Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mematut-matut daerah pesisir

Daerah indonesia begitu luas dan terpenggal-penggal dibatasi laut dan selat. sulit untuk menghitung batas wilayah satu dengan lainnya secara tepat. untuk itu diperlukan pengaturan batas yang terpadu.

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUNG Republik yang nusantara ini negara kesatuan. Kalau tidak, entah bagaimana asyiknya negara-negara bagian menginventarisasi kekayaan alam di wilayah masing-masing, termasuk yang ada di laut. Coba lintaskan paras Indonesia kini: belasan ribu pulau + perairan nusantara + laut teritorial 12 mil mengelilingi paduan tanah dan air itu. Di luar dan melingkari wilayah tempat Indonesia berdaulat itu masih ada plus yang lain: zone ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil untuk pengambilan sumber daya alam (SDA) di kolom air, dasar dan tanah di bawah laut. Masih ada 1 plus lagi: lanjutan landas kontinen (continental shelf), dalam hal tepian kontinen (continental margin) melebihi ukuran 200 mil tersebut. Di AS saja, yang negara benua itu, pengadilan terpaksa turun tangan untuk menetapkan berapa mil negara-negara bagian seperti Louisiana, California, Florida dan Texas menguasai SDA di landas kontinen yang berbatasan dengan pantai mereka. Dalam wilayah Indonesia yang duapertiga lautan serta plus-plus itu, SDA bisa diperkirakan tak terperi banyaknya. Minyak sudah muncrat dari kapling-kapling bawah laut, dan potensi ikan menurut Dirjen Perikanan baru-baru ini sampai 4,7 juta ton per tahun. Belum lagi kemungkinan-kemungkinan lain di laut seperti panas laut yang dapat diolah menjadi energi, dan lain-lain. Harta ini, seperti kata GBHN, adalah salah satu modal dasar pembangunan nasional. Ini pun, tiada lain, adalah penjabaran UUD 1945 yang kerap dikumandangkan bahwa "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara . . . " Bagaimana pelaksanaan penguasaan itu? Sebagai negara kesatuan, Pemerintah adalah satu. Namun hukum tertinggi UUD 1945 menitahkan: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Seperti termuat dalam UU Pemerintahan Daerah 1974, dipakailah asas dekonsentrasi dan desentralisasi. Maka ada wilayah administratif, dan ada pula daerah otonom. Karena sifatnya yang mandiri, pembentukan daerah otonom tentu tidak main gampangan. Menurut UU tersebut, banyak faktor yang kudu dikaji: jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan ekonomi dan macam-macam lagi, pokoknya yang bisa kasih jaminan agar daerah tersebut tetap langgeng melaksanakan pembangunan setempat. Wajah tiap wilayah/daerah berdasarkan tingkatannya dapat ditatap secara umum melalui peta yang diterbitkan oleh Departemen Dalam Negeri, Februari 1981. Batas tiap wilayah/daerah di darat jelas. Tapi tak kelihatan sampai titik mana di pinggir pulau, pemerintah daerah (Pemda) masih dapat menerapkan kekuasaan yang didelegasikan kepadanya. Apakah hanya sampai batas garis pantai (coast-lute), dan pada saat air pasang naik atau surut -- ataukah kira-kira bisa melompat sampai beberapa mil ke tengah laut? Bagi provinsi/dati I yang dikawal pulau pada peta tampak ada batas di laut. Misalnya antara Kepulauan Batu yang masuk Sumatera Utara dan P. Siberut dari rumpun Mentawai di Sumatera Barat. Demikian juga kelihatan ada pagar antara Kepulauan Banyak di Aceh dan P. Nias di Sumatera Utara. Tapi P. Enggano di Bengkulu dibiarkan tak dibatasi oleh garis provinsi/dati I. Ia cuma dikitari sedikit oleh batas kabupaten/ dati II, dari daratan Bengkulu arah utara ke barat daya terus ke selatan. Yang menarik, batas dati II ini pada bagian yang paralel dengan laut teritorial pada titik-titik terluar 154 dan 155 tidak bertumpang tindih, tapi meninggalkan sedikit rongga. Coba kita longok pula DKI Jakarta yang bertengger pada secuil tanah di P. Jawa Sebagaimana terbaca dalam pelbagai ketentuan hukum setempat, DKI juga memiliki Kepulauan Seribu, termasuk perairan. Dalam satu ketentuan tentang larangan pembuangan minyak di Teluk Jakarta, disebutkan batas perairan lengkap dengan ukuran kordinatnya. Peta di atas, sayangnya, tak menunjukkan batas terluar gugusan pulau yang tak sampai berjumlah seribu itu. Pertanyaan awam yang tadi kembali mengusik: sampai mana di arah luar gugusan, Gubernur/KDKI masih menjalankan urusan pemerintahannya. Dan kapan pula Gubernur/Kepala Daerah Jawa Barat masuk? Bagaimana pula dengan Riau, yang punya rumpunan pulau terpencar dari Bengkalis sampai ke Natuna di titik terutama negeri ini? Kalau kutipan pers belakangan ini akurat menarik keterangan Gubernur yang bersangkutan tentang luas perairan yang masuk provinsi itu, yakni lebih 240 ribu km2, dibanding daratan yang cuma lebih kurang 8 ribu km2. Namun kembali peta kita di atas tak menunjukkan batas daerah tersebut di bagian perairan. Ilustrasi semacam ini dapat diteruskan dengan menyimak bagian-bagian lain dari peta tersebut. Tapi ini bukan salahnya si peta. UU Pemerintahan Daerah 1974 yang menggantikan UU No. 18/1965 sama sekali memang tak menunjuk sebagai referensi, apalagi menyelipkan aspek nusantara, baik dalam batang tubuh maupun penjelasannya. Para pakar di bidang ini tentu tahu kenapa begitu. Sehab UU Pokok Agraria saja, yang lahir 14 tahun sebelum UU di atas, jelas-jelas merujuk pada kenyataan bahwa "wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah dan air". SEBELUM era Wawasan Nusantara, urusan batas suatu daerah yang berhadapan dengan laut memang tak penting benar. Toh air asin yang maksimal dikuasai negara adalah laut teritorial 3 mil dan yang hanya mengelilingi tiap-tiap pulau. Sekarang Wawasan Nusantara sudah berbaur dengan rentak pembangunan. Di Jakarta saja, pasir, yang dibutuhkan untuk pembangunan fisik itu, sudah tak dapat dikorek dari darat lagi. Teluk Jakarta seantero pulau-pulau seribu mulai dikeruk. Bagaimana kalau pasir tersebut di arah luar dari gugusan pulau tersebut? Masih dalam kewenangan DKI? Sampai berapa jauh? Sekiranya bahan tersebut berada taruhlah, kira-kira 500 meter di luar pantai pasang surut di utara Jawa Tengah, masihkah izin pengambilan oleh daerah setempat? Di luar itu? Atau oleh Pusat secara sektoral? Dan mengapa seukuran itu. Ini baru perkara pasir. Tapi laut bukan melulu sumber rezeki. Ia juga bisa jadi media ampas dan keonaran, termasuk pencemaran laut yang dapat jadi serius itu. UU Lingkungan Hidup 1982 menginstruksikan, dalam rangka program terpadu, pengelolaan lingkungan di daerah dilaksanakan oleh Pemda. Tetap kembali sama: sampai berapa jauh Pemda yang bersangkutan melakukan upaya perlindungan lingkungan daerah pantainya? Banyak lagi segi-segi kehidupan yang merembes dari darat, ke pantai dan ke laut sampai jarak tertentu. Masalahnya, tentu bukan bagaimana mengkapling-kapling laut sehingga habis untuk kemudian dikuasakan kepada daerah. Prinsip bagi habis semua wilayah nasional tidak dianut lagi dalam sistem pemerintahan daerah kini. Soalnya jadi sederhana: dibutuhkan suatu pengaturan batas keterlibatan daerah dalam pengelolaan penggalan perairan yang membasahi pantainya. Di dalamnya termasuk masalah pengembangan daerah pesisir (coastal zone development). Garis pantai yang panjang sebagai konsekuensi asas nusantara, menyebabkan program pengembangan daerah pesisir tak dapat digampangkan. Pada akhirnya semua akan bermuara pada penciptaan sistem pengelolaan laut secara terpadu, termasuk urusan ZEE landas kontinen kelak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus