JEPRET! Bunyi itu kini terdengar di mana-mana di Indonesia. Di
tengah hiruk-pikuk keramaian kota, di antara kesunyian rimba, di
pucuk gunung tempat para remaja dan siapa saja berwisata.
Ia juga muncul di tengah kematian kengerian dan rasa haru
mengabadikan saat-saat terakhir kapal Tampomas II dan
mengalihkan wajah kuyu dan lapar bocah-bocah di Flores ke kertas
film. Pendeknya, potret-memotret kini telah menjadi bagian dari
gaya hidup, dan gaya sewot kita.
Sebab kamera kini ternyata bukan milik orang kaya tok. Juga
bukan hanya pegangan orang tua. Dan hei lihat, lebih banyak
remaja kini terlihat menenteng benda hitam itu. Bersama dengan
itu, papan nama keren "Colour Photo Service" bisa dijumpai kini,
nun jauh di udik Republik.
Misalnya: itu kios kecil berukuran 3 x 4 meter, di Desa
Jatiraga, Kecamatan Jatisari, Karawang, Jawa Barat. Sebuah kamar
gelap berukuran 1 x 1 meter menyita salah satu pojok. Di
sampingnya dinding bambu dilapis kain biru. Langganan yang
hendak difoto cukup duduk di kursi di depan kain itu. Dan Ny.
Rohana, 23 tahun, selalu siap dengan kamera Yashica Electro-nya.
Untuk gambar warna ukuran kartupos tarifnya hanya Rp 150.
Selesai 3 sampai 4 hari. Pemrosesannya di Jakarta. Untuk tiap
lembar pasfoto hitam-putih tarifnya Rp 50.
"Belakangan semakin banyak orang desa yang memiliki kamera,"
cerita Rohana. "Makin banyak tetangga saya yang menitipkan film
berwarna mereka kepada saya. Kalau habis panen seperti sekarang,
hampir tiap bulan ada saja yang beli kamera." Wanita itu sumber
yang tahu. Pemilik kamera baru biasanya datang kepadanya minta
diajari cara mempergunakan alat setengah ajaib ini.
Menurut Rohana, munculnya kamera-kamera dengan harga murah
menggerakkan perkembangan ini. Untuk apa mereka beli kamera?
"Yah, untuk iseng saja. Kalau ada pesta sunatan, mereka jepret
sana, jepret sini. Bagi anak muda, kamera bisa dipakai menggaet
awewe. Anak gadis kan senang dipotret," Rohana tertawa.
Alasan membeli kamera tentu saja bukan untuk sekedar memikat
cewek atau cowok. "Saya membeli kamera supaya bisa punya
kenang-kenangan kalau pergi jalanjalan," kata Asih, 17 tahun,
dengan agak malu-malu. Pembantu rumahtangga yang berasal dari
Jawa Tengah ini dijumpai pekan lalu tatkala sedang dijepret
dengan memakai topi di muka kandang gajah di Kebun Binatang
Ragunan, Jakarta. Kamera merk Prima itu dibelinya Rp 17. 500,
sedang lampu kilatnya Rp 5.000.
Apa pun juga alasan membeli kamera, akibatnya jelas: semacam
lonjakan (boom) fotografi kini tengah terjadi di Indonesia.
Dirintis oleh berbagai jenis kamera murah, sekitar 25 merk
kamera kini membanjiri pasaran Indonesia (Lihat: Rimba Kamera
Sampai Si Unyil).
Data Biro Pusat Statistik mencatat jumlah impor kamera dan film
ke Indonesia (sejak 1975). Perlu diingat, jumlah ini tentu saja
tidak termasuk kamera yang ditenteng atau diselundupkan dari
luar negeri.
Angkanya menakjubkan (lihat grafik): Jumlah kamera yang diimpor
selama 1980 lima kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya.
Lebih seperempat juta kamera diimpor Indonesia tiap tahunnya!
Menurunnya jumlah film yang diimpor sejak 1979 mungkin
disebabkan karena adanya perakitan film dan kertas foto Fuji dan
Sakura di Pulogadung, Jakarta.
Yang menarik dari data BPS ini, sejak 1979 Taiwan ternyata
mengeser kedudukan Amerika Serikat sebagai negara pengekspor
kamera ke Indonesia. AS pernah menempati nomor satu pada 1975
dan 1978. Namun sejak 1979 kamera buatan Jepang merajai pasaran.
Tahun, 1980 misalnya menunjukkan bahwa dari 275.642 buah kamera
(di bawah 5 kg) yang diimpor, Jepang menempati tempat teratas
dengan 132.722 buah. Menyusul Taiwan dengan 111.723 dan kemudian
AS dengan 28.718 buah.
Untuk film dalam rol, dari jumlah 5. 740.533 buah yang diimpor
pada 1980, Jepang menduduki tempat pertama dengan 4.853.521,
kemudian AS dengan 401.397 lalu Hongkong dengan 289.000 buah.
Persaingan antara berbagai merk kamera dan film juga semakin
gencar. Bermacam hadiah disediakan buat menggaet pembeli, dari
supermie sampai gelas dan jaket.
Dalam penjualan film dan kertas foto, pasaran dikuasai oleh tiga
besar: Fuji, Kodak dan Sakura. "Kami yang paling besar menguasai
pasaran di Indonesia," kata Robert Kaunang, Manajer Penjualan PT
Modern Photo Film Co. yang mengageni merk Fuji. Menurut dia,
sekitar 65% film dan kertas foto yang terjual adalah merk Fuji.
Diakuinya, perusahaannya yang berdiri sejak 1972 mengalami
perkembangan pesat sejak 1976.
Urutan kedua ditempati Kodak. Menurut Mashud H. Achmad, Manajer
Periklanan PT Inter Delta -- distributor utama Kodak di
Indonesia -- Kodak menguasai sekitar 30% pasaran film. Di
Jakarta, popularitas Kodak cukup tinggi, hingga bagiannya leblh
besar, mencapai sekitar 40%.
Sakura? Menurut Stany N.S., Manajer Promosi PT Nirwana Photo Co.
yang mengageni merk tersebut, film Sakura menguasai sekitar 25%
pasaran. Namun khusus di Jawa Timur, pasaran Sakura mencapai
40%.
Menurut pengecekan TEMPO di beberapa agen yang memiliki beberapa
toko di beberapa kota, Fuji dan Kodak menguasai antara 80%
sampai 90% pasaran film dan kertas foto berwarna di Indonesia.
Sedang film hitam-putih, lebih 90% dikuasai Kodak.
Tidak ada catatan yang pasti tentang jumlah, jenis dan merk
kamera yang terjual di sini. Namun yang jelas paling laris
adalah jenis kamera murah, yang harganya di bawah Rp 30.000.
Kodah, menurut Mashud, per tahun rata-rata menjual sekitar 10()
ribu kamera. Tahun lalu misalnya, perusahaannya memasarkan 85
ribu kamera Ektra 100, sedang kamera seketika Color Burst 250
dan 350, jumlahnya 50 ribu.
Kamera murah, kebanyakan jenis "pasti jadi" tampaknya laris
karena harganya yang terjangkau masyarakat. 'Pembeli kamera di
toko kami kebanyakan anak sekolah yang ingin belajar memotret,"
ujar Moeharjo, kuasa Toko TIFA di Jalan Malioboro, Yogyakarta,
yang mengageni merk Kodak, Fuji dan Sakura.
Tapi dasar Indonesia, naik atau turunnya penjualan sering
dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya panen di suatu daerah.
"Misalnya kalau panen kopi atau karet di Sumatera Selatan kurang
berhasil, perkiraan penjualan akan menurun," kata Robert Kaunang
dari Modern Photo Film.
Seiring dengan lonjakan fotografi ini adalah makin meluasnya
penggunaan foto dan film. Kartu ucapan dengan foto pengirim atau
keluarganya cukup banyak konsumennya. Namun foto di piring yang
beberapa tahun lalu pernah populer kini peminatnya berkurang
karena foto tersebut ternyata hanya tahan beberapa tahun.
Pelayanan yang ditawarkan pada konsumen juga makin cepat. Kini
makin banyak studio yang berlomba menawarkan pencetakan foto
berwarna dalam waktu sekitar 6 jam.
Saat ini menurut suatu sumber di Jakarta Foto, foto hitam putih
hanya memperoleh 20% pasaran. Sisanya dikuasai foto berwarna.
Ini berdasarkan film yang terjual.
"Dulu sebelum ramainya foto berwarna kami banyak menerima
pesanan foto hitam-putih untuk diwarnai dengan cat air," kata
Sun, pemilik foto studio Sunlight di Jalan Jagalan, Surabaya.
Kini ahli khusus mewarnai itu tidak dimilikinya lagi. Studionya
sekarang hidup dari keagenan mencuci dan mencetak film berwarna.
Hanya satu dua orang yang datang dan memerlukan pasfoto. Keadaan
baru mendingan kalau musim pendaftaran sekolah tiba. "Itu pun
sehari paling banyak sepuluh orang saja," ujar Sun.
Studio foto kuno seperti Sunlight, dengan dindingnya yang
merupakan dekor: bergambar pemandangan laut taman, gapura Bali
dengan kursi antik dan perlengkapan pakaian yang disewakan,
tampaknya makin lama hanya akan menjadi kenang-kenangan kejayaan
film hitam-putih.
Mereka kini tinggal menampung sisa-sisa langganan yang
kebanyakan sudah tergiring dan terjala film berwarna. Munculnya
kamera "pasti jadi" juga tambah menjotos mereka. "Orang jadi
gampang memotret, tidak perlu capek-capek datang ke studio foto.
Mau memotret ukuran KTP juga sekarang ada di kelurahan," kata
pemilik studio foto The Sun, di Jalan Senen Raya, Jakarta,
berdiri sejak 1928. Kini diakuinya "sehari malah kadang-kadang
kami tidak memotret sama sekali". Seperti banyak studio foto
lain, The Sun kini hidup dari keagenan cuci-cetak film berwarna
serta menjual berbagai barang kelontong lain, dan fotokopi.
Titik balik buat foto hitam-putih terjadi di sekitar 1975 dan
1976, dan sejak itu dominasi foto berwarna tampaknya tak
terbendung lagi. "Foto hitam-putih kini hanya bertahan pada
pasfoto dan pekerjaan jurnalistik," kata Prof. Soelarko, Ketua
Perhimpunan Amatir Foto (PAF) di Bandung.
Film berwarna kini malah cenderung lebih murah dibanding yang
hitam-putih. Bukan hanya itu, kertas cetak hitam-putih juga
makin sulit diperoleh. "Harganya mahal, barangnya langka," kata
A. Kamarga, Ketua I PAF. Dia membuat perbandingan: harga kertas
cetak warna ukuran 30 X 40 cm Rp 70 per lembar. Sedang kertas
hitam-putih dengan ukuran yang sama lebih dari Rp 1.000. Di
Bandung pun hanya ada dua toko yang menjual kertas jenis itu.
"Ini disebabkan karena minat untuk foto hitam-putih sedikit dan
pabrik tidak mau menjual dalam jumlah sedikit," tutur Kamarga.
Apakah lonjakan yang kini terjadi selalu berarti penggeseran?
Ada dugaan memang, bahwa membanjirnya foto berwama dan kamera
jenis Polaroid misalnya akan menyodok habis para tukang
cuci-cetak foto kelas pinggir jalan. Ternyata sejauh ini tidak.
Wardoyo, tukang afdruk foto kilat di tepi Jalan Kalianyar
Surabaya, malah melihatnya sebagai awal cerah. "Penghasilan saya
kini lebih besar dibanding sebelum foto warna merajalela,"
katanya.
Sebelum 1975, rata-rata Wardoyo menerima pesan cetakan pasfoto
kilat sekitar 50 lembar per hari. Namun setelah itu rata-rata 80
lembar. Begitu juga yang dialami keenam rekannya di pingir
jalan yang sama. Mereka memungut keuntungan Rp 30 per lembar
buat tiap pasfoto seharga Rp 50. Karena itu mereka optimistis.
"Kecuali kalau ada peraturan baru pemerintah yang mengharuskan
pasfoto berwama. Gulung tikarlah kita," kata Wardoyo.
Bertahannya para tukang afdruk kilat itu mungkin lebih
disebabkan oleh makin banyaknya konsumen pasfoto yang memerlukan
pelayanan kilat. "Selama masih ada film hitam-putih dan masih
ada orang yang membutuhkan pasfoto saya yakin kami masih bisa
hidup," tegas Slamet Wahono, tukang afdruk foto kilat yang
mangkal di depan Hotel Dibya Puri, Semarang.
Tapi penyerbuan bermacam kamera murah tampaknya akan mengambil
korban: juru potret keliling yang biasa disebut "Mat Kodak"
umumnya bersenjatakan kamera instant Polaroid, di samping kamera
standar, mereka makin merasakan akibat banjirnya kamera, gampang
dan murah tadi. "Bahkan tukang becak pun kini juga bisa memiliki
kamera." Orang kaya? "Mereka sekarang mengabadikan peristiwa
keluarganya dengan video," keluh D.J. Saragih, tukang foto
keliling yang mangkal di depan Kantor Gubernur Sum-Ut, Medan.
Yang perlu dipersoalkan kini: apakah perkembangan pesat
fotografi di Indonesia ini diiringi dengan peningkatan mutu?
Juga masih perlu dipersoalkan apakah memasyarakatnya fotografi
diiringi dengan meningkatnya kesadaran akan dokumentasi dan
sejarah.
Soelarko melihat, walau kepesatan minat orang membuat foto
bermutu masih kalah dengan pesatnya peredaran kamera, sedikit
demi sedikit orang kini mulai mengarahkan perhatian untuk juga
bisa membuat foto bernilai. Indikatornya: munculnya banyak
klub-klub remaja peminat fotografi di berbagai kota. Federasi
Perhimpunan Seni Foto (FPSI) yang berdiri sejak 1971 di Bandung,
dengan Soelarko sebagai ketuanya, kini menghimpun 17 perkumpulan
dengan anggota sekitar 10 ribu orang.
Meningkatnya perhatian itu juga terlihat dari tercetak ulangnya
bermacam buku penuntun fotografi. Bahkan Majalah Foto Indonesia
yang terbit di Bandung dua bulan sekali dengan oplah 12 ribu
eksemplar, atas permintaan banyak toko buku, kini telah dicetak
ulang dari penerbitan pertama sampai nomor 10. "Ini pertanda
minat pada fotografi meningkat," ujar Leo Nardi, pimpinan umum
majalah tersebut.
Namun lonjakan kamera sekarang ini, seperti kata Leo Nardi, baru
sampai taraf orang mudah memiliki kamera dan segera dapat
menguasainya. "Jadi dalam beberapa hal baru mencakup pada
kepentingan pribadi," katanya pekan lalu.
Meningkatnya minat fotografi telah mendorong tumbuhnya bermacam
kegiatan lain: lomba foto, kursus, diskusi dan ceramah
fotografi. Sayangnya seperti disinyalir Ketua PAF A. Kamarga
"Para pemenang lomba fotografi orangnya ya itu-itu juga. Sedikit
sekali muncul muka muka baru".
KELUHAN terhadap mutu peserta lomba foto di sini memang sudah
lama terdengar. "Banyak peserta yang mencoba-coba menyodorkan
foto asal jadi dalam gelanggang kontes," kata seorang redaktur
foto sebuah majalah berita yang sering menjadi juri berbagai
lomba foto. Kini, menurut dia, banyak foto yang lebih dihasilkan
oleh kebolehan kamera. "Sebuah foto adalah wujud kecerdasan dan
kepekaan sang pemotret. Itu berarti peranan alat nomor dua".
Walau banyak perhimpunan foto baru lahir, tidak berarti
organisasi lama tambah subur. Itu bisa dilihat pada Lembaga
Fotografi Candra Naya (LFCN). Dari seribu orang anggota Candra
Naya, tak lebih dari limabelas persen saja yang aktif," kata
Pitoyo Kadiroen yang sejak 1954 ikut mengasuh LFCN.
Bagaimana dengan kesadaran akan dokumentasi? Munculnya kasus
tuntutan Rp 11 juta oleh konsumen yang kehilangan sebagian
filmnya kepada toko foto yang dituduh menghilangkannya (TEMPO,
17 Juli 1982, Hukum) mungkin bisa saja dianggap pertanda
meningkatnya kesadaran ini. Namun kesadaran itu jelas masih amat
terbatas. "Sekarang orang masih belum memikirkan memotret untuk
kepentingan sepuluh atau duapuluh tahun yang akan datang," kata
Harry Kawilarang, wartawan foto Sinar Harapan.
Kesadaran akan pentingnya dokumentasi ini agaknya baru dimiliki
sejumlah kecil orang, antara lain bekas Menteri Penerangan
Budiardjo. Ia memang sering muncul di banyak tempat, dan acara:
tak segan duduk di lantai di Teater Arena Taman Ismail Marzuki
atau pada acara olahraga di Stadion Senayan dengan kameranya.
Hobinya ini sudah ditekuninya sejak 1940-an. "Saya memotret
ketika Pak Dirman masuk Yogya. Waktu tiga tahun di Kamboja, saya
juga membuat potret di hutan-hutan, bahkan sampai perbatasan
Vietnam," kisahnya. Kumpulan hasil jepretannya kini disimpannya
rapi dengan sistem kartu, diedit, diberi judul dan disimpan
dalam album slide. Ia memiliki seri wayang, keramik, awan,
anggrek, tokoh, keluarga, dan yang paling disenanginya adalah
seri randu alas. "Saya memotretnya di mana saja saya lihat. Yang
paling bagus di tepi sebuah jalan di daerah Indramayu," kata
Budiardjo.
Banyak tokoh lain yang dikenal Sebagai penggemar fotografi:
Misalnya Wapres Adam Malik -- yang pada banyak acara tesmi juga
sering membawa kamera, Rektor IPB Prof. Dr. Ir. Andi Hakim
Nasution yang pernah dipukul orang di Padang selagi memotret,
peragawati Poppy Dharsono yang pernah mengikuti kursus fotografi
di Prancis dengan pengajar antara lain Henry Cartier-Bresson,
dan bintang film Rae Sita Supit yang pernah mendapat penghargaan
dari Hankam atas jasanya membuat dokumentasi di Timor Timur.
Tapi dunia fotografi Indonesia kelihatannya masih dikuasai pria:
Terbukti dari sekitar 200 pengirim foto serius pada rubrik
Fotografi dwimingguan Mutiara hanya ada 3 wanita. Sedang Kompas
Minggu, menurut Kartono Riadi yang mengasuh rubrik "Foto Pekan
Ini" dan "Kritik Foto", hanya sekitar 5% pengirimnya wanita.
Perkembangan fotografi di Indonesia tampaknya memang baru
mencapai taraf hura-hura: semacam gegap gempitanya orang
menikmati barang baru.
"Semuanya rasanya masih bersifat jor-joran," kata Kiki Sukri
dari Jakarta Foto. Banyak acara yang sebetulnya cukup diabadikan
dengan 2 rol film, namun di sini sering ditugaskan tiga atau
empat tukang foto yang bisa menghabiskan sampai masing-masing 10
rol film. "Entah siapa yang sedang salaman pun lantas difoto,"
kata Kiki. Kecenderungan boros film seperti itu juga terjadi
pada banyak fotografer media massa kita. Lebih-lebih kalau
sedang turne ikut pejabat.
Setiap barang baru toh akan menjadi lama. Taraf kenikmatan
nantinya juga akan dilewati, dan dengan itu kesadaran akan arti
penting yang sesungguhnya dari fotografi diharapkan akan
mengendap dan meluas juga. Kesadaran itu sesungguhnya telah lama
ada. Sejarah punya mata berkat adanya foto tenggelamnya kapal
Tampomas II yang dibuat oleh seorang amatir -- yang menolak
dikenal namanya. Bukti lain adanya kesadaran itu dapat disimak
pada foto bersejarah Proklamasi 17 Agustus 1945. Foto itu dibuat
hanya dua jepretan oleh Alex dan Frans Mendur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini