Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Manusia kultural, spiritual, dan peci

Manusia mustahil lepas dari estetika. kesenian tak pernah laku dibeli orang, sebab karya seni bukan sesuatu yang penting dalam perekonomian. hakekatnya, konsumen kesenian adalah manusia kultural.

8 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESENIAN selalu disukai, dibuat, dinikmati, dan dibeli orang karena tak ada manusia yang bukan manusia kesenian. Mustahil ada manusia di muka bumi ini, pada taraf peradaban yang mana pun, yang rambutnya, kukunya, pakaiannya, rumah tangganya, dan lingkungan dusunnya steril dari estetika. Bahkan, tidak ada makhluk hidup yang bukan makhluk kesenian. Tuhan sendiri sekurang-kurangnya tidak memperkenalkan diri-Nya bukan Khaliqun Estetikum. Pada masyarakat praagraris, kebersentuhan manusia dengan estetika berlangsung natural-total sebagaimana pada tumbuh- tumbuhan dan binatang. Pada masyarakat agraris, kebersentuhan itu sudah mulai mengandung jarak kesadaran, sehingga kesenian menjadi berupa dua hal: realitas dan konsep. Lantas, masyarakat pascaagraris mendayagunakan estetika sampai tahap rasional- fungsional. Dan pada masyarakat dengan tipologi campur aduk macam kita semua ini, misalnya, fungsi rasional itu berkembang spesifik, menjadi instrumen perubahan sosial, alat politik, atau komoditi ekonomi, antara lain. Dewasa ini kita sedang mengalami suatu zaman: "kesenian" tidak pernah dibeli orang, dan justru karena itu ia tak pernah tak laku di segala zaman, musim, dan keadaan. Kalau perekonomian sedang melaju, ia dibeli dengan uang. Tapi kebudayaan manusia punya berbagai cara dan "mata uang" untuk membelinya. Peci putih punya Ente sepulang naik haji tak perlu langsung dilelang. Jika Ente adalah bagian dari suatu strata masyarakat yang melihat agama sebagai simbol budaya tinggi, peci itu akan membuat omzet dagang Ente membengkak. Dan membengkaknya pun meliputi hampir segala nilai: ekonomi, gengsi sosial, derajat ketakwaan di mata tetangga (bukan Tuhan). Tanyakan saja, umpamanya, kepada haji-haji masyarakat Betawi, Madura, atau wilayah Tapal Kuda Jawa Timur, kaitan antara gelar haji dan grafik income mereka. Tanyakan juga kepada para profesional di metropolitan, mengapa membeli lukisan dari pelukis trendi menjadi semacam ber-"haji kebudayaan." Sebagaimana naik haji adalah sebuah legitimasi "high art", yang membuatnya lebih bergengsi dan populer, dan dua hal itu relevan terhadap pembengkakan pasar. Kesenian tidak pernah laku dibeli orang karena sesungguhnya karya seni itu sendiri bukan hal yang terpenting dalam peristiwa ekonomi kesenian. Silakan, mau pakai jenis estetika teater Riantiarno, atau modus ekspresi seni lukis Hardi, atau apa saja, sepanjang memenuhi satu syarat: seniman jangan menuangkan dirinya sendiri, melainkan menorehkan warna, bait puisi, atau adegan teater yang membuat penonton merasa bahwa dialah yang sebenarnya diekspresikan di bawah sadarnya. Karya seni bisa membuka pintu pergaulan sosial ekonomi peminatnya karena yang dipenuhi sesungguhnya kebutuhan bawah sadar para peminat itu. Kebutuhan terhadap simbol, identifikasi sedikit atau banyak nafsu hedonisme mereka, wadah kultural bagi rasa mapan sosial yang diam-diam digendong di bilik jiwa setiap orang. Atau, kadang-kadang, obsesi yang menyangkut nasib politik mereka. Masalahnya, orang cenderung mengembangkan atau mengubah konsep tentang simbol hedonisme dan rasa mapan sosial itu paralel dengan peningkatan kapasitas ekonominya. Di sisi lain, kalau seseorang memerlukan sebuah lukisan, sebait puisi, atau sepemanggungan drama, jika muara masalahnya adalah kejiwaan atau spiritualitas, sesungguhnya yang ia perlukan bukanlah kepuasan psikologis dan perolehan spiritual yang total, melainkan yang sekadarnya saja. Maksud saya, estetika dan spiritualitas tetap tidak berposisi primer: ia hanya instrumental (secara psikologi), ilustratif (secara budaya), dan aksesorial (secara religi). Tingkat permintaan pasar terhadap kesenian pada tahap itu. Spiritualitas total seperti pada lukisan Rusli, yang terlampau esoterik dan terlalu bersungguh-sungguh menawarkan dunia dalam estetika: tidak menarik minat. Pada hakikatnya, para konsumen kesenian tetap berada dalam kategori manusia-kultural, dengan konsep budaya yang tetap juga menomorsatukan materi budaya, termasuk simbol budaya sebagai materi budaya. Ia bukan manusia-spiritual, yang keperluannya terhadap simbol budaya hanya untuk lewat menuju ruangan batin yang lebih dalam. Manusia-kultural berhenti pada kepuasan memiliki simbol budaya: karya-karya seni yang menjadi boom. Baiklah kita kembali pada filosofi: yang salah bukanlah materi, melainkan konsep rohani kita tentang materi. Rohani kita memprimerkan materi dan mem-"pelengkap-penderita"-kan rohani itu sendiri. Seni lukis menjadi boom kebudayaan kota pada dasawarsa mutakhir ini tidak dalam posisi sebagai jalan spiritual, melainkan sebagai materi simbolik kebudayaan. Simbol kebudayaan ini kemudian berperan sebagai aset ekonomi dan popularitas, dan keduanya menggelinding menjadi bola salju komoditi. Adapun tulisan ini semata-mata bersikap monggo-monggo saja. Please-lah, silakan pilih yang Ente sukai. Kesenian memiliki potensi untuk menjadi kendaraan manusia menuju realitas jiwa sejatinya sendiri. Ia sebuah jalan spiritual, di sisi lorong- lorong spiritual lainnya: sujud dalam agama, tarekat penderitaan hidup, pembusukan kegembiraan, puncak tangis, ilmu yang tuntas, dan sebagainya. Kalau kita menghentikan pertumbuhan kesenian di dalam diri kita hanya pada tahap budaya simbolik, apalagi class symbol, ya tidak dilarang oleh UUD 1945, KUHP, keppres, fikih, atau apa pun. Cacat pilihan kita ini cuma satu: kemanusiaan kita hanya superfisial. Kurang bermutu. Atau, meminjam istilah seorang tokoh mubalig: "la yamutu wala yahya". Makna aslinya dari Quran: hidup tidak, mati juga tak. Tapi mubalig kita itu menyindir kita dengan memelesetkan maknanya: la yamutu wala yahya, tidak bermutu karena kurang biaya, sekaligus tidak bermutu karena terlalu banyak biaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus