Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Untung Tidak Jadi Presiden

Anak-anak muda dari dua dunia yang berbeda mengenang Harry Roesli. Kebersamaan yang hangat bisa dilakukan di mana saja.

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keluarga dan para sahabatnya masih ingat kata-katanya terakhir: ”Jangan matikan lampu di meja kerja saya.”

Sebuah pergelaran kolosal mengenang pemilik kata-kata itu, Harry Roesli, berlangsung pada 4 Maret lalu di Teater Salihara, Jakarta Selatan, tempat baru yang nyaman dan erudite bagi siapa saja yang merasakan kepengapan iklim di negeri kita sekarang ini.

Anak-anak muda jalanan dan anak-anak gedongan yang baunya wangi bersama-sama menggelar Titik Api—nama yang diambil dari judul salah satu karya musik Harry Roesli. Ada biolin warna buto ijo, gitar akustik dan listrik, sejumlah keyboard, berbagai perkusi, juga seperangkat gamelan, tidak ketinggalan para selebritas dan paduan suara. Kuping dan jantung pun harus remaja menghadapi desibel yang tidak tanggung-tanggung.

Ingar-bingar itu berlangsung dalam silaturahmi keluarga besar yang sangat menyentuh. Rasa kebersamaan yang hangat, ternyata, masih ada. Dan ini terjadi di kalangan yang lebih muda dan lebih sehat daripada yang terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat!

Sulit dibayangkan bahwa mereka itu mulanya bertebaran sendiri-sendiri, tidak ada yang peduli. Keadaan membuat mereka tidak tahu arah, baik yang betul-betul papa maupun yang lebih baik nasibnya.

Juga tidak mudah mendekati anak-anak muda yang suka tawuran, meng­a­jaknya bersatu hati. Di luar dugaan, yang terjadi bukan sekadar perdamaian. Mereka malah berpacaran antarsekolah!

Harry Roesli tetap menjadi kenangan indah bagi mereka. Perhatiannya besar, tulus, dan ikhlas kepada orang-orang malang, buruh yang dizalimi, guru yang dianiaya.

Di tengah acara yang demikian padat, ada dua yang tersembul lain sendiri: suguhan kelompok bersama Ary Juliant, yang kebanyakan berasal dari pengamen. Kesan itu bukan karena pikiran romantis tentang pengamen, melain­kan karena kedalaman yang lugu yang tidak tergantikan oleh teknik yang diajarkan di sekolah-sekolah musik ataupun kemasan yang genit dan seragam gaya John Robert Powers.

Dan satu lagi yang menghadirkan delapan pemain perkusi yang cerdas dan jenaka mengingatkan kita pada kekompakan tari seudati. Kecerdasan yang dilakukan bersama dengan jenaka, banyak akal, dan tahan bantingan seperti itu yang kita inginkan dalam kebinekaan kita yang manunggal.

Permainan perkusi tersebut mengimbangi ”kebersamaan” yang ”lebih me­rakyat” dalam paduan suara yang bergoyang-goyang dan kadang mengenakan topeng terbuat dari kantongan untuk belanja di mal, kehadiran para selebritas cantik tanpa sepatu, atau jagoan rocker penuh gaya.

Kebersamaan yang merakyat, yang asalnya memang dari budaya rakyat jelata, sering dijadikan alasan untuk tidak mengakui ketidakmampuan kreatif dalam mengolah suatu karya. Akibatnya dangkal dan tentu saja tidak meyakinkan. Contohnya sudah banyak pada berbagai tayangan televisi kita, sampai-sampai pelawak terpaksa ketawa sendiri karena menyadari tidak lucu.

Paduan suara yang memakai topeng, mungkin dimaksudkan sebagai kritik kepada kebodohan massal, sebaiknya digarap lebih matang.

Demikian juga kejenakaan permainan delapan perkusionis masih bisa menghindari lebih jauh lagi jebakan ”atas nama rakyat” gaya para calon le­gislator, yaitu dengan cara menyembunyikan sebisa mungkin niatnya melucu (sementara para calon legislator sendiri menjadi lelucon karena mereka tidak punya humor).

Pergelaran Titik Api itu berhasil­ se­bagai pertunjukan raksasa yang men­cerminkan kelapangan dada menyikapi berbagai masalah sosial. Harry Roe­sli, yang semasa hidupnya terkenal binal dan sarkastis, memiliki kelembut­an dan keindonesiaan seperti Ayu Utami yang mempersembahkan bukunya, Bilangan Fu, untuk negeriku yang dengan sedih aku cinta.

Sepak terjang yang bermanfaat untuk kepentingan hidup bersama bisa dilakukan di mana saja.

Tidak harus menjadi presiden.

Slamet Abdul Sjukur, komponis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus