Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR ini tentu saja mengejutkan ratusan ribu orang tua dan calon mahasiswa yang hendak masuk perguruan tinggi negeri. Perhimpunan perguruan tinggi negeri pecah kongsi. Akibatnya, tes seleksi penerimaan mahasiswa baru tak lagi terpusat. Kedua pihak akan menggelar dua tes masuk yang terpisah. Selain tak efisien, cara ini juga akan merepotkan sang calon mahasiswa.
Bayangkan, calon mahasiswa di Papua harus terbang ke Jakarta dulu hanya agar bisa mengikuti tes masuk di Universitas Indonesia. Ini gara-gara perguruan tinggi negeri (PTN) di Jayapura sana berada di luar kubu kampus jaket kuning itu. Padahal, dengan menyatukan tes masuk perguruan tinggi negeri seperti dilakukan sejak 1984, banyak hal bisa dihemat. Karena itulah, pemerintah harus segera campur tangan. Dualisme sistem penerimaan mahasiswa ini tak boleh didiamkan.
Peristiwa ini merupakan buntut menyempalnya 39 PTN dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Nusantara (SPMB). Mereka akan menyelenggarakan sendiri Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Keputusan ini tentu saja mengagetkan para wali murid, bak geledek di siang bolong. Apalagi waktunya mepet dengan ujian nasional SMA, yang akan diadakan pertengahan bulan depan.
Pemerintah semestinya bisa mencegah kekacauan ini jika aturan main dan statusnya diperjelas. Sejak awal, perhimpunan yang dibentuk rektor PTN se-Indonesia itu memang tidak jelas posisinya, apakah bagian dari aparat negara atau lembaga swasta. Jika dibilang swasta, nyatanya semua fasilitas yang digunakan milik negara.
Sebaliknya, jika diposisikan sebagai milik negara, faktanya mereka tak pernah menyetorkan pemasukan ke kas negara. Bertahun-tahun uang yang mereka terima dikelola secara mandiri tanpa audit dari pemerintah, sampai akhirnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggolongkan dana itu sebagai penerimaan negara bukan pajak-sehingga harus disetor ke kas negara.
Sayangnya, Departemen Pendidikan Nasional kembali tidak tanggap. Meskipun pernyataan BPK itu diumumkan pada akhir Juni tahun lalu, tidak ada tindakan yang dilakukan. Baru setelah 39 PTN tadi sepakat keluar dari perhimpunan tersebut demi menghindari perkara hukum, yakni takut dikejar-kejar Komisi Pemberantasan Korupsi, pemerintah seperti kebakaran jenggot.
Soal fulus juga jadi pencetus. Sejumlah rektorat kecewa lantaran pembagian rezeki tidak merata. Maklum saja, seleksi mahasiswa baru melibatkan uang dalam jumlah besar. Tahun lalu, uang pendaftaran itu mencapai Rp 59 miliar. Perguruan tinggi yang menjadi pilihan pertama peserta akan mendapat jatah terbesar. Akibatnya, anggota perhimpunan sekelas Universitas Negeri Surabaya hanya kebagian Rp 28 juta.
Aroma membisniskan urusan ini makin terasa ketika kelompok UMPTN juga membuat formula pembagian uang berdasarkan prioritas pilihan peserta tes. Porsi untuk perguruan tinggi yang hanya menjadi pilihan kedua dan ketiga lebih besar daripada yang ditetapkan versi SPMB. Tak salah jika kampus negeri berkeras mendapat pemasukan dari seleksi ini, karena tidak ada uluran dana dari pemerintah.
Tapi rasanya tak elok jika kampus yang punya misi melahirkan bibit unggul bangsa lalu mencari untung dari proses seleksi ini. Karena itu, pemerintah harus segera mengambil alih urusan ini. Para petinggi PTN juga tidak perlu malu kembali duduk bersama dan membicarakan lagi perihal ujian masuk yang terintegrasi, agar beban masyarakat tidak bertambah berat. Masih ada cukup waktu untuk kembali ke sistem lama yang sudah bagus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo