Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jepret, jeprat, jepret

Perkembangan fotografi di indonesia. lebih seperempat juta kamera diimpor indonesia tiap tahun. dan sudah masuk desa, tapi kesadaran pada dokumentasi masih tipis.

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEPRET! Bunyi itu kini terdengar di mana-mana di Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk keramaian kota, di antara kesunyian rimba, di pucuk gunung tempat para remaja dan siapa saja berwisata. Ia juga muncul di tengah kematian kengerian dan rasa haru mengabadikan saat-saat terakhir kapal Tampomas II dan mengalihkan wajah kuyu dan lapar bocah-bocah di Flores ke kertas film. Pendeknya, potret-memotret kini telah menjadi bagian dari gaya hidup, dan gaya sewot kita. Sebab kamera kini ternyata bukan milik orang kaya tok. Juga bukan hanya pegangan orang tua. Dan hei lihat, lebih banyak remaja kini terlihat menenteng benda hitam itu. Bersama dengan itu, papan nama keren "Colour Photo Service" bisa dijumpai kini, nun jauh di udik Republik. Misalnya: itu kios kecil berukuran 3 x 4 meter, di Desa Jatiraga, Kecamatan Jatisari, Karawang, Jawa Barat. Sebuah kamar gelap berukuran 1 x 1 meter menyita salah satu pojok. Di sampingnya dinding bambu dilapis kain biru. Langganan yang hendak difoto cukup duduk di kursi di depan kain itu. Dan Ny. Rohana, 23 tahun, selalu siap dengan kamera Yashica Electro-nya. Untuk gambar warna ukuran kartupos tarifnya hanya Rp 150. Selesai 3 sampai 4 hari. Pemrosesannya di Jakarta. Untuk tiap lembar pasfoto hitam-putih tarifnya Rp 50. "Belakangan semakin banyak orang desa yang memiliki kamera," cerita Rohana. "Makin banyak tetangga saya yang menitipkan film berwarna mereka kepada saya. Kalau habis panen seperti sekarang, hampir tiap bulan ada saja yang beli kamera." Wanita itu sumber yang tahu. Pemilik kamera baru biasanya datang kepadanya minta diajari cara mempergunakan alat setengah ajaib ini. Menurut Rohana, munculnya kamera-kamera dengan harga murah menggerakkan perkembangan ini. Untuk apa mereka beli kamera? "Yah, untuk iseng saja. Kalau ada pesta sunatan, mereka jepret sana, jepret sini. Bagi anak muda, kamera bisa dipakai menggaet awewe. Anak gadis kan senang dipotret," Rohana tertawa. Alasan membeli kamera tentu saja bukan untuk sekedar memikat cewek atau cowok. "Saya membeli kamera supaya bisa punya kenang-kenangan kalau pergi jalanjalan," kata Asih, 17 tahun, dengan agak malu-malu. Pembantu rumahtangga yang berasal dari Jawa Tengah ini dijumpai pekan lalu tatkala sedang dijepret dengan memakai topi di muka kandang gajah di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta. Kamera merk Prima itu dibelinya Rp 17. 500, sedang lampu kilatnya Rp 5.000. Apa pun juga alasan membeli kamera, akibatnya jelas: semacam lonjakan (boom) fotografi kini tengah terjadi di Indonesia. Dirintis oleh berbagai jenis kamera murah, sekitar 25 merk kamera kini membanjiri pasaran Indonesia (Lihat: Rimba Kamera Sampai Si Unyil). Data Biro Pusat Statistik mencatat jumlah impor kamera dan film ke Indonesia (sejak 1975). Perlu diingat, jumlah ini tentu saja tidak termasuk kamera yang ditenteng atau diselundupkan dari luar negeri. Angkanya menakjubkan (lihat grafik): Jumlah kamera yang diimpor selama 1980 lima kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya. Lebih seperempat juta kamera diimpor Indonesia tiap tahunnya! Menurunnya jumlah film yang diimpor sejak 1979 mungkin disebabkan karena adanya perakitan film dan kertas foto Fuji dan Sakura di Pulogadung, Jakarta. Yang menarik dari data BPS ini, sejak 1979 Taiwan ternyata mengeser kedudukan Amerika Serikat sebagai negara pengekspor kamera ke Indonesia. AS pernah menempati nomor satu pada 1975 dan 1978. Namun sejak 1979 kamera buatan Jepang merajai pasaran. Tahun, 1980 misalnya menunjukkan bahwa dari 275.642 buah kamera (di bawah 5 kg) yang diimpor, Jepang menempati tempat teratas dengan 132.722 buah. Menyusul Taiwan dengan 111.723 dan kemudian AS dengan 28.718 buah. Untuk film dalam rol, dari jumlah 5. 740.533 buah yang diimpor pada 1980, Jepang menduduki tempat pertama dengan 4.853.521, kemudian AS dengan 401.397 lalu Hongkong dengan 289.000 buah. Persaingan antara berbagai merk kamera dan film juga semakin gencar. Bermacam hadiah disediakan buat menggaet pembeli, dari supermie sampai gelas dan jaket. Dalam penjualan film dan kertas foto, pasaran dikuasai oleh tiga besar: Fuji, Kodak dan Sakura. "Kami yang paling besar menguasai pasaran di Indonesia," kata Robert Kaunang, Manajer Penjualan PT Modern Photo Film Co. yang mengageni merk Fuji. Menurut dia, sekitar 65% film dan kertas foto yang terjual adalah merk Fuji. Diakuinya, perusahaannya yang berdiri sejak 1972 mengalami perkembangan pesat sejak 1976. Urutan kedua ditempati Kodak. Menurut Mashud H. Achmad, Manajer Periklanan PT Inter Delta -- distributor utama Kodak di Indonesia -- Kodak menguasai sekitar 30% pasaran film. Di Jakarta, popularitas Kodak cukup tinggi, hingga bagiannya leblh besar, mencapai sekitar 40%. Sakura? Menurut Stany N.S., Manajer Promosi PT Nirwana Photo Co. yang mengageni merk tersebut, film Sakura menguasai sekitar 25% pasaran. Namun khusus di Jawa Timur, pasaran Sakura mencapai 40%. Menurut pengecekan TEMPO di beberapa agen yang memiliki beberapa toko di beberapa kota, Fuji dan Kodak menguasai antara 80% sampai 90% pasaran film dan kertas foto berwarna di Indonesia. Sedang film hitam-putih, lebih 90% dikuasai Kodak. Tidak ada catatan yang pasti tentang jumlah, jenis dan merk kamera yang terjual di sini. Namun yang jelas paling laris adalah jenis kamera murah, yang harganya di bawah Rp 30.000. Kodah, menurut Mashud, per tahun rata-rata menjual sekitar 10() ribu kamera. Tahun lalu misalnya, perusahaannya memasarkan 85 ribu kamera Ektra 100, sedang kamera seketika Color Burst 250 dan 350, jumlahnya 50 ribu. Kamera murah, kebanyakan jenis "pasti jadi" tampaknya laris karena harganya yang terjangkau masyarakat. 'Pembeli kamera di toko kami kebanyakan anak sekolah yang ingin belajar memotret," ujar Moeharjo, kuasa Toko TIFA di Jalan Malioboro, Yogyakarta, yang mengageni merk Kodak, Fuji dan Sakura. Tapi dasar Indonesia, naik atau turunnya penjualan sering dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya panen di suatu daerah. "Misalnya kalau panen kopi atau karet di Sumatera Selatan kurang berhasil, perkiraan penjualan akan menurun," kata Robert Kaunang dari Modern Photo Film. Seiring dengan lonjakan fotografi ini adalah makin meluasnya penggunaan foto dan film. Kartu ucapan dengan foto pengirim atau keluarganya cukup banyak konsumennya. Namun foto di piring yang beberapa tahun lalu pernah populer kini peminatnya berkurang karena foto tersebut ternyata hanya tahan beberapa tahun. Pelayanan yang ditawarkan pada konsumen juga makin cepat. Kini makin banyak studio yang berlomba menawarkan pencetakan foto berwarna dalam waktu sekitar 6 jam. Saat ini menurut suatu sumber di Jakarta Foto, foto hitam putih hanya memperoleh 20% pasaran. Sisanya dikuasai foto berwarna. Ini berdasarkan film yang terjual. "Dulu sebelum ramainya foto berwarna kami banyak menerima pesanan foto hitam-putih untuk diwarnai dengan cat air," kata Sun, pemilik foto studio Sunlight di Jalan Jagalan, Surabaya. Kini ahli khusus mewarnai itu tidak dimilikinya lagi. Studionya sekarang hidup dari keagenan mencuci dan mencetak film berwarna. Hanya satu dua orang yang datang dan memerlukan pasfoto. Keadaan baru mendingan kalau musim pendaftaran sekolah tiba. "Itu pun sehari paling banyak sepuluh orang saja," ujar Sun. Studio foto kuno seperti Sunlight, dengan dindingnya yang merupakan dekor: bergambar pemandangan laut taman, gapura Bali dengan kursi antik dan perlengkapan pakaian yang disewakan, tampaknya makin lama hanya akan menjadi kenang-kenangan kejayaan film hitam-putih. Mereka kini tinggal menampung sisa-sisa langganan yang kebanyakan sudah tergiring dan terjala film berwarna. Munculnya kamera "pasti jadi" juga tambah menjotos mereka. "Orang jadi gampang memotret, tidak perlu capek-capek datang ke studio foto. Mau memotret ukuran KTP juga sekarang ada di kelurahan," kata pemilik studio foto The Sun, di Jalan Senen Raya, Jakarta, berdiri sejak 1928. Kini diakuinya "sehari malah kadang-kadang kami tidak memotret sama sekali". Seperti banyak studio foto lain, The Sun kini hidup dari keagenan cuci-cetak film berwarna serta menjual berbagai barang kelontong lain, dan fotokopi. Titik balik buat foto hitam-putih terjadi di sekitar 1975 dan 1976, dan sejak itu dominasi foto berwarna tampaknya tak terbendung lagi. "Foto hitam-putih kini hanya bertahan pada pasfoto dan pekerjaan jurnalistik," kata Prof. Soelarko, Ketua Perhimpunan Amatir Foto (PAF) di Bandung. Film berwarna kini malah cenderung lebih murah dibanding yang hitam-putih. Bukan hanya itu, kertas cetak hitam-putih juga makin sulit diperoleh. "Harganya mahal, barangnya langka," kata A. Kamarga, Ketua I PAF. Dia membuat perbandingan: harga kertas cetak warna ukuran 30 X 40 cm Rp 70 per lembar. Sedang kertas hitam-putih dengan ukuran yang sama lebih dari Rp 1.000. Di Bandung pun hanya ada dua toko yang menjual kertas jenis itu. "Ini disebabkan karena minat untuk foto hitam-putih sedikit dan pabrik tidak mau menjual dalam jumlah sedikit," tutur Kamarga. Apakah lonjakan yang kini terjadi selalu berarti penggeseran? Ada dugaan memang, bahwa membanjirnya foto berwama dan kamera jenis Polaroid misalnya akan menyodok habis para tukang cuci-cetak foto kelas pinggir jalan. Ternyata sejauh ini tidak. Wardoyo, tukang afdruk foto kilat di tepi Jalan Kalianyar Surabaya, malah melihatnya sebagai awal cerah. "Penghasilan saya kini lebih besar dibanding sebelum foto warna merajalela," katanya. Sebelum 1975, rata-rata Wardoyo menerima pesan cetakan pasfoto kilat sekitar 50 lembar per hari. Namun setelah itu rata-rata 80 lembar. Begitu juga yang dialami keenam rekannya di pingir jalan yang sama. Mereka memungut keuntungan Rp 30 per lembar buat tiap pasfoto seharga Rp 50. Karena itu mereka optimistis. "Kecuali kalau ada peraturan baru pemerintah yang mengharuskan pasfoto berwama. Gulung tikarlah kita," kata Wardoyo. Bertahannya para tukang afdruk kilat itu mungkin lebih disebabkan oleh makin banyaknya konsumen pasfoto yang memerlukan pelayanan kilat. "Selama masih ada film hitam-putih dan masih ada orang yang membutuhkan pasfoto saya yakin kami masih bisa hidup," tegas Slamet Wahono, tukang afdruk foto kilat yang mangkal di depan Hotel Dibya Puri, Semarang. Tapi penyerbuan bermacam kamera murah tampaknya akan mengambil korban: juru potret keliling yang biasa disebut "Mat Kodak" umumnya bersenjatakan kamera instant Polaroid, di samping kamera standar, mereka makin merasakan akibat banjirnya kamera, gampang dan murah tadi. "Bahkan tukang becak pun kini juga bisa memiliki kamera." Orang kaya? "Mereka sekarang mengabadikan peristiwa keluarganya dengan video," keluh D.J. Saragih, tukang foto keliling yang mangkal di depan Kantor Gubernur Sum-Ut, Medan. Yang perlu dipersoalkan kini: apakah perkembangan pesat fotografi di Indonesia ini diiringi dengan peningkatan mutu? Juga masih perlu dipersoalkan apakah memasyarakatnya fotografi diiringi dengan meningkatnya kesadaran akan dokumentasi dan sejarah. Soelarko melihat, walau kepesatan minat orang membuat foto bermutu masih kalah dengan pesatnya peredaran kamera, sedikit demi sedikit orang kini mulai mengarahkan perhatian untuk juga bisa membuat foto bernilai. Indikatornya: munculnya banyak klub-klub remaja peminat fotografi di berbagai kota. Federasi Perhimpunan Seni Foto (FPSI) yang berdiri sejak 1971 di Bandung, dengan Soelarko sebagai ketuanya, kini menghimpun 17 perkumpulan dengan anggota sekitar 10 ribu orang. Meningkatnya perhatian itu juga terlihat dari tercetak ulangnya bermacam buku penuntun fotografi. Bahkan Majalah Foto Indonesia yang terbit di Bandung dua bulan sekali dengan oplah 12 ribu eksemplar, atas permintaan banyak toko buku, kini telah dicetak ulang dari penerbitan pertama sampai nomor 10. "Ini pertanda minat pada fotografi meningkat," ujar Leo Nardi, pimpinan umum majalah tersebut. Namun lonjakan kamera sekarang ini, seperti kata Leo Nardi, baru sampai taraf orang mudah memiliki kamera dan segera dapat menguasainya. "Jadi dalam beberapa hal baru mencakup pada kepentingan pribadi," katanya pekan lalu. Meningkatnya minat fotografi telah mendorong tumbuhnya bermacam kegiatan lain: lomba foto, kursus, diskusi dan ceramah fotografi. Sayangnya seperti disinyalir Ketua PAF A. Kamarga "Para pemenang lomba fotografi orangnya ya itu-itu juga. Sedikit sekali muncul muka muka baru". KELUHAN terhadap mutu peserta lomba foto di sini memang sudah lama terdengar. "Banyak peserta yang mencoba-coba menyodorkan foto asal jadi dalam gelanggang kontes," kata seorang redaktur foto sebuah majalah berita yang sering menjadi juri berbagai lomba foto. Kini, menurut dia, banyak foto yang lebih dihasilkan oleh kebolehan kamera. "Sebuah foto adalah wujud kecerdasan dan kepekaan sang pemotret. Itu berarti peranan alat nomor dua". Walau banyak perhimpunan foto baru lahir, tidak berarti organisasi lama tambah subur. Itu bisa dilihat pada Lembaga Fotografi Candra Naya (LFCN). Dari seribu orang anggota Candra Naya, tak lebih dari limabelas persen saja yang aktif," kata Pitoyo Kadiroen yang sejak 1954 ikut mengasuh LFCN. Bagaimana dengan kesadaran akan dokumentasi? Munculnya kasus tuntutan Rp 11 juta oleh konsumen yang kehilangan sebagian filmnya kepada toko foto yang dituduh menghilangkannya (TEMPO, 17 Juli 1982, Hukum) mungkin bisa saja dianggap pertanda meningkatnya kesadaran ini. Namun kesadaran itu jelas masih amat terbatas. "Sekarang orang masih belum memikirkan memotret untuk kepentingan sepuluh atau duapuluh tahun yang akan datang," kata Harry Kawilarang, wartawan foto Sinar Harapan. Kesadaran akan pentingnya dokumentasi ini agaknya baru dimiliki sejumlah kecil orang, antara lain bekas Menteri Penerangan Budiardjo. Ia memang sering muncul di banyak tempat, dan acara: tak segan duduk di lantai di Teater Arena Taman Ismail Marzuki atau pada acara olahraga di Stadion Senayan dengan kameranya. Hobinya ini sudah ditekuninya sejak 1940-an. "Saya memotret ketika Pak Dirman masuk Yogya. Waktu tiga tahun di Kamboja, saya juga membuat potret di hutan-hutan, bahkan sampai perbatasan Vietnam," kisahnya. Kumpulan hasil jepretannya kini disimpannya rapi dengan sistem kartu, diedit, diberi judul dan disimpan dalam album slide. Ia memiliki seri wayang, keramik, awan, anggrek, tokoh, keluarga, dan yang paling disenanginya adalah seri randu alas. "Saya memotretnya di mana saja saya lihat. Yang paling bagus di tepi sebuah jalan di daerah Indramayu," kata Budiardjo. Banyak tokoh lain yang dikenal Sebagai penggemar fotografi: Misalnya Wapres Adam Malik -- yang pada banyak acara tesmi juga sering membawa kamera, Rektor IPB Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution yang pernah dipukul orang di Padang selagi memotret, peragawati Poppy Dharsono yang pernah mengikuti kursus fotografi di Prancis dengan pengajar antara lain Henry Cartier-Bresson, dan bintang film Rae Sita Supit yang pernah mendapat penghargaan dari Hankam atas jasanya membuat dokumentasi di Timor Timur. Tapi dunia fotografi Indonesia kelihatannya masih dikuasai pria: Terbukti dari sekitar 200 pengirim foto serius pada rubrik Fotografi dwimingguan Mutiara hanya ada 3 wanita. Sedang Kompas Minggu, menurut Kartono Riadi yang mengasuh rubrik "Foto Pekan Ini" dan "Kritik Foto", hanya sekitar 5% pengirimnya wanita. Perkembangan fotografi di Indonesia tampaknya memang baru mencapai taraf hura-hura: semacam gegap gempitanya orang menikmati barang baru. "Semuanya rasanya masih bersifat jor-joran," kata Kiki Sukri dari Jakarta Foto. Banyak acara yang sebetulnya cukup diabadikan dengan 2 rol film, namun di sini sering ditugaskan tiga atau empat tukang foto yang bisa menghabiskan sampai masing-masing 10 rol film. "Entah siapa yang sedang salaman pun lantas difoto," kata Kiki. Kecenderungan boros film seperti itu juga terjadi pada banyak fotografer media massa kita. Lebih-lebih kalau sedang turne ikut pejabat. Setiap barang baru toh akan menjadi lama. Taraf kenikmatan nantinya juga akan dilewati, dan dengan itu kesadaran akan arti penting yang sesungguhnya dari fotografi diharapkan akan mengendap dan meluas juga. Kesadaran itu sesungguhnya telah lama ada. Sejarah punya mata berkat adanya foto tenggelamnya kapal Tampomas II yang dibuat oleh seorang amatir -- yang menolak dikenal namanya. Bukti lain adanya kesadaran itu dapat disimak pada foto bersejarah Proklamasi 17 Agustus 1945. Foto itu dibuat hanya dua jepretan oleh Alex dan Frans Mendur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus