Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=brown><B>Mahathir Mohamad: </B></font><BR />Saya Tak Boleh Bicara di UMNO

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Malaysia, politik belum bebas dari Mahathir. Ketika suara Barisan Nasional anjlok pada pemilu pekan lalu, para pendukung politik Melayu serta-merta merindukan Mahathir Mohamad, perdana menteri keempat Malaysia. Banyak yang cemas, kekalahan itu merupakan isyarat kebangkrutan United Malays National Organization (UMNO), kendaraan politik Melayu yang telah berkuasa lebih dari setengah abad.

Pada 1970, Mahathir menulis The Malay Dilemma, yang memperkuat keabsahan ”Ketuanan Melayu (The Malay Dominance)” di Malaysia. Sampai kini, dia tetap mempercayai gagasan itu. Itu sebabnya, saat suara UMNO digembosi oposisi, ”Dr M”—begitu Mahathir biasa disapa—mengeluarkan kritik tajam. Dia menggelar jumpa pers dari rumahnya di Alor Setar, Kedah. ”Badawi harus bertanggung jawab,” ujarnya.

Maka elite partai Melayu itu pun seperti cacing mencari tanah basah. Suara Mahathir dianggap memojokkan kepemimpinan Abdullah Badawi, bekas wakilnya. Pendukung Badawi di UMNO kontan menggelar rapat dan menyatakan ”Pak Lah” tetap sebagai pemimpin partai. Lalu paduan suara berdengung lagi di Barisan Nasional, koalisi 14 partai yang dipimpin UMNO; mereka menyokong kembali Badawi sebagai perdana menteri. Reaksi itu justru menegaskan betapa kuatnya pengaruh Mahathir kendati telah lima tahun lengser dari kekuasaan.

Mahathir kini 83 tahun. Jantungnya baru saja dibedah lagi. ”Ini kedua kalinya,” ujarnya. Tapi pikirannya masih jernih. Dia kerap membaca novel dan buku sejarah, sampai pukul 12 malam. Olahraga berkuda yang digemarinya sudah dia tinggalkan. Kini dia sedang menyusun otobiografi setebal 600-an halaman. ”Saya menulis dengan tangan, tak biasa mengetik,” ujarnya.

Mengapa dia kini setuju pers bebas tapi tetap mendukung politik perkauman? Tepat sehari sebelum pemilu ke-12 Malaysia berlangsung, wartawan Tempo Nezar Patria dan Andree Priyanto menemui Mahathir di rumahnya, di Alor Setar, Kedah, Malaysia, Jumat pekan lalu. Berikut ini petikan wawancara dengan salah satu pemimpin terlama di Asia Tenggara itu.

Faktor apa yang membuat rakyat Malaysia cenderung tak lagi menyokong Barisan Nasional?

Saya kira faktor tak puas hati dengan cara kepemimpinan. Kalau faktor ekonomi, rakyat tak begitu paham. Ekonomi Malaysia masih tumbuh pesat, 6 persen per tahun. Yang mereka rasakan dan pahami adalah soal kenaikan harga barang, terutama harga minyak. Mereka akan menunjukkan perasaan itu lewat pemilu.

Anwar Ibrahim mengatakan akan menurunkan harga minyak begitu dia terpilih. Mungkinkah hal itu dilakukan?

Kalau dia menang pemilu dan membentuk pemerintahan, barulah dia boleh menyentuh harga minyak. Tapi, kalau minoritas, apa yang bisa dibuat untuk menurunkan harga? Itu cuma gimmick pemilu.

November tahun lalu, warga Hindu berdemonstrasi menentang diskriminasi yang mereka alami. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat Malaysia?

Mereka berdemonstrasi karena rasa tak puas hati kepada kepemimpinan kaum mereka. Partai Malaysia Indian Congress (MIC) dipimpin Samy Vellu begitu lama. Dia tak pernah memberikan peluang kepada yang lain untuk menggantikannya. Kalau ada orang yang cakap, dia singkirkan. Kalau ada orang India yang masuk ke Barisan Nasional, Samy Vellu pasti menjegal. Ini menimbulkan rasa tak puas hati. Terutama kaum India yang merasa tak sehati lagi dengan Samy Vellu.

Warga Malaysia sudah lama hidup dalam keterpecahan sosial. Ada kantong masyarakat Cina, India, dan Melayu. Mengapa sampai kini hal itu tak berubah?

Di Malaysia, kaum-kaum itu berbeda bukan hanya dari etniknya, tapi juga ekonominya. Di bidang ekonomi, kita melihat keturunan Cina jauh lebih maju daripada orang India dan Melayu. Orang Cina berkegiatan ekonomi di kota-kota, orang Melayu di luar wilayah kota. Jadi, tak ada kesempatan mereka bertemu. Orang India lebih banyak bekerja di real estate. Perasaan etnik mereka itu begitu kuat. Makanya tak mungkin berjuang dalam satu partai. Mereka pun mendirikan partai berdasarkan ras. Jadi, kalau mau mendirikan partai, itu haruslah gabungan dari partai-partai rasial. Begitulah cara mengatasi keragaman.

Kaum Melayu dinilai amat diuntungkan dalam pembangunan ekonomi….

Dulu, kami memberikan bantuan kepada kaum yang terbelakang, yaitu orang Melayu dan suku asli lain di Sabah dan Sarawak. Bantuan itu bertujuan menaikkan nilai ekonomi mereka. Tak ada negeri di Asia Tenggara ini yang membuat sekolah etnik dengan bantuan pemerintah: sekolah Cina dalam bahasa Cina, sekolah Tamil dengan bahasa Tamil, dan sekolah kebangsaan dalam bahasa Melayu. Mereka boleh pergi ke sekolah kebangsaan, tapi mereka kuat sekali berperasaan bahwa dalam hal pelajaran mereka harus pergi ke sekolah etnik masing-masing.

Apakah kondisi itu warisan kolonial?

Sebagian peninggalan kolonial. Di zaman penjajahan Inggris dulu, tak pernah ada usaha membawa masuk orang Melayu ke dalam arus utama ekonomi. Mereka lebih mudah memasukkan orang Cina yang cakap berniaga.

Malaysia pernah mengalami kerusuhan etnik pada 1969. Apakah ketegangan itu masih mengancam?

Saya pikir tidak. Saya juga tak ingin ada kerusuhan antar-etnik lagi. Memang ada ketegangan antara semua kaum, tapi tak begitu tinggi. Sebab, di Malaysia, alhamdulillah, kita tidak ganas.

Banyak yang membandingkan Anda dengan pemerintahan Abdullah Badawi….

Memang perbandingan selalu akan dibuat. Kalau ada pemimpin baru, pemimpin ini ingin meninggalkan jejak yang merujuk ke dirinya. Jadi, berbedalah antara pemerintahan saya dan Pak Lah (Abdullah Badawi). Tapi ada kebijakannya yang tak disukai oleh rakyat. Misalnya tentang jembatan ke Singapura. Ini yang membuat saya tersinggung. Kita lihat sekarang, pemerintah (Malaysia) tunduk kepada sebuah negara kecil. Ini membuat sakit hati banyak pemilih.

Malaysia takut kepada Singapura?

Kami tak takut kepada Singapura. Dari dulu kami bersaing. Kalau dia ada pelabuhan besar, kami pun punya. Ini bisnis, dan dalam bisnis selalu ada persaingan. Harusnya, kalau Singapura tak mau membuat jembatan, ya, kami buat saja, meski hanya sebelah buat kami. Tapi ini karena Singapura tak mau membuat, kami membatalkannya.

Bagaimana Anda melihat pers Malaysia sekarang?

Kelihatannya media sekarang hanya mengungkapkan apa kata pemerintah dan tak pernah menyampaikan kritik. Kalau saya buat kritik kepada pemerintah, tak ada laporannya di dalam surat kabar, televisi. Jadi, pemerintah mencoba membendung pers. Ini contoh tindakan yang tidak baik.

Jadi, Anda sekarang mendukung pers bebas?

Saya suka pers yang lebih baik, yang lebih terbuka. Tapi pada saat yang sama mereka tak boleh menimbulkan perasaan benci antarkaum. Ini sensitif di Malaysia. Kalau media memainkan isu-isu etnik, akan timbul huru-hara seperti kerusuhan 1969. Jadi, walaupun kami beri kebebasan, ada aspek tertentu di mana mereka harus berhati-hati. Tidak boleh terlalu bebas membuat kritik ini-itu, karena masih ada ketegangan antar-etnik.

Lalu bagaimana ketegangan etnik ini harus dikelola menuju satu identitas Malaysia?

Di Indonesia dulu, orang-orang menuntut kemerdekaan dan melupakan soal etnisitas. Mereka terima apa saja yang bisa menyatukan. Mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Itu bahasa kelompok kecil saja di Indonesia, tapi semua terima. Sepatutnya kan bahasa Jawa diterima, karena jumlah orang Jawa banyak. Tapi tak ada protes, karena yang utama adalah mencapai kemerdekaan melawan Belanda. Demikian juga Pancasila, konsep yang bisa diterima oleh semua. Kami di sini tak begitu.

Sejak awal, di Malaysia tak ada kesamaan?

Pada saat mencari kemerdekaan, kami punya kesamaan yang justru terbatas. Melayu, Cina, India, semua menuntut kemerdekaan. Tapi, selepas kemerdekaan, masing-masing mencari kepentingannya. Berdiri sekolah-sekolah Cina, Tamil, dan mereka membawa guru-guru sendiri. Sehingga perasaan etnik amat kuat. Partai-partai kami mengacu pada kaum. Ada UMNO Melayu, PAS Melayu, MIC India, MCA Cina. Kami coba satukan, tapi tak ada sambutan.

Bukankah perbedaan itu bisa diselesaikan dengan sistem politik yang menjamin persamaan hak?

Kalau hak disamakan, bumiputra atau di Indonesia disebut pribumi akan ketinggalan. Di Indonesia pun terlihat orang Cina lebih maju. Di sini, orang Cina jadi kaya, pribumi jadi kuli. Maka Melayu harus kami naikkan. Kami buat solusi khusus yang memihak bumiputra. Saat ini sudah ada kemajuan, tapi belum cukup untuk menghapuskan aturan itu.

Apakah taraf hidup bumiputra sekarang lebih maju?

Ada kemajuan karena kami beri peluang. Di masa saya jadi dokter pada 1950-an, jumlah dokter bumiputra hanya dua persen. Sekarang sudah 40 persen. Mereka tidak saja mendapat peluang, tapi bisa bersekolah hingga tingkat tertinggi. Dalam bidang itu, mereka sudah memiliki persamaan. Tapi, dalam bidang bisnis, kalau tidak dibantu, kota-kota Malaysia akan dipenuhi orang Cina saja. Ini akan menimbulkan iri hati di kalangan Melayu. Mungkin itu akan melecut kerusuhan.

Sampai kapan Melayu akan mendapat perlakuan khusus?

Kami tidak bisa menetapkan waktunya. Tapi, sedikit demi sedikit, apabila kita lihat ada kemajuan yang dicapai bumiputra dibanding nonbumiputra, pada masa itu kami mengurangkan bantuan.

Mengapa Anda mengatakan sebaiknya oposisi mendapat tempat lebih besar dalam politik Malaysia?

Ya, mereka (oposisi) mesti menegur (pemerintah). Sebab, kalau tak ditegur, akan membuat salah. Terutama apabila partai kami sendiri tak berani menegur ketuanya. Itu akan membuat kerusakan.

Ketika berkuasa, bukankah Anda juga mengekang suara kritis?

Ya, banyak orang berkata begitu. Tapi, pada hakikatnya, saya punya opposition party yang kuat dan, kalau ada kalangan di partai saya yang menentang saya, mereka bebas bertanding dengan saya. Tengku Razaleigh Hamzah (1987) lawan saya, Musa Hitam (1986) lawan saya. Banyak orang dalam pemerintahan saat ini adalah orang yang dulu melawan saya. Masih juga saya terima mereka dalam partai. Sekarang ini, tak satu pun orang yang berani menegur pemimpin di atas, karena mungkin tindakan akan diambil.

Benarkah Anda tak boleh bicara di dalam UMNO?

Di dalam atau di luar UMNO, saya tak boleh bicara. Ya, memang ada komentar saya tentang hal-hal yang mengecewakan. Umpamanya jembatan ke Singapura dan Proton. Saya ingin rakyat tahu, tapi mereka rupanya ingin rakyat tak tahu.

Hubungan Indonesia dan Malaysia belakangan kerap panas gara-gara persoalan remeh, misalnya lagu Rasa Sayange. Benarkah Malaysia sedang mengalami krisis identitas, sehingga harus mengambil sesuatu dari Indonesia?

Lagu Rasa Sayange itu sudah dinyanyikan sebelum Perang Dunia. Bagi kami, ini bukan hak Indonesia atau Malaysia. Ini hak satu rumpun bangsa pengguna bahasa Melayu. Kami lihat Rasa Sayange dinyanyikan dalam bahasa Melayu, yang adalah ”bahasa rumah” Malaysia. Sehari-hari pun kami bercakap dalam bahasa Melayu. Tapi di Indonesia terdapat lebih dari 200 bahasa. Dan bahasa Indonesia, yang ada persamaan dengan bahasa Melayu, (waktu itu) adalah satu golongan kecil saja, yang dipilih pada zaman sebelum merdeka. Kami memang menyanyikan lagu itu dan kami tak memasalahkan lagu itu milik siapa.

Dalam soal Askar Wataniah, Indonesia curiga Malaysia mempekerjakan warganya untuk pekerjaan bela negara….

Tidak ada itu. Di Malaysia, kalau tidak menjadi warga negara, tidak ada hak menjadi askar (tentara). Saya tak tahu dari mana datang cerita itu. Ini mustahil. Kalau dia mau bekerja sebagai anggota Askar Wataniah, dia harus mengeluarkan kartu pengenalnya.

Anda pergi ke Jakarta sewaktu Soeharto sakit. Bagaimana Anda menilai dia?

Ya, saya datang juga ke pemakaman. Tapi terlambat. Dia itu great leader. Ketika dia mengambil alih (kekuasaan), kondisi (Indonesia) sulit. Makanan tak cukup. Banyak huru-hara dan pembunuhan. Tapi dia berhasil mengamankan Indonesia. Juga, ketika kami berkonfrontasi, Pak Harto berusaha agar konfrontasi itu didamaikan. Lagi pun, kalau kita perhatikan, keadaan pada masa sebelum Pak Harto kan kurang baik—meski Presiden Soekarno membuat banyak perencanaan. Pak Harto membangunkan Indonesia. Tapi Indonesia sangat besar, jadi tak mungkin menyelesaikan banyak masalah.

Anda setuju dengan cara suksesi Asia, misalnya Lee Kuan Yew yang jadi Menteri Penasihat?

Banyak yang mengatakan saya sepatutnya jadi semacam Lee Kuan Yew, semacam menterinya para menteri. Itu saya tak setuju. Apa yang kita buat mesti ada batas.

Mahathir Mohamad

Tempat dan tanggal lahir: Alor Setar, Kedah, 16 Juli 1925

Pendidikan: King Edward VII Medical College, Universiti Malaya, Singapura, 1953

Karier:

  • Menjadi Anggota UMNO, 1946
  • Terpilih menjadi anggota Parlemen Kota Setar, Kedah
  • Dipecat dari UMNO, 1969
  • Masuk kembali ke UMNO, 1972
  • Menjadi senator dari Alor Setar, 1973
  • Menteri Pelajaran, 1974
  • Asisten Ketua UMNO, 1975
  • Wakil Ketua UMNO, 1976
  • Menteri Perdagangan dan Perindustrian, 1977
  • Ketua UMNO sekaligus Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, 1981
  • Mundur dari jabatan Perdana Menteri, 2003

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus