Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menjanjikan kepada Jusuf Hamka bantuan untuk menagihkan piutangnya yang tidak dibayarkan Kementerian Keuangan.
Pernyataan Menteri Mahfud ihwal janji bantuan itu bisa dianggap praktik perdagangan pengaruh.
Manuver Mahfud ini gampang sekali ditafsirkan publik sebagai upaya memoles citra diri demi tujuan elektoral.
MENTERI Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. bisa dikategorikan memperdagangkan pengaruh ketika menjanjikan penagihan piutang pengusaha Jusuf Hamka kepada pemerintah. Bukan hanya persoalan etik, langkah tersebut telah mendekati perbuatan korup. Apalagi Mahfud juga menjadi bagian dari Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang urusannya terkait erat dengan persoalan utang-piutang perusahaan jalan tol Jusuf Hamka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Janji penagihan klaim utang Jusuf Hamka itu disampaikan Mahfud kepada pers pada Selasa, 13 Juni lalu. Ia baru saja bertemu dengan pengusaha Jusuf Hamka yang mengeluh klaim piutangnya sekitar Rp 800 miliar belum dibayar Kementerian Keuangan. Alih-alih melakukan verifikasi dan koordinasi dengan para koleganya di pemerintahan, Mahfud memberikan pendapatnya tentang klaim utang yang lebih dulu diramaikan Jusuf melalui media massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan sebenarnya tidak mengkoordinasikan Kementerian Keuangan. Menurut Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2020, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menyelenggarakan fungsi koordinasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan kementerian atau lembaga di bidang politik, hukum, dan keamanan. Adapun Kementerian Keuangan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2020, berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian. Mahfud mengklaim diperintahkan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan persoalan utang, baik dari swasta ke negara maupun sebaliknya.
Utang-piutang negara merupakan masalah yang sangat teknis. Klaim piutang Jusuf Hamka ini berupa deposito PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) milik Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto yang disimpan di Bank Yakin Makmur (Yama) sebesar Rp 78,91 miliar. Pada 1998, Bank Yama yang juga didirikan Tutut mengalami kesulitan keuangan sehingga mendapat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Upaya penyehatan gagal sehingga bank itu dilikuidasi pada 1999. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tak mau mengembalikan deposito CMNP karena terafiliasi dengan putri Presiden Soeharto itu.
CMNP lalu menggugat keputusan BPPN hingga Mahkamah Agung memenangkan perusahaan itu. MA menyatakan pemerintah bertanggung jawab atas kegagalan Bank Yama mengembalikan deposito CMNP. Pemerintah mesti membayar deposito dan bunga yang mencapai Rp 179,46 miliar. Namun Kementerian Keuangan tetap mempersoalkan hubungan afiliasi antara Tutut, CMNP, dan Bank Yama. Menjadi rahasia umum, pada masa itu, bank lazim memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang terafiliasi. Dalam konteks ini, pemerintahan Jokowi membentuk Satuan Tugas BLBI untuk mengejar para penerima BLBI. Di organisasi ad hoc itu Mahfud menjadi Ketua Tim Pengarah. Hingga Mei lalu, dari target Rp 110 triliun, Satgas baru bisa menagih Rp 30 triliun.
Melihat sejarah dan rumitnya utang-piutang CMNP itu, Mahfud Md seharusnya tidak serta-merta mengambil sikap. Ia perlu berkoordinasi dengan Menteri Keuangan sebagai bendahara negara yang berkaitan langsung dengan utang-piutang negara. Ia memang mengambil sikap legal formal: putusan Mahkamah Agung yang memenangkan perusahaan itu telah berkekuatan hukum tetap dan, karenanya, negara mesti membayar. Meski begitu, ia perlu berhati-hati karena—seperti terlihat pada berbagai kasus—pengadilan tertinggi di Indonesia itu tak lepas dari masalah suap-menyuap. Langkah terbaik dalam merespons klaim pengusaha Jusuf Hamka adalah dengan mengeceknya kembali secara lebih akurat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo