DI hari libur, rumah makan itu cukup ramai pengunjung. Banyak
yang harus antre, menunggu karena tidak kebagian tempat. Depot
"Surabaya", nama rumah makan itu, memang tidak seberapa luas.
Hanya 28 kursi yang tersedia di ruangan berukuran 4,5 kali 6
meter tu.
Daya-tarik restoran ini adalah hidangannya yang tidak bisa
dijumpai di rumah makan lain di Jawa Timur: santapan daging
ular, terutama ular kobra dan ular sanca.
"Baru setahun kami menyediakan menu ular " ujar Wijanarko, 56
tahun pemilik depot "Surabaya". Restoran yang bersih itu
terletak di Lawang, 15 km dari Malang, di pinggir jalan
Surabaya-Malang. Masakan ular yang disediakan: sop ular,
gorengan dan abon ular. Satu porsi sop ular berharga Rp 800,
sedang abon dalam botol kecil seberat satu ons Rp 1.250.
Yang banyak dicari orang adalah empedu ular. Harganya cukup
mahal, per butir Rp 6.500. "Empedu ular dipakai sebagai obat,
karena banyak khasiatnya," cerita Wijanarko yang keturunan Cina.
"Empedu ular kobra memang sangat banyak khasiatnya," kisah Tan
Giam Sing, adik ipar Wijanarko. Menurut dia, ular jenis ini bisa
bertahan sampai delapan bulan tanpa makan minum. Dari empedunya,
ular kobra dapat mengeluarkan cairan yang banyak mengandung
vitamin. Tan Giam Sing menyebut 19 macam penyakit yang bisa
diobati dengan empedu ular kobra, dari sakit lever, kencing
manis, penyakit kulit, asma, kandungan lemah sampai "sesudah
bersalin mendadak pingsan".
Cara pemakaiannya: empedu ular dicampur arak dalam gelas
(sloki). Empedu itu kemudian dipecah dan campuran itu diminum.
Bisa juga dicampur dengan anggur atau minuman sejenis. "Sekedar
untuk menghilangkan rasa amis dan pahit," tutur Wijanarko.
Betulkah empedu kobra memang berkhasiat "Memang betul. Sakit di
pinggang saya betul-betul hi]ang," ujar Lic Sik Ming, seorang
langganan empedu kobra di depot tersebut. Penjaja (salesman)
bumbu masak yang daerah operasinya Blitar ini beberapa kali
memeriksakan sakit pinggangnya ke dokter, namun tidak sembuh.
Sampai ia mencoba minum empedu kobra.
"Benar dan tidaknya harus dibuktikan secara medis," komentar
Kol. Pol. Jacky Mardono, Asisten Operasi Kodak X Ja-Tim pada
TEMPO. Perwira menengah ini termasuk penggemar daging dan empedu
ular. Diakuinya badannya memang terasa sehat setelah makan
masakan ular. "Tapi apakah karena itu, saya belum yakin. Sebab
saya juga sering minum berbagai macam vitamin," tuturnya sembari
tertawa.
PEMBELI empedu ular kobra di depot "Surabaya" bisa memilih
sendiri ularnya dan menyaksikan ular itu dipotong. Di halaman
belakang restoran ini terdapat enam kotak berukuran 120 X 80 X
100 cm. Bagai belut, ular-ular kobra ini bertumpuk dalam kandang
tersebut. "Saat ini kami mempunyai persediaan lebih dari 500
ekor kobra," tutur Tan Giam Sing.
Kebanyakan ular itu diperoleh di daerah Gunung Semeru. Dua kali
seminggu ada penangkap ular yang secara rutin menyetor hasil
tangkapannya, antara 10 sampai 30 ekor. "Kami membayar Rp 5000
seekor untuk kobra. Sedang sanca atau weling hanya Rp 750 per
ekor," kata Tan Giam Sing.
Di Jakarta, masakan dari daging ular sejak puluhan tahun lalu
bisa dijumpai di daerah sekitar Taman Hiburan Rakyat Loka Sari,
Jakarta Barat. Di belakang bioskop Rukiah misalnya, beberapa
restoran memajang tulisan menawarkan daging ular, mokojong
(anjing), monyet, biawak, kelinci dan juga tenggiling.
Tampaknya masakan ular di sini lebih ditujukan untuk obat. Itu
terlihat dari cara penyajiannya. Di salah satu restoran tanpa
nama itu misalnya, terlihat deretan panci dalam kotak kaca di
meja depan berisi daging ular, biawak, mokojong dan daging
langka lainnya yang telah direbus. Warung tersebut, dibuka pada
1962, tampak kurang bersih dengan meja dan kursi kayu yang
terlihat kumal. Untuk memesan minuman harus dilakukan di
restoran sebelahnya. Restoran ini juga menjual obat sakit kulit
atau eksim.
Hidangan daging ular hanya disajikan dalam bentuk sop. Daging
ular sanca yang putih dipotong-potong sebesar jempol kaki dan
diberi jahe. Bila ada yang ingin makan di situ, daging
dimasukkan dalam panci besar berisi air dan bumbu yang
dipanaskan. Daging apa pun yang disop akan mendapat air dan
bumbu yang sama. Alhasil menurut Bambang Harymurti dari TEMPO
yang mencicipi, "rasanya sama saja dengan daging tetelan yang
diberi air jahe".
Harga sepiring sop ular di Loka Sari Rp 1000. Yang tersedia
hanya ular sanca. Ular berbisa? "Wah takut dong. Soalnya kita
orang enggak punya ilmunya," kata engkoh yang menunggui salah
satu restoran itu.
Yang lebih rapi menghidangkan masakan daging ular adalah
restoran "Lembang" dan "Naya" di Bandung. Tarip di rumah makan
"Lembang" lebih tinggi karena yang menyuplai ular di sini
restoran Naya juga. Namun restoran yang diusahakan Pak Baen dan
terletak di Jalan Cihampelas itu memang lebih bersih dan
kelasnya lebih tinggi. Masakkan daging ular juga hanya merupakan
pelengkap saja di situ.
Pengunjung "Naya" kebanyakan keturunan Cina dan wisatawan
berkulit putih. Di sini tersedia kamar yang khusus berisi ular
dalam kotak kaca dan kayu. Pengunjung bisa meminta ular yang
telah dipilihnya dimasak dan dihidangkan sebagai sop, goreng
kecap atau cah (asam manis). Darah dan empedu ular yang dipilih
dan dipotong bisa diminta.
Jenis masakan lain yang tidak tertera dalam daftar menu juga
bisa dipesan, terutama pada hari-hari selain Sabtu dan Minggu.
Ular hidup untuk dimasak sendiri juga bisa dibeli di sini. Buat
yang berminat, Ko Sun -- pemilik restoran Naya -- memberikan
petunjuknya.
Ular dipotong di bagian lehernya ("Hati-hati, sebab bagian
kepala yang terpisah masih sanggup menggigit sampai sekitar 15
menit setelah dipotong"). Isi perut dibuang dan kemudian ular
dikuliti, lalu direbus hingga empuk (antara 2 dan 3 jam) dan
kemudian diolah seperti daging binatang lainnya. Ular berbisa
seperti kobra, biasanya dimasak langsung setelah dipotong,
hingga dagingnya terasa agak liat. Perlu diketahui, darah seekor
kobra sepan jang kurang lebih satu meter, hanya sekitar setengah
gelas saja.
Buat mereka yang belum pernah makan daging ular, dianjurkan
memakannya beramai-ramai. Sebab gengsi biasanya mengurangi dan
mengusir rasa sungkan dan jijik yang biasa membayangi. Di
samping itu porsi yang disediakan memang sulit dihabiskan
sendirian. Satu porsi sop ular sanca seharga Rp 2.500 (Rp 5.000
buat yang berbisa) bisa disantap 2 sampai 4 orang.
Buat yang jijik, boleh diingat ular termasuk binatang yang
"bersih". Ia hanya mau memakan binatang yang hidup dan menolak
makan bangkai -- berbeda misalnya dengan anjing dan buaya. Ular
belang konon malah tidak mau memakan hewan lain selain ular.
Bila sedikit tercium bau amis dimasakan daging ular beberapa
tetes jeruk nipis bisa menghilangkannya.
Bisnis masakan daging ular ternyata bisa juga membawa rezeki.
"Dalam waktu dekat ini saya akan membeli video dari hasil ular
ini," kata Suwahyo. Bekas prajurit satu BRI ini keluar dari
dinas pada 1974 setelah yakin usahanya di bidang ular lebih bisa
menghidupi dia.
Suwahyo, 34 tahun, memang dikenal sebagai pawang ular. Warungnya
di Purworejo, Jawa Tengah, dikenal luas, walau di etalasenya
cuma tertulis "Pembuat abon ular". Bungkusan plastik berisi abon
daging ular bertumpuk di situ. Tiap hari pasaran (Kamis dan
Minggu) dari abon saja Suwahyo bisa memperoleh Rp 20 sampai Rp
30 ribu. Sedang dari kulit ular, sekitar Rp 400 ribu bisa
dikantunginya dalam sebulan.
Usaha ini dimulai Suwahyo pada 1970, tatkala ia menerima pesanan
kulit ular dari seseorang di Jakarta. Ayah dari 4 anak ini
ternyata berhasil menangkap banyak sekali ular. Dagingnya
kemudian dimanfaatkan menjadi abon dan hasilnya ternyata sangat
menguntungkan. Dari seekor ular besar, ukuran panjang 3,5 meter,
harga belinya Rp 6.000 (hidup). Setelah diolah bisa mendatangkan
uang Rp 17 ribu.
Dari daging ular sepanjang itu bisa dibuat setengah kilogram
abon. Satu ons abon dijual Rp 1.500, satu meter kulir Rp 2.000,
satu botol kecil minyak ular Rp 100, sedang sebuah empedu bisa
laku Rp 1.000. Cuma tulang ular saja yang dibuang.
Memakan daging ular ternyata bisa membuat orang ketagihan.
"Semula saya memang jijik, ragu dan gagap. Tapi karena kalau
tidak menangkap dan memakan ular pasti tidak lulus, terpaksa
saya lakukan juga," ujar Serda Morets de Fretes. Buat anggota
Kopassandha, menangkap dan memakan ular memang termasuk salah
satu mata ujian. "Ternyata rasanya enak. Sejak itu saya tidak
takut lagi. Malah kecanduan," tambahnya.
Menurut prajurit kesatuan baret merah tadi, banyak anggota
Kopassandha yang kemudian ketagihan makan daging ular. Bersama
rekannya, Pratu M. Kasiman, de Fretes menjelaskan cara merek
menangkap ular.
Sebatang bambu tua digores sangkur dibelah sedikit sehingga
mirip cawan atau ketapel, lalu dimasuki kayu yan mudah patah.
Ular dipukul dan otomatis kepalanya akan tegak dan lidahnya
terjulur. Lehernya kemudian ditekan dengan bambu itu dan sang
ular akan melilit-lilit. Setelah lemas, bagian kepala dan
ekornya ditarik dan akan bersuara kraak.
Kepalanya kemudian dipotong, dibelah kulitnya dan dikelupas
sampai terlepas diujung ekor. Baru kemudian dipotong-potong.
"Memasak ular tak perlu cuci. Langsung saja dimasukkan ke air,
campurkan garam dan dipanaskan sampai mendidih dan masak," kata
Kasiman. Kemudian diberi bumbu. Kalau mau disate, dicampur
kecap, cabai dan merica kemudian dibakar.
Tentang rasanya, Kasiman mengatakan, "seperti lemak kerbau, enak
dan gurih, empuk tapi alot". Sedang menurut Fretes, rasanya
seperti daging ayam. Semua daging ular, menurut dia, rasanya
sama. Dia mengaku pernah makan daging ular kobra, belang, dumung
dan sanca. "Daging sanca lebih enak," cerita Fretes. "Daging
ular yang mentah rasanya agak manis," sambung Kasiman. Empedu
ular, menurut Fretes "licin sekali, begitu masuk mulut langsung
tertelan". Khasiatnya? "Tidak ada," tegasnya.
Yang tebal kepercayaan pada khasiat daging dan empedu ular
kebanyakan memang orang Cina. Dalam pengobatan tradisional Cina,
darah, daging dan empedu ular memang berkhasiat menyembuhkan
berbagai penyakit. Buat mayoritas orang Islam, daging ular
termasuk yang diharamkan.
Menurut drh. Soemarmo, Kepala Kantor Kebun Binatang Ragunan
Jakarta, daging ular memang mengandung banyak protein. Tentang
khasiatnya, ia cuma mengatakan "tidak ada bedanya dengan
binatang yang lain".
Soemarmo membenarkan, penangkapan ular -- buat dimanfaatkan
kulit atau dagingnya -- bisa mempengaruhi dan mengganggu siklus
alam. "Ular pun merupakan satu ekosistem," katanya. Ular makan
kodok dan tikus, tikus makan padi dan padi dimakan manusia.
Sedang ular sendiri dimakan elang. "Jadi kalau ular diburu terus
menerus, logis kalau tikus makin berkembang biak," katanya.
Untuk mengatasi ini Soemarmo menganjurkan agar ular juga
dibudidayakan dengan cara diternakkan. "Jika diternakkan, dengan
diberi makan wortel misalnya, kualitas kulit ular akan semakin
tinggi dan bagus," ujarnya. Bagaimana kalau sop ular yang
dicampur wortel?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini