BILA hormon pertumbuhan gajah disuntikkan ke janin sapi, bisakah diharapkan generasi lembu raksasa dengan berat 4,5 ton per ekor? "Dalam 10 atau 20 tahun mendatang, kemungkinan itu tidak mustahil," ujar seorang peneliti di kampus Universitas Illinois, AS. Di perguruan tinggi itu, saat ini, sejumlah ilmuwan sedang menyiapkan "dunia fantasi" abad ke-21: teknologi tinggi yang akan mengubah struktur pertanian sampai ke dasar. "Setengah penduduk dunia sedang diancam kelaparan," kata Constantin A. Rebeiz, ahli fisiologi tanaman universitas tersebut. Maka, menurut pionir riset bioteknologi ini, pertanian harus menimbun kesenjangan itu dengan lompatan besar, bukan sekadar mengganti luku kayu dengan bajak baja. Itulah sebabnya, mungkin, AS sedang menggalakkan lebih dari 150 proyek teknologi di bidang pertanian. Sebagian sudah diujicobakan, lebih dari 70 proyek akan dimasyarakatkan pada 1990, dan sekitar 70 lagi disiapkan untuk tahun 2000. "Banyak di antara proyek itu menjanjikan hasil bagaikan dalam fiksi ilmiah," tulis Larry Green di harian The Los Angeles Times. Misalnya, pengembangan rekayasa genetik sejenis bakteri tanah, yang mampu memproduksi insektisida. Bakteri ini, kelak, akan dipoleskan pada bibit tanaman dan bertahan terus di sekitar akar. Sementara tanaman tumbuh, bakteri inilah yang bertugas sebagai pengawal untuk menangkal setiap serangan serangga Rebeiz sendiri, satu di antara ahli fotosintesis terkemuka di dunia, sedang merancang herbisida nonpolusi pembunuh gulma (tumbuhan pengganggu). Herbisida ini dibuat dari semacam asam amino yang terdapat pada semua tananam dan hewan, dan selama ini berfungsi dalam proses pembentukan klorofil. Pembunuh gulma ini siap dipasarkan dua tahun lagi, dan dijuluki "herbisida fotodinamik", atau "herbisida laser". Cara kerjanya sangat sederhana. Beberapa saat tersentuh sinar matahari, setelah disebar, herbisida ini akan meletuskan dan membunuh gulma. Karena itu pula, Rebeiz sekarang sedang merancang insektisida baru dengan proses yang sama. Penemuan lain yang sudah diumumkan ialah transmiter untuk memonitor saat yang tepat melakukan inseminasi buatan. Transmiter ini, yang dirancang oleh David Zartman, kepala departemen ilmu peternakan Universitas Ohio, dicangkokkan ke tubuh hewan ternak, juga berfungsi mengontrol suhu secara tetap. Bila seekor sapi sakit, atau akan melahirkan, transmiter ini pula yang memberi tahu peternak melalui sinyal-sinyal suara. Sementara itu, sedang dikembangkan pula alat sejenis untuk menentukan takaran dan ramuan makanan yang tepat bagi ternak secara individual. Dengan alat ini, yang diharapkan sudah mencapai pasar sekitar 18 bulan lagi, banyak penghematan bisa dilakukan, dan produksi susu perah ditargetkan mencapai titik maksimal. Yang agak gawat ialah penelitian di bidang pemuliaan bibit ternak. Akhir bulan lalu, para ilmuwan dari Universitas Pennsylvania, Universitas Washington, dan Departemen Pertanian AS, berhasil menyuntikkan hormon pertumbuhan manusia ke telur-telur kelinci, babi, dan domba yang sudah dibuahi. Eksperimen ini membuka cakrawala baru untuk, misalnya, menyuntikkan hormon pertumbuhan gajah, atau ikan paus, ke janin sapi. Menurut Dinas Pengkajian Teknologi AS, dari riset yang sekarang ini, bukan mustahil di masa depan bisa ditampilkan generasi sapi dengan berat 4,5 ton per ekor. Atau babi dengan panjang 4 meter dan tinggi 2,5 meter -bayangkan. Maka, bisa dipahami bila dari sekitar 150 proyek yang sedang berjalan, proyek "hewan raksasa" ini yang paling kontroversial. Protes sudah berdatangan, terutama dari lembaga dan yayasan yang bergerak di sektor lingkungan dan perlindungan satwa. Penelitian itu, menurut pihak ini, "melanggar moral dan hukum etis peradaban." Kalau tidak dihentikan, mereka menuntut agar percobaan jenis ini melibatkan pertimbangan dampak lingkungan sematang-matangnya. Sebuah proyek lain sedang merancang "produksi pangan tanpa tanaman, lahan, traktor, bahkan petani". Sistem ini akan menghasilkan bahan pangan melalui reaktor-reaktor fotosintesis, atau "pabrik-pabrik daun raksasa". "Pada abad ke-21, pertanian konvensional tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan pangan dan energi bumi serta ruang angkasa,"kata Rebeiz. Reaktorlah yang bakal menggantikan lahan, dengan menggunakan rekayasa-bio, membran fotosintesis, atau dedaunan yang langsung dibuat di pabrik. Pada saat itu pula, konon, glycerol buatan reaktor akan tampil sebagai benda simsalabim. "Dengan glycerol, kita bisa membuat apa saja," Rebeiz menambahkan. Glycerol, di samping menjadi bahan baku pangan, juga akan menggantikan bahan bakar fosil. Namun, program "aneh tapi nyata" ini tidaklah terlalu menggembirakan para petani AS sendiri. Pada pertengahan tahun 1930-an, di seluruh AS terdapat hampir 7 juta usaha pertanian, yang hampir semuanya bersifat usaha keluarga. Kini, dari 2,4 juta usaha pertanian yang tersisa, hanya 679 ribu yang masih bersifat usaha keluarga ukuran menengah. Sisanya berkembang menjadi industri pertanian dengan modal kuat. "Setiap saat teknologi tinggi menjamah pertanian, hasil akhirnya akan memukul kelompok yang tadinya hendak diselamatkan," kata L.J. Butler, ahli ekonomi pertanian Universitas Wisconsin. Menurut sebuah laporan Kongres AS, dampak teknologi akan terus-menerus mengubah struktur sektor pertanian. "Dari sistem yang didominasi pertanian menengah, arah perubahan itu menuju industrialisasi pertanian secara raksasa," demikian laporan tersebut. Surplus hasil pertanian di dalam negeri seperti yang dicita-citakan proyek penelitian tadi, menimbulkan pula problem tersendiri. Di masa lalu, hasil surplus itu dibeli pemerintah untuk menjaga kemantapan harga dan melindungi pendapatan petani. Tahun ini saja, misalnya, pemerintah federal harus mencadangkan sekitar US$ 18 milyar di bidang pertanian, sebagian besar untuk membeli kelebihan hasil panen. Bagaimana kalau diekspor? Tidak terlalu mudah juga, agaknya. Siapkah Anda, misalnya, melalap sayur buatan reaktor, atau menyantap paha ayam goreng seukuran kaki kuda nil?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini