunya sehingga lelaki itu tewas di depan rumahnya. Peristiwa berdarah itu bermula dari sengketa sawah 2.000 m2 di Desa Touliang, Kecamatan Eris, Minahasa. Sawah itu ceritanya, semula milik orangtua Herry, Hein Tumelap. Tapi tahun lalu Hein menjual sawahnya kepada Pok Kandouw seharga Rp 500 ribu untuk membiayai perkawinan anaknya. Tapi, kendati sawah itu sudah terjual, Herry tak peduli dan tetap menggarapnya. Pok Kandouw sebenarnya tak keberatan tanah itu digarap Herry. Cuma cara Herry itu dianggapnya tak sopan. "Diminta pun, saya rela memberikan tanah itu, asal saja tahu sopan santunnya," kata pengusaha dari Tondano ini. Ia mengaku sudah mencoba menegur Herry secara baik-baik dan meminta agar datang ke rumahnya. Tapi tak digubris, sehingga Pok Kandouw terpaksa melapor ke Camat Tondano. Sengketa itu didengar adik ipar Pok Kandouw, Abraham Daniel Lompoliu (Bram), 28 tahun. Pemegang sabuk hitam karate itu, Selasa siang 18 April, diantar tukang kebun Pok, Willy, menjumpai Herry di sawahnya. Tak jelas pertengkaran mereka. Tapi segera terjadi duel. Melihat kejadian itu, Willy segera kabur minta bantuan polisi. Tewasnya Herry itulah yang disesalkan keluarga mendiang. "Suami saya masih ditembaki, meskipun sudah mati," kata Olga. Untuk itu, ia bermaksud meminta bantuan LBH untuk menuntut polisi, dan minta ganti rugi pada Pok Kondouw. "Sebab, gara-gara tanahnya, Herry tewas, padahal kami hanya bermaksud menggarap sawah yang telantar," kata Olga. Sementara itu, ayah Bram, Frits Lompoliu, merasa tak perlu memperpanjang musibah itu. Sebagai umat beragama, ia mengaku pasrah. "Kami tak punya dendam apa-apa," katanya. Menanggapi rencana Olga itu, Kapolres Minahasa, Letkol. S.I. Tahapary, menyambutnya dengan kalem. "Silakan saja. Kesadaran hukum itu baik, tapi tentunya memerlukan keseimbangan," kata Tahapary kepada Phill M. Sulu dari TEMPO. Untuk keseimbangannya, katanya, ia juga akan menuntut keluarga Herry karena ada anak buahnya yang terluka dalam peristiwa itu. Hanya saja, Tahapary membantah anak buahnya telah menembak Herry dengan membabi buta dalam kasus itu. "Itu tak benar," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus