Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang tak beres dalam tarik-ulur pembahasan tarif mass rapid transit atau moda raya terpadu (MRT) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta. Dirancang sejak dua dekade lalu, MRT sebetulnya sudah siap beroperasi. Hanya, pengoperasian kereta bernama Ratangga ini bisa terganjal sikap politikus yang terus-menerus mempersoalkan harga tiket dan subsidi.
Anggota Dewan seperti tak peduli bahwa, tanpa kepastian soal tarif, jadwal pengoperasian penuh MRT fase I rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia pada 1 April 2019 bisa berantakan. Padahal itu bisa “mempermalukan” Presiden Joko Widodo, yang meresmikan proyek bernilai Rp 16,7 triliun tersebut pada Ahad, 24 Maret 2019.
Pemerintah Jakarta mengusulkan tarif tiket MRT berdasarkan jarak perjalanan, dari Rp 3.000 sampai Rp 14.000. Usul tarif dan perhitungan subsidinya, sekitar Rp 21.659 per penumpang, mendarat di meja anggota Dewan pada 6 Maret lalu. Semula sikap anggota Dewan terlihat wajar. Mereka mempertanyakan komponen biaya operasional, besaran tarif, dan subsidi daerah.
DPRD memang harus memastikan subsidi Rp 572 miliar dari anggaran DKI Jakarta tepat sasaran. Masalahnya, anggota Dewan tak pernah mengungkapkan argumen yang meyakinkan dan hasil perhitungan tarif versi mereka. Dengan sikap yang berubah-ubah dan “asal beda”, anggota DPRD terkesan hanya mencari panggung menjelang Pemilihan Umum 2019.
Dalam menentukan tarif dan subsidi tiket MRT, pemerintah DKI dan DPRD tak bisa semata-mata memakai rumus untung dan rugi. Di kota-kota lain di dunia, pemerintah selalu mengucurkan subsidi besar untuk transportasi publik yang aman dan nyaman.
Tak realistis mengharapkan pengembalian modal pembangunan MRT dari pendapatan tiket semata. Karena itu, pemerintah DKI harus mendorong agar MRT bisa menjadi pengungkit perekonomian dan kesejahteraan penduduk Ibu Kota. Dengan begitu, proyek MRT secara tidak langsung bisa segera “balik modal”.
Penentuan tarif dan subsidi angkutan umum hendaknya memperhitungkan dua hal secara paralel. Pertama, “keterjangkauan” tarif transportasi oleh semua lapisan masyarakat. Kedua, “kelangsungan” hidup angkutan umum itu.
Di satu sisi, angkutan umum massal tak boleh diskriminatif terhadap orang yang tak mampu membayar tarif tertentu. Karena itu, pemerintah harus menyediakan subsidi. Agar subsidi tepat sasaran, skemanya bisa dibuat beragam: berdasarkan golongan penghasilan, jenis pekerjaan, atau wilayah tempat tinggal. Di sisi lain, penentuan tarif dan subsidi juga harus memperhitungkan kelangsungan pengelolaan angkutan umum serta standar pelayanan yang optimal. Bila operator tak mendapat insentif untuk menjaga mutu pelayanan, jaringan transportasi umum yang mahal seperti MRT bisa sia-sia.
Penataan transportasi Ibu Kota juga tak bisa parsial dan sektoral. Dalam konteks ini, patut disayangkan masih ada anggota DPRD yang mempersoalkan bahwa subsidi tarif MRT bakal dinikmati warga luar Jakarta. Bagaimanapun, para “pelaju” dari luar Jakarta tak boleh dipandang sebagai parasit. Sebab, mereka pun berperan penting dalam menggerakkan perekonomian Ibu Kota.
Transportasi Ibu Kota justru harus terintegrasi dengan wilayah penyangga. Pembangunan MRT Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia merupakan langkah awal yang positif menuju integrasi itu. Kepentingan yang lebih sempit, seperti politik elektoral, semestinya tidak menyandera penetapan tarif dan pengoperasian kereta Ratangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo