Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sop atau sate ular kobra silahkan

Beberapa restoran yang menghidangkan daging ular. banyak yang percaya bahwa daging, darah dan empedu ular berkhasiat. daya tarik restoran ini, karena hidangannya tak bisa dijumpai restoran lain. (ils)

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Sop atau sate ular kobra silahkan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DI hari libur, rumah makan itu cukup ramai pengunjung. Banyak yang harus antre, menunggu karena tidak kebagian tempat. Depot "Surabaya", nama rumah makan itu, memang tidak seberapa luas. Hanya 28 kursi yang tersedia di ruangan berukuran 4,5 kali 6 meter tu. Daya-tarik restoran ini adalah hidangannya yang tidak bisa dijumpai di rumah makan lain di Jawa Timur: santapan daging ular, terutama ular kobra dan ular sanca. "Baru setahun kami menyediakan menu ular " ujar Wijanarko, 56 tahun pemilik depot "Surabaya". Restoran yang bersih itu terletak di Lawang, 15 km dari Malang, di pinggir jalan Surabaya-Malang. Masakan ular yang disediakan: sop ular, gorengan dan abon ular. Satu porsi sop ular berharga Rp 800, sedang abon dalam botol kecil seberat satu ons Rp 1.250. Yang banyak dicari orang adalah empedu ular. Harganya cukup mahal, per butir Rp 6.500. "Empedu ular dipakai sebagai obat, karena banyak khasiatnya," cerita Wijanarko yang keturunan Cina. "Empedu ular kobra memang sangat banyak khasiatnya," kisah Tan Giam Sing, adik ipar Wijanarko. Menurut dia, ular jenis ini bisa bertahan sampai delapan bulan tanpa makan minum. Dari empedunya, ular kobra dapat mengeluarkan cairan yang banyak mengandung vitamin. Tan Giam Sing menyebut 19 macam penyakit yang bisa diobati dengan empedu ular kobra, dari sakit lever, kencing manis, penyakit kulit, asma, kandungan lemah sampai "sesudah bersalin mendadak pingsan". Cara pemakaiannya: empedu ular dicampur arak dalam gelas (sloki). Empedu itu kemudian dipecah dan campuran itu diminum. Bisa juga dicampur dengan anggur atau minuman sejenis. "Sekedar untuk menghilangkan rasa amis dan pahit," tutur Wijanarko. Betulkah empedu kobra memang berkhasiat "Memang betul. Sakit di pinggang saya betul-betul hi]ang," ujar Lic Sik Ming, seorang langganan empedu kobra di depot tersebut. Penjaja (salesman) bumbu masak yang daerah operasinya Blitar ini beberapa kali memeriksakan sakit pinggangnya ke dokter, namun tidak sembuh. Sampai ia mencoba minum empedu kobra. "Benar dan tidaknya harus dibuktikan secara medis," komentar Kol. Pol. Jacky Mardono, Asisten Operasi Kodak X Ja-Tim pada TEMPO. Perwira menengah ini termasuk penggemar daging dan empedu ular. Diakuinya badannya memang terasa sehat setelah makan masakan ular. "Tapi apakah karena itu, saya belum yakin. Sebab saya juga sering minum berbagai macam vitamin," tuturnya sembari tertawa. PEMBELI empedu ular kobra di depot "Surabaya" bisa memilih sendiri ularnya dan menyaksikan ular itu dipotong. Di halaman belakang restoran ini terdapat enam kotak berukuran 120 X 80 X 100 cm. Bagai belut, ular-ular kobra ini bertumpuk dalam kandang tersebut. "Saat ini kami mempunyai persediaan lebih dari 500 ekor kobra," tutur Tan Giam Sing. Kebanyakan ular itu diperoleh di daerah Gunung Semeru. Dua kali seminggu ada penangkap ular yang secara rutin menyetor hasil tangkapannya, antara 10 sampai 30 ekor. "Kami membayar Rp 5000 seekor untuk kobra. Sedang sanca atau weling hanya Rp 750 per ekor," kata Tan Giam Sing. Di Jakarta, masakan dari daging ular sejak puluhan tahun lalu bisa dijumpai di daerah sekitar Taman Hiburan Rakyat Loka Sari, Jakarta Barat. Di belakang bioskop Rukiah misalnya, beberapa restoran memajang tulisan menawarkan daging ular, mokojong (anjing), monyet, biawak, kelinci dan juga tenggiling. Tampaknya masakan ular di sini lebih ditujukan untuk obat. Itu terlihat dari cara penyajiannya. Di salah satu restoran tanpa nama itu misalnya, terlihat deretan panci dalam kotak kaca di meja depan berisi daging ular, biawak, mokojong dan daging langka lainnya yang telah direbus. Warung tersebut, dibuka pada 1962, tampak kurang bersih dengan meja dan kursi kayu yang terlihat kumal. Untuk memesan minuman harus dilakukan di restoran sebelahnya. Restoran ini juga menjual obat sakit kulit atau eksim. Hidangan daging ular hanya disajikan dalam bentuk sop. Daging ular sanca yang putih dipotong-potong sebesar jempol kaki dan diberi jahe. Bila ada yang ingin makan di situ, daging dimasukkan dalam panci besar berisi air dan bumbu yang dipanaskan. Daging apa pun yang disop akan mendapat air dan bumbu yang sama. Alhasil menurut Bambang Harymurti dari TEMPO yang mencicipi, "rasanya sama saja dengan daging tetelan yang diberi air jahe". Harga sepiring sop ular di Loka Sari Rp 1000. Yang tersedia hanya ular sanca. Ular berbisa? "Wah takut dong. Soalnya kita orang enggak punya ilmunya," kata engkoh yang menunggui salah satu restoran itu. Yang lebih rapi menghidangkan masakan daging ular adalah restoran "Lembang" dan "Naya" di Bandung. Tarip di rumah makan "Lembang" lebih tinggi karena yang menyuplai ular di sini restoran Naya juga. Namun restoran yang diusahakan Pak Baen dan terletak di Jalan Cihampelas itu memang lebih bersih dan kelasnya lebih tinggi. Masakkan daging ular juga hanya merupakan pelengkap saja di situ. Pengunjung "Naya" kebanyakan keturunan Cina dan wisatawan berkulit putih. Di sini tersedia kamar yang khusus berisi ular dalam kotak kaca dan kayu. Pengunjung bisa meminta ular yang telah dipilihnya dimasak dan dihidangkan sebagai sop, goreng kecap atau cah (asam manis). Darah dan empedu ular yang dipilih dan dipotong bisa diminta. Jenis masakan lain yang tidak tertera dalam daftar menu juga bisa dipesan, terutama pada hari-hari selain Sabtu dan Minggu. Ular hidup untuk dimasak sendiri juga bisa dibeli di sini. Buat yang berminat, Ko Sun -- pemilik restoran Naya -- memberikan petunjuknya. Ular dipotong di bagian lehernya ("Hati-hati, sebab bagian kepala yang terpisah masih sanggup menggigit sampai sekitar 15 menit setelah dipotong"). Isi perut dibuang dan kemudian ular dikuliti, lalu direbus hingga empuk (antara 2 dan 3 jam) dan kemudian diolah seperti daging binatang lainnya. Ular berbisa seperti kobra, biasanya dimasak langsung setelah dipotong, hingga dagingnya terasa agak liat. Perlu diketahui, darah seekor kobra sepan jang kurang lebih satu meter, hanya sekitar setengah gelas saja. Buat mereka yang belum pernah makan daging ular, dianjurkan memakannya beramai-ramai. Sebab gengsi biasanya mengurangi dan mengusir rasa sungkan dan jijik yang biasa membayangi. Di samping itu porsi yang disediakan memang sulit dihabiskan sendirian. Satu porsi sop ular sanca seharga Rp 2.500 (Rp 5.000 buat yang berbisa) bisa disantap 2 sampai 4 orang. Buat yang jijik, boleh diingat ular termasuk binatang yang "bersih". Ia hanya mau memakan binatang yang hidup dan menolak makan bangkai -- berbeda misalnya dengan anjing dan buaya. Ular belang konon malah tidak mau memakan hewan lain selain ular. Bila sedikit tercium bau amis dimasakan daging ular beberapa tetes jeruk nipis bisa menghilangkannya. Bisnis masakan daging ular ternyata bisa juga membawa rezeki. "Dalam waktu dekat ini saya akan membeli video dari hasil ular ini," kata Suwahyo. Bekas prajurit satu BRI ini keluar dari dinas pada 1974 setelah yakin usahanya di bidang ular lebih bisa menghidupi dia. Suwahyo, 34 tahun, memang dikenal sebagai pawang ular. Warungnya di Purworejo, Jawa Tengah, dikenal luas, walau di etalasenya cuma tertulis "Pembuat abon ular". Bungkusan plastik berisi abon daging ular bertumpuk di situ. Tiap hari pasaran (Kamis dan Minggu) dari abon saja Suwahyo bisa memperoleh Rp 20 sampai Rp 30 ribu. Sedang dari kulit ular, sekitar Rp 400 ribu bisa dikantunginya dalam sebulan. Usaha ini dimulai Suwahyo pada 1970, tatkala ia menerima pesanan kulit ular dari seseorang di Jakarta. Ayah dari 4 anak ini ternyata berhasil menangkap banyak sekali ular. Dagingnya kemudian dimanfaatkan menjadi abon dan hasilnya ternyata sangat menguntungkan. Dari seekor ular besar, ukuran panjang 3,5 meter, harga belinya Rp 6.000 (hidup). Setelah diolah bisa mendatangkan uang Rp 17 ribu. Dari daging ular sepanjang itu bisa dibuat setengah kilogram abon. Satu ons abon dijual Rp 1.500, satu meter kulir Rp 2.000, satu botol kecil minyak ular Rp 100, sedang sebuah empedu bisa laku Rp 1.000. Cuma tulang ular saja yang dibuang. Memakan daging ular ternyata bisa membuat orang ketagihan. "Semula saya memang jijik, ragu dan gagap. Tapi karena kalau tidak menangkap dan memakan ular pasti tidak lulus, terpaksa saya lakukan juga," ujar Serda Morets de Fretes. Buat anggota Kopassandha, menangkap dan memakan ular memang termasuk salah satu mata ujian. "Ternyata rasanya enak. Sejak itu saya tidak takut lagi. Malah kecanduan," tambahnya. Menurut prajurit kesatuan baret merah tadi, banyak anggota Kopassandha yang kemudian ketagihan makan daging ular. Bersama rekannya, Pratu M. Kasiman, de Fretes menjelaskan cara merek menangkap ular. Sebatang bambu tua digores sangkur dibelah sedikit sehingga mirip cawan atau ketapel, lalu dimasuki kayu yan mudah patah. Ular dipukul dan otomatis kepalanya akan tegak dan lidahnya terjulur. Lehernya kemudian ditekan dengan bambu itu dan sang ular akan melilit-lilit. Setelah lemas, bagian kepala dan ekornya ditarik dan akan bersuara kraak. Kepalanya kemudian dipotong, dibelah kulitnya dan dikelupas sampai terlepas diujung ekor. Baru kemudian dipotong-potong. "Memasak ular tak perlu cuci. Langsung saja dimasukkan ke air, campurkan garam dan dipanaskan sampai mendidih dan masak," kata Kasiman. Kemudian diberi bumbu. Kalau mau disate, dicampur kecap, cabai dan merica kemudian dibakar. Tentang rasanya, Kasiman mengatakan, "seperti lemak kerbau, enak dan gurih, empuk tapi alot". Sedang menurut Fretes, rasanya seperti daging ayam. Semua daging ular, menurut dia, rasanya sama. Dia mengaku pernah makan daging ular kobra, belang, dumung dan sanca. "Daging sanca lebih enak," cerita Fretes. "Daging ular yang mentah rasanya agak manis," sambung Kasiman. Empedu ular, menurut Fretes "licin sekali, begitu masuk mulut langsung tertelan". Khasiatnya? "Tidak ada," tegasnya. Yang tebal kepercayaan pada khasiat daging dan empedu ular kebanyakan memang orang Cina. Dalam pengobatan tradisional Cina, darah, daging dan empedu ular memang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Buat mayoritas orang Islam, daging ular termasuk yang diharamkan. Menurut drh. Soemarmo, Kepala Kantor Kebun Binatang Ragunan Jakarta, daging ular memang mengandung banyak protein. Tentang khasiatnya, ia cuma mengatakan "tidak ada bedanya dengan binatang yang lain". Soemarmo membenarkan, penangkapan ular -- buat dimanfaatkan kulit atau dagingnya -- bisa mempengaruhi dan mengganggu siklus alam. "Ular pun merupakan satu ekosistem," katanya. Ular makan kodok dan tikus, tikus makan padi dan padi dimakan manusia. Sedang ular sendiri dimakan elang. "Jadi kalau ular diburu terus menerus, logis kalau tikus makin berkembang biak," katanya. Untuk mengatasi ini Soemarmo menganjurkan agar ular juga dibudidayakan dengan cara diternakkan. "Jika diternakkan, dengan diberi makan wortel misalnya, kualitas kulit ular akan semakin tinggi dan bagus," ujarnya. Bagaimana kalau sop ular yang dicampur wortel?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus