Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mbah bejo

Wawancara dengan mbah bejo, orang belanda yang berumur 80 tahun di zeist mengenai inti pandangan hidup, yang mempengaruhi pandangan hidup, sikap hidup keagamaan orang jawa dan beda solo dan yogya. (kl)

17 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MBAH Bejo orang Londo. Nama sebenarnya Th. Pigeaut. Umur di atas 80. Tinggal di sebuah rumah perawatan orang tua di bilangan Zeist. Hidup tidak penuh dengan hiruk-pikuk lagi. Mbah Bejo lagak-lagunya seperti orang Jawa. Tinggi-pendeknya juga. Jawa memang sebagian dari hidupnya, tepatnya sebagian dari keahliannya. Pikirannya masih terang-benderang. Kehendak hidupnya tetap. Tak ada kompleks "orang tua". Bertemu dengan Mbah Bejo seperti bertemu dengan salah seorang pujangga keraton. Ia duduk selonjor di bangku panjang dengan bentuk agak khusus, dengan pengempuk di bawahnya. Sekujur tubuhnya terbungkus. Wajahnya yang bangsawan serta matanya yang kecil mengintip tajam di bawah kopiahnya yang longgar. Ia tak bisa banyak mondar-mandir lagi. Ngomong-omong dengan orang winasis sudah tentu tidak akan pulang dengan tangan hampa. Setelah tanya-menanya seperti adegan jejeran dalam wayang (sering orang menganggap bagian ini paling idle dari tontonan wayang) mulailah omong-omong itu. - Apa inti pandangan hidup orang Jawa? - Roso Jawi! Lalu dijelaskannya tingkat-tingkat kesempurnaan hidup: orang akan sampai kepada hakikat bila ia bisa mencapai tingkat "kesatuan" yang tertinggi. Kesimpulannya jelas, banyak orang Jawa "belum Jawa", dan tidak akan pernah. - Siapa tokoh "paling Jawa" dalam pergerakan nasional Indonesia? + Ki Hajar Dewantara. Saya mengenalnya pribadi. Dia tipe asli seorang intelektual Jawa. - Sutomo? + Dokter Sutomo lebih banyak Baratnya. Mungkin karena lingkungan pergaulan di Stovia. - Sukarno? + Saya tidak mengenalnya. Dia dari angkatan yang lebih muda lagi. Mungkin lebih Barat lagi. - Di dasar yang paling bawah, apa yang paling mempengaruhi pandangan hidup orang Jawa? + Unsur dari India. Terutama bahasa Sanskerta. Bahasa ini berperan seperti bahasa Gerika untuk Barat. Dan bahasa Sanskerta memang tak banyak memakai kata kerja. - Bagaimana sikap orang Jawa dalam hidup keagamaannya? + Orang Jawa menerima agama apa saja. Tak ada yang ditolaknya. Tapi semua agama itu tak akan "keluar" dari sana sama seperti ketika ia "masuk" . Apa pun yang nyemplung ke tanah Jawa, keluarnya akan jadi lain. Kecenderungan orang Jawa adalah sulit menjadi fanatik. Malah cenderung pada heterodoksi. - Pengaruh Cina? + Ini yang orang jarang menyadari: pengaruh Cina sudah bisa dikatakan besar sejak zaman Singosari. Sejalan dengan pengaruh Islam, Cina berpengaruh terutama di kota-kota pantai, tempat kegiatan dagang. - Dibandingkan dengan warga salah satu suku di Indonesia, kenapa orang Jawa suka menunduk-nunduk dan ngapurancang? + Sejarah perpolitikan di tanah Jawa cukup panjang. Kerajaan-kerajaan besar timbul dan tenggelam. Pengalaman politik di Jawa tidak selalu sedap. Banyak konflik dan pertumpahan darah, baik di kalangan mereka sendiri maupun dengan bangsa asing. Sebab itu, terutama dalam berpolitik, mereka cenderung menunduk-nunduk bukan bermaksud apa-apa hanya ingin menghindari konflik. Mereka selalu teringat perihnya dan sakitnya konflik. Mereka berusaha keras menghindarinya ....Mbah Bejo benar-benar pujangga keraton. - Solo dan Yogya sekarang semakin tersambung. Semarang tetap menjadi tempat kediaman gubernur. Sebagai seorang yang pernah tinggal di Solo dan Yogya, apa yang suka Anda katakan? + Solo dan Yogya? (Sang pujangga menarik kedua sudut bibirnya ke atas, tersenyum). Sudah tentu Solo lebih tua. Lebih superior, khususnya dalam seni literatur. Keraton Solo lebih dekat ke pusat politik di Semarang waktu itu. Sebab itu, mereka jauh lebih supel dan lebih pintar dalam politik. Mereka juga amat menyukai seremoni. - Sampai sekarang Yogya dan Solo tetap bersaing, Mbah. + Ya? Para pangeran di Solo lebih fasih berbahasa Belanda. Juga tampak rapi berpakaian. Dengan demikian, mereka juga lebih terampil dalam pergaulan. Tambahan pula, penduduk Cina di Solo waktu itu lebih banyak. Lebih banyak kegiatan dagang, sebab itu tampak lebih makmur. Hidup lebih gampang, banyak pesta dan tontonan. Wayang orang berasal dari Solo. Orang Solo lebih luwes. - Yogya kaku? + Yogya banyak rusak oleh perang, khususnya pada abad ke-19. Karya-karya kesusastraan berada di bawah Solo. Yogya lebih muda. Orang dan keseniannya kaku. Tapi iklimnya baik, terutama untuk bekerja. Di Solo terlalu banyak pesta dan santai. Saya sendiri merasa baru bisa bekerja dengan baik sewaktu di Yogya. - Hubungan Yogya dengan gubernur di Semarang kurang lancar? + Solo lebih dekat. Belanda tak pernah masuk Keraton Yogya. Baru sekali Inggris dengan bala tentaranya masuk Yogya dan pengalaman itu tak akan pernah dilupakan orang Yogya, untuk selama-lamanya. Mbah Bejo sibuk membenarkan letak kopiahnya yang longgar, entah hadiah dari teman Indonesia yang mana. Mbah Bejo pujangga keraton. Sugeng, Mbah! Dan di Zeist, di sepanjang jalan, kita seperti berada di tengah-tengah kemakmuran abad ke-19. Kemakmuran kolonial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus