Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Keputusan pemerintah yang melarang penjualan gas elpiji ukuran 3 kilogram di tingkat pengecer justru menimbulkan masalah.
Melarang penjualan di tingkat pengecer jelas tidak masuk akal. Kenapa?
Selama sistem subsidi tak diubah, program mana pun yang diterapkan tak akan menuntaskan masalah.
BEGINILAH dampak aturan yang dikeluarkan tanpa kalkulasi matang. Keputusan pemerintah lewat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia yang melarang penjualan elpiji 3 kilogram di tingkat pengecer justru menimbulkan serangkaian masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Regulasi yang dimaksudkan untuk membatasi distribusi bahan bakar bersubsidi tersebut malah menyengsarakan masyarakat kelas bawah yang semestinya berhak mendapatkannya. Mereka harus antre berjam-jam di pangkalan resmi Pertamina untuk mendapatkan 1-2 tabung elpiji berukuran mungil. Dalam aturan baru, penjualan retail “gas melon” ini hanya diizinkan di agen resmi Pertamina. Presiden Prabowo Subianto menganulir aturan itu pada hari keempat pembatasan penjualan tersebut diterapkan, setelah keluhan bergaung di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peredaran elpiji 3 kg memang perlu dikendalikan agar barang benar-benar sampai ke tangan masyarakat yang berhak menerima. Selain itu, untuk menjaga agar anggaran subsidi tidak menggelembung. Pada 2024, pemerintah mengeluarkan Rp 80,2 triliun untuk mensubsidi bahan bakar jenis ini. Pada 2022 dan 2023, anggaran subsidi berturut-turut mencapai Rp 100,4 triliun dan Rp 117,85 triliun.
Masalahnya adalah skema pengendalian yang diterapkan. Melarang penjualan di tingkat pengecer jelas tidak masuk akal, sekalipun data Kementerian Energi menunjukkan titik rawan penyimpangan terjadi di antara pangkalan dan pengecer. Sebab, jumlah agen elpiji resmi Pertamina di seluruh Indonesia hanya sekitar 260 ribu, jauh lebih sedikit dibanding pedagang eceran yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 3,9 juta. Antrean yang mengular di mana-mana setelah penjualan di tingkat pengecer dilarang merupakan keniscayaan.
Sebelum Bahlil menerbitkan aturan ini pada 1 Februari 2025, pemerintah sudah lama ingin mengatur ulang skema distribusi elpiji bersubsidi. Berbagai inisiatif pun dibuat. Pada 2017, misalnya, pemerintah menggagas penggunaan Kartu Sejahtera yang diterbitkan Kementerian Sosial. Selain itu, Kementerian Energi merancang pembuatan Kartu Kendali yang merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Tapi berbagai kajian itu masuk laci.
Program mana pun yang diterapkan tidak akan menuntaskan masalah. Pemberian subsidi masih berbasis barang, bukan orang. Selama sistemnya tak diubah, penggunaan instrumen “kartu” seperti yang diusulkan Kementerian Sosial dan Kementerian Energi justru bisa menyebabkan disparitas harga. Perbedaan harga yang signifikan itu kemudian akan memunculkan berbagai penyelewengan, seperti pengoplosan. Gap harga yang lebar itu juga makin membuat penyaluran subsidi tidak tepat sasaran. Barang bersubsidi tak hanya jatuh kepada kelompok masyarakat mampu, tapi juga bisa belok ke industri.
Karena itu, agar tepat sasaran dan anggaran tak membengkak, subsidi elpiji 3 kg semestinya langsung disalurkan kepada keluarga tidak mampu sesuai dengan DTKS—dengan catatan pemerintah memperbaikinya lebih dulu. Adapun di pasar, elpiji 3 kg dijual dengan satu harga. Dengan hilangnya disparitas harga, berbagai penyelewengan akan sirna dengan sendirinya.