Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Perang Batu di Kampus Reformasi

Gara-gara konflik antara yayasan dan senat kian runcing, Kampus Trisakti sempat ditutup. Diduga, ada aparat yang terlibat.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMBUN masih menyisakan damai di Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Sabtu dua pekan lalu, jarum jam baru menunjuk angka 5.45. Mendadak, raungan belasan bus memecah keheningan pagi. Tepat di depan kampus, para penumpangnya berlompatan turun. Berjumlah sekitar 600-an orang, mereka mengenakan kaus biru tua bertuliskan "Save Our Campus", lengkap dengan lambang Yayasan Trisakti.

Sontak, satpam, mahasiswa, karyawan, serta polisi yang telah berjaga di dalam gedung sejak semalam bersiaga. Dua kubu pun berhadapan di pintu gerbang. Situasi makin panas. Entah siapa yang memulai, batu saling beterbangan. Untungnya, aparat bertindak cepat membubarkan massa. Tapi, tak urung, akibat perang batu itu puluhan orang terluka dan 19 orang ditangkap polisi. "Kampus Reformasi" akhirnya mesti ditutup sehari penuh.

Aksi preman ini berlanjut Senin kemarin. Sekitar 25 orang kembali datang menyatroni Trisakti. Namun, sebelum sempat berbuat onar, mereka keburu diamankan polisi.

Imam Priyono, pengurus organisasi kemahasiswaan Trisakti yang ada di lokasi, bercerita bahwa ia tak mengenali wajah para penyerbu. "Saya menyesalkan tindakan Yayasan yang memakai cara represif seperti itu," tuturnya.

Benarkah Yayasan Trisakti berada di balik aksi brutal itu? Doktor Dadan Umar Daihani, anggota Senat Trisakti, yakin memang begitulah faktanya. Ia mengajukan sejumlah pertanda. Sehari sebelumnya, Yayasan mengundang wartawan televisi ke Hotel Citraland dan membocorkan rencana pengambilalihan kampus. Peristiwa itu memang sempat direkam dan ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta.

Selain itu, masih kata Dadan, sehari sebelum peristiwa, salah satu dosen juga memergoki Komisaris Besar Alfons Loemau—mantan komandan tim buru sergap Tommy Soeharto yang lalu membangkang di masa Kepala Kepolisian RI Jenderal Bimantoro—bertemu orang-orang Yayasan, juga di Hotel Citraland. Pun diketahui, Yayasan, atas nama seorang stafnya, telah menyewa beberapa kamar di hotel yang terletak persis di seberang Trisakti itu. Tak cuma itu, Advendi Simangunsong, Ketua Crisis Centre Trisakti, pun mengaku sesaat setelah bentrokan ia diminta datang ke kantor sebuah instansi militer dan diminta tak ikut campur.

Tapi cerita Dadan dibantah Sindhunatha, Ketua Yayasan Trisakti: "Tak benar kami menyerbu Trisakti, apalagi dengan memakai beking aparat." Menurut dia, Yayasan cuma berniat mengambil kantor Yayasan di dalam kampus, yang memang menjadi haknya. Komisaris Alfons mengakui pertemuan di Citraland itu. Tapi, menurut dia, itu bukan untuk rapat dengan pengurus Yayasan, melainkan sekadar berkaraoke-ria. Ia juga menyanggah terlibat kelewat jauh. "Saya memang diminta Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya supaya membantu menyelesaikan konflik Trisakti. Tapi saya tak pernah memakai preman menyerbu Trisakti," ujarnya.

Beginilah buntut konflik Trisakti yang sudah berlarut-larut tujuh bulan lamanya itu. Awalnya pada April lalu. Yayasan menganggap Thoby Mutis, Rektor Trisakti, telah membangkang karena merevisi Statuta 2001, aturan dasar pengelolaan universitas, secara sepihak. Salah satu yang paling krusial, kata Ferry Sonneville, Ketua Kehormatan Yayasan Trisakti, Thoby bermaksud menghapus sejarah Trisakti dan menolak keinginan Yayasan Trisakti untuk mengawasi keuangan kampus.

Tapi, menurut Dadan, tudingan Yayasan salah alamat. Revisi Statuta 2001 dikerjakan oleh Senat Trisakti, bukan oleh Thoby sendiri. Ia juga menilai wajar jika Thoby menolak niat Yayasan mengawasi keuangan universitas. Menurut dia, posisi Yayasan cuma sebatas badan pembina yang tak punya hak mengatur rektor secara langsung. Dadan lalu merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 60/1999, yang menyatakan rektor bertanggung jawab kepada senat, termasuk dalam hal keuangan. Atas dasar itulah, ketika Yayasan memecat Thoby pada 4 September lalu, Senat menolaknya. Dadan menilai akar konflik Trisakti semata soal perebutan duit. Belakangan, kas universitas swasta unggulan ini memang makin gendut saja, dari semula Rp 27 miliar menjadi Rp 160 miliar.

Dan para mahasiswalah, yang telah membayar mahal uang kuliah mereka, yang kini jadi korbannya.

Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus