Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA Barisan Nasional yang merosot 30 persen dalam pilihan raya dua pekan lalu jelas merupakan apa yang dicakap orang ”tsunami politik” di Malaysia. Bukan hanya perolehan koalisi 14 partai pendukung pemerintah tadi isyarat perubahan drastis itu. Perolehan 63 persen kursi parlemen merupakan prestasi terburuk Barisan Nasional (BN) selama 12 kali pemilu. Untuk pertama kali lima negara bagian sekaligus jatuh ke tangan Barisan Pembangkang (tiga partai oposisi). Belum pernah terjadi selama ini lima menteri kabinet tewas di tangan calon-calon Pembangkang.
Tidak salah kalau UMNO dituding sebagai biang keladi. Partai pemerintah dan motor Barisan Nasional itu terseok-seok akibat lemahnya kepemimpinan Abdullah Badawi. Sebagai orang nomor satu UMNO, ia dianggap terlalu mengalah pada keinginan pimpinan UMNO negara bagian. Akibatnya, banyak calon BN terpaksa bertanding di luar daerah yang mereka wakili. Sabot-menyabot terjadi dalam penempatan calon BN untuk parlemen dan Dewan Undangan Negeri (di sini DPRD). UMNO juga dianggap sumber kolusi, terutama akibat sepak terjang bisnis tak terpuji Khairy Jamaluddin, menantu Abdullah Badawi. Ulah tak sensitif para calon UMNO, umpamanya dengan membawa mobil mewah ke daerah pemilihan di negara bagian, membangkitkan antipati luas.
Sudah UMNO bermasalah, MIC dan MCA—partainya orang India dan Cina pendukung utama Barisan Nasional—juga ditinggal pemilih tradisionalnya. Kedua pendukung partai itu protes atas tingginya harga bahan pokok dan kriminalitas, serta janji kosong pemerintah untuk memberantas korupsi. Warga Cina tak nyaman dengan isu ”politik bumi putra” yang dikumandangkan pemerintah—contohnya kemudahan mendapatkan proyek pemerintah. Warga keturunan India lebih dari 60 persen membelot dari MIC, antara lain karena pembongkaran 70 kuil Hindu pada 2006.
Sudah banyak diprotes, ”politik bumi putra” tak sepenuhnya menetes ke bawah. Kolusi dan nepotisme membuat kek (kue) pembangunan hanya disantap sekelompok orang. Dan orang Melayu tahu benar isu-isu ini, bukan dari media yang semua pro-pemerintah, melainkan dari blog, milis, dan situs yang bertebaran di Internet. Pengundi (pemilih) muda Malaysia bukan lagi angkatan kedai kopi yang buta teknologi, melainkan generasi ”starbucks” yang canggih.
Pemerintah Malaysia terlambat menyadari betapa sia-sia politik membendung arus informasi selama ini. Seperti juga mereka telat memahami kekuatan lawan telah berubah: doktor, dokter, pengacara, profesional lain, ramai memperkuat tiga partai oposisi. Bahkan Partai Islam se-Malaysia (PAS), yang dulu didominasi ulama, kini mulai diisi profesional.
Seandainya bekas wakil perdana menteri Anwar Ibrahim berhasil menggalang kekuatan oposisi, Barisan Nasional berada dalam kesulitan besar. Kekuatan Anwar sudah dibuktikan dengan mendongkrak Partai Keadilan Rakyat dari hasil satu menjadi 31 kursi parlemen. Dengan menguasai Penang dan Selangor, dua ”mutiara” Malaysia yang kaya raya, semakin banyak modal bagi Barisan Pembangkang untuk ”perkelahian” selanjutnya.
Barisan Nasional, terutama UMNO, pasti akan berbenah setelah ”dering pengejut tidur” berupa hasil pemilu itu berbunyi. Sungguh banyak yang perlu mereka kerjakan, termasuk skenario yang sekarang konon mulai dipikirkan: memeluk PAS ke dalam Barisan Nasional—strategi ampuh yang tak terlalu mudah diwujudkan.
Apa pun strategi yang dilancarkan, soalnya tinggal adu cepat: Barisan Nasional atau Pembangkang yang lebih dulu memberikan demokrasi sesungguhnya bagi rakyat Malaysia. Ke sanalah suara rakyat akan pergi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo