Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daoed Joesoef
BELAKANGAN ini sering diberitakan adanya usaha menjadikan SMA Negeri bertaraf internasional. Hal itu dilakukan tidak hanya melalui penyempurnaan sarana dan prasarana fisik pembelajaran hingga “menyamai” sekolah setingkat di negara maju, tapi juga dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk mata pelajaran MIPA dan teknologi informasi. Pemakaian resmi bahasa asing di lembaga pendidikan formal pemerintah tingkat menengah ke bawah ini pantas disesalkan dan sangat memilukan.
Memilukan karena ternyata betapa besar kekeliruan pejabat pendidikan mengenai pemahaman sains yang telah mendorong penerapan bahasa Inggris itu. Harus diakui buku pelajaran asli tentang dasardasar sains dan teknologi hampir semuanya ditulis dalam bahasa asing, termasuk bahasa Inggris. Namun, tidak berarti bahwa pembelajarannya kepada siswa di tingkat SMA ke bawah otomatis harus diberikan dalam bahasa aslinya.
Penguasaan sains dan pengetahuan ilmiah lain melalui proses pendidikan formal tidak ada kaitannya dengan keaslian bahasa pengantarnya. Hal ini berlaku untuk semua jenjang pendidikan. Bahwa semua orang yang ingin maju dalam ilmu pengetahuan hendaknya menguasai bahasa asing, memang benar, terutama bagi orangorang dari negara yang belum maju keilmuannya seperti Indonesia.
Jepang yang tingkat penguasaan ipteknya relatif kuat—sudah menandingi Amerika, Inggris, Jerman, dan Prancis—ternyata tetap memakai bahasanya sendiri di semua jenjang pendidikan formalnya. Bahkan bukubuku teks penting diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Malahan ada pemenang Hadiah Nobel dalam ilmu fisika dari Jepang yang mengaku hanya mengenal bahasa ibunya. Maka, kata kunci pembelajaran yang efektif adalah guru yang kompeten.
Kompetensi ini tidak hanya ditentukan oleh tingkat penguasaan materi, tapi juga oleh penguasaan atas bahasa yang dipakainya dalam proses pembelajaran. Ukuran yang disebut terakhir ini terutama berlaku di jenjang pendidikan menengah. Sebab, justru di jenjang ini “informasi” yang pernah diperoleh anak didik di SD ditransformasi menjadi “pengetahuan”, guna selanjutnya dikembangkan lebih lanjut di perguruan tinggi menjadi “ilmu pengetahuan”.
Jadi, di jenjang menengah itu, guru harus mampu menggunakan bahasa lisan jauh lebih kuat daripada bahasa tulisan. Persis yang dilakukan Plato dan Socrates dalam menyampaikan hakikat dari apaapa yang dibahasnya dengan muridmuridnya.
Yang lebih memilukan lagi, bahkan sangat memalukan, adalah soal penerapan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah negeri, bila dipandang dari sudut martabat kebangsaan. Negarabangsa kita sudah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Artinya, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi dalam berkomunikasi dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, terutama yang menyangkut kepentingan publik. Pembiasaan pemakaian ini pada tingkat pertama tentu dilakukan di jalur pendidikan formal. Sejak Proklamasi, hal itu sudah dilakukan sejak TK hingga perguruan tinggi.
Kini, di saat lembaga pemerintahan yang mengurus pendidikan secara eksplisit dinyatakan “nasional”, yaitu Departemen Pendidikan Nasional, justru lembaga itu secara sengaja menyiapkan pembentukan sekolah bertaraf internasional untuk anakanak Indonesia di Indonesia dengan memakai bahasa “asing” sebagai bahasa pengantar. Dengan bangga disebutkan bahwa kini pemerintah dalam rencana strategisnya telah menargetkan 112 sekolah bertaraf internasional yang sama dan serupa. Lalu mana kenasionalan dari sebutan keren “nasional” itu?
Tidak mengherankan kalau kini kabarnya di ibu kota Republik Indonesia, di bawah pelupuk mata Departemen Pendidikan NASIONAL, ada sekolah swasta asing tingkat dasar dan menengah yang mendidik anakanak Indonesia tidak hanya dengan pengantar bahasa asing, tapi bahkan tidak mengajarkan sama sekali bahasa Indonesia. Artinya, anakanak Indonesia ini, yang dalam dirinya merupakan masa depan Indonesia, sejak dini sudah dijauhkan dari amanat Sumpah Pemuda: menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Lalu di mana mereka dididik menyanyikan himne nasional Indonesia Raya? Secara sistematis mereka sudah dibina menjadi “orang asing” di negerinya sendiri. Selagi nalarnya digembleng agar mampu menguasai iptek, jiwanya tidak disiapkan untuk menghayati unsurunsur kebangsaan. Nalar dan jiwanya tidak disadarkan untuk bersinergi demi kejayaan martabat bangsa, kemuliaan tanah air, dan kekukuhan eksistensi negara. Mana kebijakan kebudayaan pemerintah? Inilah salah satu akibat yang kelak fatal bagi survival kita karena dipisahkannya urusan kebudayaan dari urusan pendidikan, yang secara esensial merupakan bagian dari kebudayaan itu.
Sesungguhnya bahasa punya posisi vital dalam keseluruhan struktur kehidupan manusia dan eksistensi komunitas, lokal maupun nasional. Yang selalu dijadikan alasan dari peremehan terhadap bahasa Indonesia adalah tidak eksaknya arti yang dikandung katakatanya. Kenyataan ini membuat bahasa kita menjadi alat yang tidak sempurna, sangat tidak pas untuk dimanfaatkan dalam proses berpikir yang ketat.
Sejujurnya, alasan itu juga berlaku bagi semua bahasa yang dianggap sudah “maju”. Kekurangan umum ini bisa kita rasakan kalau kita pernah mempelajari subyeksubyek yang serba subtil melalui bahasa tersebut, seperti filosofi. Di pihak lain, pengguna aktif dari bahasa apa pun dari bangsa mana pun akan selalu menghadapi kesulitan dalam mengkomunikasikan apaapa yang berasal dari imajinasi dengan menggunakan apaapa yang bersumber pada persepsi umum, sebagaimana dikandung oleh katakata dan rangkaian perkataan.
Bahasa adalah sistem komunikasi dari manusia. Namun, semua bahasa manusia, yang lahir di antara ribuan variasi sejarah, adalah berbeda, jauh lebih sedikit, atau jauh lebih banyak, dari segala sistem informasi yang logis dan koheren yang pernah diciptakan manusia. Yang membuat kekhasan sifat dan keunikan dari bahasa manusia adalah ketidaklogisan dan kekurangannya, juga pembawaannya yang grafis dan adaptif, kemampuannya menyesuaikan diri pada halhal baru, tak terduga, keterbukaannya pada yang di luar prakiraan, dan penerimaannya terhadap apaapa yang belum pernah dikatakan.
Maka, demi memantapkan kegunaan fungsional dari bahasa Indonesia, para ahli dan sarjana bahasa Indonesia terpanggil untuk menangani studi filosofi linguistik terpisah dari studi ilmu linguistik, khusus mengenai bahasa Indonesia. Hal ini mengkondisikan struktur dari jenis fundamen linguistikofilosofis yang diusulkan.
Tidak akan mungkin penanganan itu diawali dengan komponenkomponen
yang terpisah dari bahasa. Artinya, dari kata lalu meningkat ke struktur yang lebih tinggi, dan akhirnya mempelajari cara struktur itu diterapkan dalam konteks aktual kehidupan. Penanganan yang diusulkan ini adalah persis kebalikannya: mengambil totalitasnya sebagai langkah awal, lalu melalui proses konkretisasi yang makin menukik, berusaha menurun ke komponen yang terpisah-pisah. Namun, totalitas bahasa ini tidak dicari di tingkat objectivized language, melainkan dalam situasi seharihari manakala rakyat berbicara satu sama lain.
Maka, yang harus dilakukan oleh studi ini adalah mempelajari berbagai macam situasi pembicaraan, tentang fungsinya dalam kehidupan dan bentuk internnya. Hanya dengan begitu, studi baru ini mengarah ke apa yang dibicarakan secara aktual, menuju apa yang timbul dari arus pembicaraan dalam bentuk entitas besar atau kecil, dari ucapanucapan singkat seperti pepatahpetitih atau slogan ke entitas lengkap seperti literatur, mengidentifikasi means serta material yang dengannya bahasa dipersiapkan guna membentuk entitasentitas tersebut.
Studi ini jelas tidak ringan, tetapi tidak akan siasia. Jauh sebelum dinobatkan menjadi bahasa Indonesia, ketika masih berstatus bahasa Melayu sopan (beschaafd Maleis), ia sudah menjadi lingua franca di Asia Tenggara. Jadi, pada kesahajaan bentuknya, ia sudah menunjukkan tandatanda yang tak terbayangkan kedalamannya, walaupun penampilannya tidak demikian. Melalui pemakaiannya, ia sudah dapat membuktikan sebagai suatu bahasa yang, menurut pembawaannya sarat dengan kesahajaan metafisis.
Kini bahasa Indonesia, berkat pemekaran, penyempurnaan, dan pengayaan bahasa Melayu, melalui pengenalan dan pembubuhan dialek lokal, bahasa daerah lain dan asing, terasa benar merupakan perempuan—betulbetul refleksi dari Ibu Pertiwi—jelas watak keibuannya. Dari sudut pandang apa pun ia tetap feminin, indah, dihias oleh kewajaran dan keanggunan alami, serta cenderung sensual. Juga, tak kurang feminin keadaan keempat kerabatnya: retorika, ucapan, kefasihan, dan literatur. Renungi saja puisi, prosa, pepatah, gurindam, esai, dan pidato kita, yang adakalanya menggabungkan atau memisahkannya, namun malah mempermudah menanggapi kaitan di antara semua itu.
Kalaupun niat mendirikan sekolah bertaraf internasional seperti yang direncanakan itu didorong oleh motif menghadapi ancaman globalisasi, kiranya perlu disadari bahwa yang bertarung di kancah global itu bukan kekuasaan, melainkan nilai. Dan bahasa kita, bahasa Indonesia, merupakan salah satu dari komponen sistem nilai itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo