Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM gagasan dasar demokrasi yang berevolusi hingga pertengahan abad lalu, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat dipahami para ahli demokrasi sebagai institusi politik yang meningkatkan kualitas demokrasi yang bersandar pada dua pilar: parlemen dan civil liberties.
Pilar pertama, yakni parlemen, pada dasarnya adalah sebuah institusi yang memberi ruang bagi rakyat untuk memilih wakil mereka melalui partai politik yang dikerjakan dalam sebuah pemilihan umum. Kesertaan rakyat dalam proses pengambilan keputusan politik, dalam pilar yang pertama ini, dilembagakan dalam sebuah lembaga perwakilan rakyat yang namanya parlemen.
Dalam pilar kedua, yakni civil liberties, rakyat mengambil posisi aktif dari waktu ke waktu dalam berbagai proses politik. Sementara dalam pilar pertama mekanisme utamanya adalah partai politik, dalam pilar kedua ini, rakyat, baik secara sendiri maupun bersama-sama, memiliki ruang untuk memperjuangkan aspirasi secara langsung melalui berbagai bentuk partisipasi politik: mulai dari sekadar menulis surat pembaca hingga menyatakan pendapat bersama dalam sebuah demonstrasi.
Pilar kedua ini, karena itu, menghimpun semua bentuk kelembagaan politik non-partai: dari perorangan hingga organisasi massa yang berbasis afiliasi etnis-kultural, profesi, dan kepentingan. Pilar kedua menggenapkan ajaran demokrasi yang sejati, yakni kedaulatan memang sungguh berada di tangan rakyat dan tidak berkurang sedikit pun hanya karena sistem demokrasi ini memiliki parlemen. Pilar civil liberties adalah sebuah institusi yang amat pokok untuk memastikan bahwa rakyat memiliki kesempatan ikut mengawasi dua kekuasaan sekaligus: kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Mematok angka 20 atau 35 persen sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai atau gabungan partai sesungguhnya memiliki masalah yang serius dalam ajaran demokrasi yang bertumpu pada dua pilar itu. Angka itu tidak saja superfisial tetapi juga mengandung pikiran anarkis karena mengingkari prinsip pilar kedua itu. Pencalonan presiden dan wakil presiden semestinya bukan melulu monopoli parlemen. Melalui mekanisme tertentu, rakyat, melalui pilar civil liberties, juga memiliki hak mencalonkan pasangan nama itu.
Kalau konstitusi kita telah mengamanahkan monopoli parlemen dalam pencalonan presiden dan wakil presiden, tak selayaknya parlemen menghasilkan mekanisme pencalonan yang kian menjauhkan spirit pluralitas dalam demokrasi. Karena itu, dalam pemahaman saya, angka tiga persen yang dipatok sebagai electoral threshold itu adalah angka yang paling kurang bermasalah dibandingkan dengan 20 persen, apalagi 35 persen.
Dengan angka tiga persen ini, kita mungkin akan mendapatkan 10 hingga 15 nama pasangan calon presiden dan wakil presiden. Terlalu banyakkah itu? Dengan logika demokrasi yang bertumpu pada dua pilar itu dan dengan prinsip pluralitas, jumlah pasangan itu sebenarnya tak mengandung masalah sedikit pun. Apalagi rasionalitas lainnya akan mendorong terjadinya penggabungan pencalonan oleh partai-partai politik dengan perolehan suara kecil sehingga bukan tidak mungkin jumlah itu akan menyusut hingga enam pasangan nama presiden dan wakil presiden.
Tidakkah ada putaran kedua, yang akan menyusutkan jumlah itu menjadi dua pasangan?
Saya amat risau kalau pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang hanya akan memberi dasar tambahan bagi rakyat untuk kian percaya bahwa demokrasi yang sedang kita kembangkan ini tidak lain hanyalah sebuah permainan kekuasaan belaka. Citra semacam ini sangat mudah dibangkitkan, apabila sejak awal rakyat melihat parlemen, lebih khusus lagi partai-partai besar dalam parlemen, sedang mengembangkan oligarki politik yang bertumpu pada semangat "kekuasaan untuk kekuasaan".
Dalam persepsi umum semacam ini, sangat mungkin sistem demokrasi yang kita bangun dengan biaya amat mahal ini akan mengalami proses delegitimasi yang secara inheren justru sedang difasilitasi oleh sistem politik yang mengatasnamakan demokrasi. Demokrasi semacam itu pantas disebut sebagai demokrasi chi-hua-hua, yakni sebuah demokrasi yang ditandai oleh argumentasi formalisme yang disuarakan dengan melengking tapi dengan makna yang kosong. Ada bentuk, tetapi tak ada isi. Ada teks, tetapi kehilangan konteks. Dengan kata lain, ada gonggongan tetapi tak ada aksi. Proses ini mungkin sedang terjadi di negeri ini.
Kecenderungannya akan kian diperjelas apabila rakyat melihat tanda bahwa pemilihan presiden mendatang ini hanyalah sebuah permainan lain dari demokrasi yang hampa akan makna demokrasi yang sejati. Kita mungkin masih punya kesempatan untuk memperbaiki persepsi umum semacam itu. Bahkan, menurut keyakinan saya, pemilu mendatang dilihat oleh rakyat sebagai sebuah kesempatan terakhir untuk menggadaikan harapan akan janji bagi kehidupan yang lebih baik. Harapan ini telah pernah digadaikan rakyat dengan kepercayaan penuh pada Pemilu 1999.
Kali ini rakyat mencoba sebisa mungkin membiarkan diri mereka menaruh sedikit kepercayaan yang diperbarui guna sebuah pembaharuan di tengah-tengah rasa tidak percaya diri akan manfaat sebuah demokrasi bagi kemakmuran dan keadilan. Peluang untuk memperbarui harapan itu sedikit terbuka ketika tersedia mekanisme untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Jadi, mengapa tak memberi kesempatan yang lebih luas untuk memilih 10 hingga 15 pasangan calon presiden dan wakil presiden?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo