UNTUNG Republik yang nusantara ini negara kesatuan. Kalau tidak,
entah bagaimana asyiknya negara-negara bagian menginventarisasi
kekayaan alam di wilayah masing-masing, termasuk yang ada di
laut.
Coba lintaskan paras Indonesia kini: belasan ribu pulau +
perairan nusantara + laut teritorial 12 mil mengelilingi paduan
tanah dan air itu. Di luar dan melingkari wilayah tempat
Indonesia berdaulat itu masih ada plus yang lain: zone ekonomi
eksklusif (ZEE) 200 mil untuk pengambilan sumber daya alam (SDA)
di kolom air, dasar dan tanah di bawah laut. Masih ada 1 plus
lagi: lanjutan landas kontinen (continental shelf), dalam hal
tepian kontinen (continental margin) melebihi ukuran 200 mil
tersebut. Di AS saja, yang negara benua itu, pengadilan terpaksa
turun tangan untuk menetapkan berapa mil negara-negara bagian
seperti Louisiana, California, Florida dan Texas menguasai SDA
di landas kontinen yang berbatasan dengan pantai mereka.
Dalam wilayah Indonesia yang duapertiga lautan serta plus-plus
itu, SDA bisa diperkirakan tak terperi banyaknya. Minyak sudah
muncrat dari kapling-kapling bawah laut, dan potensi ikan
menurut Dirjen Perikanan baru-baru ini sampai 4,7 juta ton per
tahun. Belum lagi kemungkinan-kemungkinan lain di laut seperti
panas laut yang dapat diolah menjadi energi, dan lain-lain.
Harta ini, seperti kata GBHN, adalah salah satu modal dasar
pembangunan nasional. Ini pun, tiada lain, adalah penjabaran UUD
1945 yang kerap dikumandangkan bahwa "bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara . . . "
Bagaimana pelaksanaan penguasaan itu? Sebagai negara kesatuan,
Pemerintah adalah satu. Namun hukum tertinggi UUD 1945
menitahkan: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang. Seperti termuat dalam UU Pemerintahan Daerah
1974, dipakailah asas dekonsentrasi dan desentralisasi. Maka ada
wilayah administratif, dan ada pula daerah otonom.
Karena sifatnya yang mandiri, pembentukan daerah otonom tentu
tidak main gampangan. Menurut UU tersebut, banyak faktor yang
kudu dikaji: jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan ekonomi dan
macam-macam lagi, pokoknya yang bisa kasih jaminan agar daerah
tersebut tetap langgeng melaksanakan pembangunan setempat.
Wajah tiap wilayah/daerah berdasarkan tingkatannya dapat
ditatap secara umum melalui peta yang diterbitkan oleh
Departemen Dalam Negeri, Februari 1981. Batas tiap
wilayah/daerah di darat jelas. Tapi tak kelihatan sampai titik
mana di pinggir pulau, pemerintah daerah (Pemda) masih dapat
menerapkan kekuasaan yang didelegasikan kepadanya. Apakah hanya
sampai batas garis pantai (coast-lute), dan pada saat air pasang
naik atau surut -- ataukah kira-kira bisa melompat sampai
beberapa mil ke tengah laut?
Bagi provinsi/dati I yang dikawal pulau pada peta tampak ada
batas di laut. Misalnya antara Kepulauan Batu yang masuk
Sumatera Utara dan P. Siberut dari rumpun Mentawai di Sumatera
Barat. Demikian juga kelihatan ada pagar antara Kepulauan Banyak
di Aceh dan P. Nias di Sumatera Utara. Tapi P. Enggano di
Bengkulu dibiarkan tak dibatasi oleh garis provinsi/dati I. Ia
cuma dikitari sedikit oleh batas kabupaten/ dati II, dari
daratan Bengkulu arah utara ke barat daya terus ke selatan. Yang
menarik, batas dati II ini pada bagian yang paralel dengan laut
teritorial pada titik-titik terluar 154 dan 155 tidak bertumpang
tindih, tapi meninggalkan sedikit rongga.
Coba kita longok pula DKI Jakarta yang bertengger pada secuil
tanah di P. Jawa Sebagaimana terbaca dalam pelbagai ketentuan
hukum setempat, DKI juga memiliki Kepulauan Seribu, termasuk
perairan. Dalam satu ketentuan tentang larangan pembuangan
minyak di Teluk Jakarta, disebutkan batas perairan lengkap
dengan ukuran kordinatnya. Peta di atas, sayangnya, tak
menunjukkan batas terluar gugusan pulau yang tak sampai
berjumlah seribu itu. Pertanyaan awam yang tadi kembali
mengusik: sampai mana di arah luar gugusan, Gubernur/KDKI masih
menjalankan urusan pemerintahannya. Dan kapan pula
Gubernur/Kepala Daerah Jawa Barat masuk?
Bagaimana pula dengan Riau, yang punya rumpunan pulau terpencar
dari Bengkalis sampai ke Natuna di titik terutama negeri ini?
Kalau kutipan pers belakangan ini akurat menarik keterangan
Gubernur yang bersangkutan tentang luas perairan yang masuk
provinsi itu, yakni lebih 240 ribu km2, dibanding daratan yang
cuma lebih kurang 8 ribu km2. Namun kembali peta kita di atas
tak menunjukkan batas daerah tersebut di bagian perairan.
Ilustrasi semacam ini dapat diteruskan dengan menyimak
bagian-bagian lain dari peta tersebut.
Tapi ini bukan salahnya si peta. UU Pemerintahan Daerah 1974
yang menggantikan UU No. 18/1965 sama sekali memang tak menunjuk
sebagai referensi, apalagi menyelipkan aspek nusantara, baik
dalam batang tubuh maupun penjelasannya. Para pakar di bidang
ini tentu tahu kenapa begitu. Sehab UU Pokok Agraria saja, yang
lahir 14 tahun sebelum UU di atas, jelas-jelas merujuk pada
kenyataan bahwa "wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah dan
air".
SEBELUM era Wawasan Nusantara, urusan batas suatu daerah yang
berhadapan dengan laut memang tak penting benar. Toh air asin
yang maksimal dikuasai negara adalah laut teritorial 3 mil dan
yang hanya mengelilingi tiap-tiap pulau. Sekarang Wawasan
Nusantara sudah berbaur dengan rentak pembangunan. Di Jakarta
saja, pasir, yang dibutuhkan untuk pembangunan fisik itu, sudah
tak dapat dikorek dari darat lagi. Teluk Jakarta seantero
pulau-pulau seribu mulai dikeruk. Bagaimana kalau pasir tersebut
di arah luar dari gugusan pulau tersebut? Masih dalam kewenangan
DKI? Sampai berapa jauh? Sekiranya bahan tersebut berada
taruhlah, kira-kira 500 meter di luar pantai pasang surut di
utara Jawa Tengah, masihkah izin pengambilan oleh daerah
setempat? Di luar itu? Atau oleh Pusat secara sektoral? Dan
mengapa seukuran itu.
Ini baru perkara pasir.
Tapi laut bukan melulu sumber rezeki. Ia juga bisa jadi media
ampas dan keonaran, termasuk pencemaran laut yang dapat jadi
serius itu. UU Lingkungan Hidup 1982 menginstruksikan, dalam
rangka program terpadu, pengelolaan lingkungan di daerah
dilaksanakan oleh Pemda. Tetap kembali sama: sampai berapa jauh
Pemda yang bersangkutan melakukan upaya perlindungan lingkungan
daerah pantainya?
Banyak lagi segi-segi kehidupan yang merembes dari darat, ke
pantai dan ke laut sampai jarak tertentu. Masalahnya, tentu
bukan bagaimana mengkapling-kapling laut sehingga habis untuk
kemudian dikuasakan kepada daerah. Prinsip bagi habis semua
wilayah nasional tidak dianut lagi dalam sistem pemerintahan
daerah kini.
Soalnya jadi sederhana: dibutuhkan suatu pengaturan batas
keterlibatan daerah dalam pengelolaan penggalan perairan yang
membasahi pantainya. Di dalamnya termasuk masalah pengembangan
daerah pesisir (coastal zone development). Garis pantai yang
panjang sebagai konsekuensi asas nusantara, menyebabkan program
pengembangan daerah pesisir tak dapat digampangkan. Pada
akhirnya semua akan bermuara pada penciptaan sistem pengelolaan
laut secara terpadu, termasuk urusan ZEE landas kontinen kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini