Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Memahami Jazz sebagai Bahasa Ekspresi

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Franki Raden
Pengamat musik

MALAM terakhir Java Jazz pada 9 Maret kemarin ditutup oleh sebuah program yang menarik: peringatan 100 tahun Wes Montgomery, gitaris jazz legendaris yang meninggal dunia pada usia muda. Khusus untuk itu, di panggung besar Medco Energi ada 2 pemusik asing, yaitu Royce Campbell pada gitar dan Tony Monaco pada Hammond organ. Kemudian masih ada dua pemusik lokal, yaitu Cendy Luntungan pada drum dan Oele Pattiselano juga pada gitar.

Royce Campbell adalah gitaris yang memang mengkhususkan diri untuk memainkan lagu-lagu yang menjadi repertoir Wes dengan gaya bermainnya sekalian. Aslinya penampilan mereka adalah sebuah trio. Oele hanya berperan sebagai pemain tamu di akhir pertunjukan. Format ini tentu saja mengingatkan kita pada trio Wes Montgomery dan Jimmy Smith, yang sangat populer pada 1960-an.

Yang menarik, penampilan mereka malam itu menunjukkan bagaimana proses para pemusik jazz menggeluti dunianya yang sangat unik. Dari apa yang saya tangkap, malam itu mereka bermain hanya dengan sedikit latihan, yaitu satu jam sebelum penonton masuk ke ruangan. Sebelumnya keempat orang itu belum pernah bertemu dalam satu panggung dengan format tersebut. Masing-masing saya lihat hanya berbekal urutan lagu yang akan dimainkan. Pada saat latihan mereka hanya mencoba bagian-bagian yang perlu sedikit sentuhan bersama di sana-sini. Hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang.

Ketika musik mulai berjalan, Royce Campbell bermain dengan baik menjalankan perannya sebagai solois yang memimpin jalannya lagu. Tony Monaco bermain dengan lebih baik lagi menjalankan perannya sebagai pendukung Royce dengan akor-akor, bas (melalui pedal di kakinya) dan permainan solo. Di lain pihak, Cendy Luntungan tampak bermain dengan sangat low profile. Tidak jelek, tetapi ia kurang mampu memberikan andil yang dapat membuat permainan trio ini menjadi lebih menggigit. Akhirnya, permainan trio ini hanya terfokus pada Royce Campbell dan Tony Monaco, yang bermain sangat ekspresif melintasi lagu-lagu populer yang menjadi repertoir Wes seperti Neptune Blues dan Besame Mucho.

Yang membuat permasalahan menjadi lebih menarik adalah ketika Oele Pattiselano muncul di beberapa lagu menjelang akhir pertunjukan. Di sini kita dapat membandingkan langsung antara permainan Oele dan Royce yang sama-sama bermain gitar pada lagu yang sama. Serupa dengan Cendy, Oele juga kurang memberikan kontribusi yang berarti terhadap permainan mereka berempat. Ia tidak hanya bermain dengan low profile, tetapi juga tidak menyampaikan artikulasi gitar solonya dengan jelas sebagaimana halnya Royce Campbell.

Bagi mereka yang tidak mengenal Cendy dan Oele mungkin akan berpikir bahwa mereka memang bukan pemusik jazz yang baik. Kebetulan saya cukup sering menyaksikan permainan mereka di tempat dan format yang lain. Saat ini saya berani mengatakan bahwa mereka adalah salah satu gitaris dan drummer jazz Indonesia yang terbaik, jika bukan malah memang yang terbaik. Untuk jenis musik jazz standar, selama ini saya tidak pernah menyaksikan ada gitaris dan drummer yang sekaliber mereka berdua. Dalam konteks Java Jazz saya menyaksikan Oele bermain dengan trionya sendiri (Jeffry Tahalele pada bas dan Cendy Luntungan pada drum) di Merak Room pada hari pertama (6 Maret) dengan sangat mengesankan. Di sana ia menunjukkan kemampuannya bermain gitar secara maksimal sebagai solois. Sebelum pertunjukan Royce Campbell ini, saya juga sempat menyaksikan Cendy Luntungan bermain sangat mantap dengan Farah’ D Big Band.

Dari situ saya dapat menyimpulkan bahwa ketidakmampuan mereka untuk memberikan kontribusi yang kuat pada pertunjukan peringatan Wes Montgomery malam itu bukanlah karena mereka bukan pemusik jazz Indonesia yang baik. Masalah ini agaknya berakar pada iklim bermain musik jazz di Indonesia yang belum mengenal tradisi budaya seperti yang mendasari perkembangan musik jazz di Amerika.

Jazz pada dasarnya adalah bahasa ekspresi musikal yang sangat individual. Di Amerika hingga saat ini saya banyak melihat pemusik jazz berkulit hitam menggunakan musik jazz sebagai ekspresi budaya yang bersifat politis untuk menyuarakan posisi mereka sebagai minoritas. Kesadaran ini bahkan dapat saya lihat pada para pemusik jazz berkulit hitam yang masih remaja. Jika Anda sempat mendengarkan jazz di wilayah kota bagian selatan Chicago, Anda akan tahu bahwa pertunjukan musik jazz di sana memiliki konteks yang berbeda dengan pertunjukan jazz di klub-klub wilayah pusat Kota Chicago.

Yang menjadi masalah di sini bukanlah baik atau buruknya kualitas permainan mereka. Jazz yang saya dengar di klub-klub Chicago adalah bagian dari sebuah industri hiburan, sekalipun ini tidak mengurangi bobot dari musik itu sendiri. Sedangkan jazz yang sering saya dengar di wilayah selatan Chicago adalah sebuah ekspresi politik yang bersifat subversif terhadap dominasi masyarakat kulit putih. Di sini para pemusik jazz kulit hitam sangat sadar bahwa mereka bermain jazz dalam konteks membuat pernyataan yang tegas mengenai identitas budaya mereka. Mereka bahkan mengklaim bahwa jazz secara spesifik adalah musik masyarakat Amerika berkulit hitam. Kesadaran ini saya lihat di tanamkan sejak mereka masih bermain jazz di tingkatan sekolah dasar.

Jika jazz memiliki status seperti ini, Anda dapat bayangkan bagaimana seharusnya kita bermain musik jazz. Thus, pada dasarnya bermain musik jazz adalah menyatakan ekspresi kita dengan setegas mungkin agar orang lain dapat mendengar suara kita. Ketika jazz berkembang menjadi bahasa musik global, pemusik di seluruh dunia ikut memanfaatkan. Para pemusik yang bukan berkulit hitam memang tidak dapat mengklaim jazz sebagai ekspresi politik identitas mereka, karena tidak hidup dalam konteks sejarah dan sosial yang sama. Akan tetapi, ini tidak berarti pemusik jazz yang bukan berkulit hitam tidak boleh menggunakan jazz sebagai bahasa ekspresi pribadinya.

Inilah yang saya lihat disadari dan dilakukan oleh dua pemain kulit putih Royce Campbell dan Tony Monaco di atas panggung pada malam tersebut. Sebagai bagian dari masyarakat Amerika, mereka memang terbiasa untuk menyuarakan pendapatnya secara lantang, tidak peduli apa pun warna kulit mereka. Karena itu, jazz dapat menjadi bagian dari kehidupan emosional mereka. Budaya ini yang saya lihat belum diselami oleh pemusik jazz Indonesia umumnya. Maka, ketika muncul di panggung bersama dua orang pemusik Amerika ini, kedua orang pemusik Indonesia tadi tidak mampu mengimbangi kelantangan ekspresi rekan mainnya. Thus, apa yang dihadapi oleh Cendy Luntungan dan Oele Pattiselano saya lihat bukanlah masalah teknis bermain atau kepiawaian dalam bermusik jazz. Kedua orang pemusik senior Indonesia ini adalah orang yang sangat berpengalaman dalam bermusik jazz. Namun, tanpa dibekali oleh konsep yang jitu dan pemahaman akan fungsi musik jazz yang paling mendasar dalam konteks budaya Amerika, mereka sulit untuk bisa bermain setara dengan pemusik yang datang dari sana.

Dengan kata lain, jazz bukanlah sekadar musik. Ia adalah wadah kebudayaan yang sangat powerful. Setiap pemain jazz dari latar belakang budaya mana pun harus mampu mengeluarkan emosi mereka pada saat bermain, dan dalam berekspresi ini mereka juga harus mampu berkomunikasi. Bahasa musik jazz terbentuk khusus untuk kepentingan itu. Dengan begitu baru akan tercipta sebuah pertunjukan musik jazz yang prima. Kelebihan musik jazz ini tidak di miliki oleh jenis musik lain mana pun di dunia. Musik jazz adalah sebuah genre musik yang lahir dalam konteks budaya yang spesifik, namun dapat berkembang secara efektif menjadi bahasa ekspresi internasional. Di samping itu, pada saat bahasa verbal sering kali terkooptasi oleh kelompok masyarakat yang dominan, bahasa musik jazz mampu memberi kita peluang untuk tetap dapat berkomunikasi secara manusiawi antarsesama tanpa terjebak dalam sebuah konstruksi sosial yang bersifat ideologis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum