Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah semestinya menyelaraskan dulu rancangan perubahan aturan kegiatan usaha penambangan. Dua anggota kabinet belum satu suara dalam soal ini. Apalagi pasal-pasal dalam rancangan juga bertentangan dengan undang-undang yang menjadi pijakannya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengajukan revisi peraturan pemerintah itu menjelang berakhirnya kontrak tujuh perusahaan besar batu bara pada 2019-2025. Perusahaan yang masuk daftar ini antara lain PT Tanito Harum, PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Adaro. Setiap perusahaan itu menguasai lahan di atas 30 ribu hektare. Aturan sebelumnya dinilai belum menjamin kepastian bagi perusahaan pemegang kontrak.
Sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Mineral dan Batu Bara berlaku, pemerintah sebenarnya sudah lima kali merevisi aturan pelaksanaannya. Perubahan ini cenderung tambal sulam. Rancangan peraturan pemerintah yang diserahkan Menteri Energi Ignasius Jonan kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengulang pola ini. Rancangan ini dibuat demi memberikan kelonggaran kepada korporasi.
Dalam rancangan itu diatur bahwa perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) bisa langsung memperoleh izin usaha pertambangan khusus selama 20 tahun tanpa melalui proses lelang, dengan luas lahan yang sama. Syaratnya: mereka memiliki rencana kerja yang telah disetujui Kementerian Energi. Setelah kontrak PKP2B berakhir, perusahaan tambang pun dapat memakai semua barang yang seharusnya telah menjadi barang milik negara. Klausul itu bertolak belakang dengan peraturan di atasnya.
Undang-Undang Mineral dan Batu Bara menyebutkan barang milik negara, yang sebagian besar berupa alat berat dan infrastruktur tambang, dapat disewa atau dibeli kontraktor setelah kontrak berakhir. Para pemegang kontrak generasi pertama yang ingin memperoleh izin usaha pertambangan khusus juga harus menciutkan lahannya, dengan luas tak lebih dari 15 ribu hektare. Mereka harus mengembalikan luas lahan lainnya kepada negara dalam bentuk wilayah pencadangan negara, yang kemudian bisa ditender ulang. Prioritas diberikan kepada badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Poin ini tertulis pada Pasal 75 Undang-Undang Mineral dan Batu Bara.
Di lingkup internal, pemerintah belum satu suara perihal ini. Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menolak menorehkan paraf pada rancangan peraturan pemerintah yang diusulkan Menteri Jonan. Ia meminta ketentuan tentang luas lahan pada izin baru dikaji ulang. Menurut dia, perusahaan pelat merah semestinya tetap mendapat prioritas untuk mengambil alih wilayah pencadangan negara tanpa perlu memperoleh rekomendasi dari pemerintah daerah. Menteri Rini bahkan telah meminta Bukit Asam—perusahaan tambang milik negara—mengelola wilayah tambang PKP2B yang akan habis masa kontraknya.
Jika mengacu pada undang-undang yang menjadi dasar perubahan itu, sikap Menteri Rini lebih tepat. Peraturan pemerintah jelas tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Benar bahwa pemerintah harus merumuskan rancangan peraturan yang memberikan kepastian bagi para pelaku usaha. Namun, pada saat yang sama, aturan itu seharusnya juga menghasilkan manfaat sebesar-besarnya buat negara.
Undang-Undang Mineral dan Batu Bara boleh jadi bukan peraturan ideal untuk mengatur penggunaan sumber daya alam. Namun, bagaimanapun, undang-undang itu merupakan hasil pembahasan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah yang masih berlaku yang sepatutnya dihormati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo