Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayang-bayang indah tentang sebuah negeri dalam dongeng itu buyar seketika. Di Lhasa, Tibet, semua tampak begitu ”kontemporer”. Taman-taman dengan bunga plastik dan toko-toko suvenir. Kemudian, sebuah bulevar lurus dan besar, seolah-olah ingin mengakomodasi parade militer. Pada pucuknya berdiri sebuah istana warisan dunia dari abad ketujuh: Potala.
Fotografer Enrico Soekarno merasa jeri melihat istana itu. Di matanya, Potala telah menjadi tawanan. Dalam salah satu gambar hitam-putihnya, tampak Potala diabadikan dari balik tembok batu tebal yang menghadang. Lambang bintang komunis bertakhta di atasnya. Kurator Oscar Motuloh memberinya judul seram: Korporasi Mesiu Atap Dunia.
Gambar ini adalah salah satu yang dipajang dalam pameran foto di galeri foto Antara, Jakarta, Heaven in Exile. Puluhan foto yang dipamerkan hingga 21 Maret nanti adalah hasil dua perjalanan fotografer Enrico dan tiga rekannya: Jay Subyakto, Khris Suharnoko, dan Yori Antar. Pada 2003 mereka berkunjung ke Tibet, Nepal, dan India, kaki Pegunungan Himalaya, tempat para pemimpin Tibet diasingkan. Dibuka sejak awal Maret lalu, pameran ini memperingati separuh abad penyerbuan Cina ke Tibet pada 17 Maret 1959.
Keempatnya masuk Tibet melalui Kathmandu, Nepal. Jay Subyakto, fotografer sekaligus seniman video dan pertunjukan, melihat Potala tak kalah muram. Ia menyamakan Potala dengan seorang serdadu berseragam Cina, dengan raut wajah dan pandangan yang beku. Sedangkan Khris Suharnoko, yang seorang arsitek, mengambil Potala sebagai latar belakang sebuah pesawat penyerbu yang dipajang di halaman depan istana. Pesawat itu dijaga 24 jam oleh dua serdadu. Sayang, tak ada keterangan di pesawat itu, meski dari monumen yang berdiri di depannya Enrico menduga itulah pesawat yang digunakan untuk menyerang Tibet pada 1959. ”Jadi tempat berfoto bagi serdadu yang ke sana,” kata Khris.
Yori Antar, pendiri Arsitek Muda Indonesia yang juga freelancer untuk Aga Khan Award for Architecture, gatal ingin mengungkap kecantikan Potala. Pagi-pagi, ia jalan-jalan berkeliling dan bertanya, dari mana bisa mengambil gambar Potala dengan lanskap utuh. Pada pukul 07.30, Yori menaiki pojok berundak dan berhasil memaksimalkan mata arsiteknya untuk mengabadikan Potala dengan kamera Hasselblad Xpan. Hasilnya sempurna, gambaran lengkap tentang sebuah negeri modern di bawah awan seindah gambar-gambar kartu pos. Modern karena Potala tak ubahnya seperti monumen Arc de Triomphe di Paris, lengkap dengan marka jalan, mobil patroli, tiang antena, sebuah gedung apartemen, dan tiang lampu cantik ala pinggir bulevar Champ Elysees. ”Ini Potala dari kacamata orang romantis,” Yori tertawa. Tapi kurator Oscar meledeknya dengan judul Avenue of a Broken Paradise.
Lalu mereka berempat bergerak ke maha-kuil Jokhang, yang disebut juga sebagai Rumah sang Buddha. Inilah pusat universal umat Buddha Tibet laiknya Ka’bah bagi umat muslim. Para biksu menjalani prosesi ibadah yang rumit di situ, meliputi jalan berkeliling berkali-kali, bersembahyang hingga berjalan separuh badan—laiknya laku dodok bagi orang Jawa—di hadapan wilayah yang suci.
Sayang, yang terlihat kemudian seperti taman bermain dan atraksi wisata, lengkap dengan turis bercelana pendek yang mondar-mandir di antara biksu dan biksuni yang sedang berdoa. Jay menyamakannya dengan Taman Mini Indonesia Indah yang artifisal. Dari sebelah atas gedung, ia mengabadikan gambar lapangan Barkhor di depan Jokhang yang ramai bak pasar, menistakan kesucian sebuah rumah ibadat. Ia sengaja memasang foto itu terbalik. ”Betapa terbalik moralitas dan etika orang di sana,” kata Jay.
”Ada jiwa yang hilang di situ,” begitu kurator menyimpulkan. Negeri tanpa tuan rumah. Tiga tahun dari kunjungan ke Tibet, mereka berangkat lagi menemui pemiliknya di pengasingan, Kota Dharamsala di India Utara: Dalai Lama. Itulah kota kecil di kaki Pegunungan Himalaya yang sering disebut Little Lhasa, pemberian mendiang Perdana Menteri Jawaharlal Nehru kepada Dalai Lama ke-14. Di sanalah Tenzin Gyatso dan para pemimpin Tibet yang melarikan diri dari Cina.
Di Dharamsala ribuan orang Tibet bermukim, lengkap dengan asrama, biara biksu, dan kuil-kuil. Separuh abad terakhir, mereka berupaya sekuat-kuatnya menghidupkan jiwa Tibet. Sebuah perpustakaan besar yang berisi lebih dari 80 ribu koleksi dikembangkan, termasuk kehadiran Norbulingka Institute, tempat tarian, makanan, obat-obatan, gaya hidup, dan segala identitas Tibet dipelihara dan dirayakan.
Dan empat peziarah ini, begitu Yori menyebut mereka berempat, seolah menemukan yang hilang itu. Ia mengabadikan masa depan Tibet dari sosok anak-anak dalam asrama, dengan pipi mereka yang gembil kemerahan, tempat tidur biru, dan biksu muda bermain bola. Ia rayakan pula spirit negeri itu dengan bendera Surga yang bebas berkibar di sana dan penari-penari berjubah tradisional yang ternyata diambil dari diorama.
Demikian pula Enrico. Foto Yori itu ia hidupkan lebih lanjut dengan foto Tarian Gunung sungguhan yang dibawakan di Biara Shanti, di dataran tinggi Leh, India. Kemilau jubah kemerahan dengan topeng kerbau bertanduk tampak berputar-putar menodongkan pedang kayu. Warna yang menyala, apalagi dengan hamparan pegunungan tertinggi dunia dan mahligai biru seluas-luasnya sebagai latar. ”Memang ada touch-nya dalam baju yang merah, soalnya saya membela langit birunya,” Rico mengakui.
Perjalanan ke kedua tempat itu, Tibet (2003) serta India dan Nepal di kaki Himalaya (2006), luar biasa menantang karena selain jauh, cuacanya pun dingin. Di India mereka tak hanya pergi ke Dharamsala, tapi juga ke biara-biara di ketinggian 5.000-an meter dari permukaan laut. Oksigen yang menipis membuat kepala mereka pusing. Beberapa kali mereka menginap di tenda. Medan jalan terjal, tanpa aspal. Perjalanan dengan mobil pun tak menyenangkan. Tak ada yang bisa tidur di mobil. ”Kita loncat-loncat terus terantuk atap,” kata Khris Suharnoko.
Yori pun mengalami kesulitan bernapas. Siapa sangka, dia muntah-muntah seminggu pertama. Perutnya hanya bisa diisi pisang. Baru setelah bertemu dokter pribadi Dalai Lama, mereka dibekali pil sekeras batu yang terbuat dari rempah-rempah tradisional. Gunanya untuk mengatasi high altitude sickness. Alhasil, setelah minum pil itu dia segar bukan kepalang. Gantian Enrico, yang paling bersemangat dalam perjalanan, yang muntah-muntah. Bagusnya, menurut Jay, mereka bergantian sakit sehingga perjalanan tak lantas macet.
Menurut Khris, dari perjalanan itu ia jadi belajar menggunakan kameranya, Leica MP, semaksimal mungkin. Tripod yang ia bawa cuma jadi bahan tertawaan yang lain. Tak bisa pula buang waktu lama mengambil gambar karena harus pindah-pindah. Tapi kondisi alam di sana benar-benar sempurna, sehingga memungkinkan mata manusia memindai belahan batu dan celah-celah tanah dengan saksama. ”Gambar menjadi demikian crispy,” kata dia. Walau, menurut Yori, ketinggian dataran juga sering menipu cahaya karena matahari jadi terasa sangat dekat. Akibatnya, setiap gambar mesti diambil beberapa kali.
Pertemuan dengan Dalai Lama sendiri sungguh layak dikenang. Dengan rendah hati, sang pemimpin umat membukakan pintunya lebar-lebar. ”Orang Indonesia mungkin tak mengenal kami, tapi leluhur kami pernah berguru pada pendeta besar dari Nusantara,” kata dia, merujuk pada Kerajaan Sriwijaya pada abad kesembilan. Dan merunduklah keempatnya ketika dikalungi kain leher. ”Saya beruntung bisa membawa kamera serius, dan agak mengambil jarak sehingga saya bisa merekam setiap gestur kepala, tangan, dan laku Dalai Lama,” kata Jay, yang berbekal kamera Mamia dengan twin lens reflex dan Nikon FM2.
Lebih dari 50 rol film habis di tangan masing-masing. Kamera digital mereka pun merekam ribuan gambar. Tapi tak ada yang mengungguli kepuasan mereka yang datang dan melihat sendiri sebuah negeri yang seolah-olah ada di awan. Seperti diungkapkan Khris, pameran ini adalah bagian dari kewajiban mereka sebagai manusia untuk berbagi cerita akan penderitaan yang sesungguhnya dari balik negeri dongeng itu. Apa boleh buat mereka membela.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo