Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indië, dan Nasionalisme
Penulis: Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham
Penerbit: Komunitas Bambu, 2009 Tebal: xl + 200 halaman
RADEN Saleh Syarif Bustaman tertunduk takzim di depan Pangeran Diponegoro yang mendongak dengan muka mengeras. Pemimpin Jawa itu seolah menolak perintah Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berdiri di sebelahnya sambil menunjuk kereta yang siap membawa sang Pangeran ke pembuangan. Adegan dalam lukisan Penangkapan Diponegoro itu terkenal sebagai masterpiece Raden Saleh.
Sejarawan Inggris, Peter B.R. Carey, menelisik benarkah adegan dan suasana penangkapan di rumah Keresidenan Magelang, Jawa Tengah, pada 30 Maret 1830 itu. Ia membongkar catatan harian Jenderal De Kock dan Ali Basah Gandakusuma—panglima perang kepercayaan Diponegoro—serta Babad Dipanegara, otobiografi anak Sultan Hamengku Buwono III itu. Carey menyimpulkan lukisan itu imajinasi Raden Saleh belaka.
Tak ada satu pun catatan, misalnya, soal kehadiran Raden Ayu Ratnaningsih, istri Diponegoro, di teras itu, yang digambar Saleh bersimpuh di kaki suaminya. Raden Saleh, saat penangkapan Diponegoro di hari Lebaran kedua itu, juga tak sedang di Indonesia. Ia masih tinggal di Belanda.
Saleh melukis adegan itu karena kagum kepada sosok Diponegoro. Ia melukisnya pada 1857, dua tahun setelah Diponegoro meninggal di pengasingannya, Benteng Rotterdam, Sulawesi Selatan.
Diponegoro tak menolak diasingkan. Dalam Babad, ia mengakui kekalahannya di Solo pada 1826 memupus harapannya menegakkan kesultanan baru di Jawa, selain Surakarta dan Yogya. Kepada Ali Basah, Diponegoro mengatakan lambat atau cepat Belanda pasti menangkapnya.
Perang Jawa pada 1825-1830 telah menyedot kas pemerintah Hindia Belanda hingga 25 juta gulden. Ribuan prajurit tewas. Belanda sudah patah arang menghadapi Diponegoro. Telegram Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memerintahkan anak keraton Yogya yang memilih nyantri itu dibunuh saja. De Kock lalu merekayasa pertemuan dengan kedok perundingan di hari Lebaran, sehingga Diponegoro tak mungkin menolak karena itu hari silaturahmi setelah puasa.
Buku ini menarik, meski hanya kumpulan tiga tulisan lama yang pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris. Harsja W. Bachtiar menulis sisi lain Raden Saleh sebagai seorang arkeolog dan filolog yang tekun. Ekskavasinya menemukan rahang hiu purba di Sentolo, Jawa Tengah. Manuskrip-manuskrip yang ia temukan di Cianjur, ibu kota Priangan lama, adalah catatan penting kehidupan sosial dan agama Sunda pada abad ke-8.
Harsja menolak tafsir nasionalisme Raden Saleh lewat lukisan Penangkapan Diponegoro. Menurut Harsja, Saleh hanya seorang tradisional yang menerima begitu saja struktur masyarakat koloni. Saleh menikmati 23 tahun hidup di Belanda dari beasiswa raja dan pengusaha. Ia keluar-masuk istana Belgia dan Prancis dengan jas hangat Rusia dan kemeja Inggris yang necis.
Harsja membuktikan tak ada andil Raden Saleh dalam ”pemberontakan Bekasi” April 1869. Seorang lurah yang memimpin perlawanan menyamar dalam kerumunan dengan pakaian yang biasa dikenakan Saleh. Lelah diinterogasi dan dimata-matai Belanda, Saleh menulis di jurnal Tijdschrift voor Nederlandsch Indie bahwa hidup-matinya hanya ”dipersembahkan untuk rajaku, pemerintah, dan bangsa Belanda”.
Praktis 66 tahun hidup Saleh (ia lahir pada 1814) hanya dihabiskan untuk seni, ilmu, dan pergaulan borjuis. Tempat tinggalnya di Cikini, Bogor, atau Eropa bak istana. Di Bogor, ia berjalan bersama istrinya diiringi cantrik yang memegang payung kebesaran raja.
J.J. Rizal, yang meracik pengantar untuk buku ini, menduga upaya Saleh menggambar suasana dramatis penangkapan Diponegoro itu karena ketidakberdayaannya sebagai pribumi. Ia tak sanggup menentang Belanda secara terbuka karena berutang budi. Cara melawan pemerintah kolonial adalah dengan mengagumi Diponegoro dan melukiskan sosoknya yang melecehkan penangkapnya.
Dalam bahasa sosiolog James C. Scott, ini cara melawan yang khas dari orang yang kalah. Para petani desa menunduk di hadapan majikan seolah-olah takzim padahal kentut diam-diam. Sebuah perlawanan ala punakawan dalam wayang. Saleh barangkali tak seekstrem itu, meski kemudian ia menghadiahkan lukisan Diponegoro itu untuk Raja Willem III, induk semangnya di Belanda.
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo