Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rimba kamera sampai si unyil. (cs)

Berbagai jenis merk kamera, dan berbagai macam harga. indonesia termasuk negara no.5 dalam hal pasar foto, tapi tidak ada lembaga profesionalisme. (fg)

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIUHNYA godaan iklan kamera tak urung bikin bingung orang awam yang menaruh minat untuk bermain foto. Semuanya saling unggul. Semuanya hebat. Semua bagus. Lalu mana kamera yang bagus, sih? "Kalau orang bertanya begitu, biasanya kita perlu tanya lagi: ada berapa uang anda sekarang?" cerita seorang pemilik toko foto di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta. Di etalasenya tersedia sekitar 25 merk kamera dengan aneka harga pula. Ada kamra miniatur seperti Minox C, dengan film 8 mm sekitar Rp 100 ribuan. Gunanya untuk keperluan khusus, misalnya untuk 'mencuri' dokumen-dokumen, seperti dalam film serial Mannix. Lalu ada kamera saku semacam Olympus XA, komplit dengan lampu kilat pun sekitar seratusan. Kemudian ada kamera kompak (compact camera), yaitu jenis kamera yang lensanya tak bisa diganti-ganti: ini terdapat dari berbagai merk baik semi-otomatik maupun seluruhnya otomatik alias serba pintar. Harganya berkisar sekitar Rp 50 sampai Rp 100 ribuan. Ada lagi kamera single-lens reflex (SLR), juga dari aneka merk dan ragam sistem mekaniknya. Ada kamera twin-lens, seperti Rolleicord buatan Jerman, Yashica Mat bikinan Jepang, dan Seagull yang keluaran RRC. Harganya masih di bawah seratus untuk yang baru. Selain itu akan segera pula muncul produk baru dari Kodak berupa kamera dengan sistem cakram pada putaran filmnya, lalu untuk Ektra bakal muncul pula seri 200 yang dijuluki 'kamera si Unyil' -- saking mungilnya. Sementara Fuji, yang sudah mendirikan perakitan kamera di Cakung, sebentar lagi siap memasarkan Fujica M-1, sejenis kamera ekonomis yang ringan pula. Dewasa ini kamera yang luas dipergunakan adalah dari jenis 35 mm. Secara garis besar ada dua tipe yang berbeda dari kamera ini, yaitu: kamera yang menggunakan sistem rangefinder dan single-lens reflex (SLR). Itu dapat dijelaskan begini. Pada kamera rangefinder, lubang pembidik gambar berlainan letaknya dengan lensa penangkap gambar. Riwayat munculnya kamera ini bermula dengan kelahiran Leica di tahun 1925, yang kemudian menjadi model dasar dari kamera-kompak sekarang ini. Kelebihannya dibanding kamera SLR ialah pada kehalusan bunyinya. Tapi selain lensanya tak bisa diganti-ganti, ada kelemahannya yang menjebak. Yaitu pada pemotretan dari jarak terdekat -- sekitar 1 meter, bila pemotretnya kurang cermat, sering mengakibatkan bagian kepala orang atau bahu terpotong. Pengalaman begini tak akan terjadi pada kamera SLR, karena apa yang nampak di lubang pembidik, itulah gambar yang bakal jadi. Asas pembidikan melalui lensa yang mendasari sistem SLR sesungguhnya sudah lebih tua dari umur fotografi sendiri. Karena kamera obskura yang dipakai Nicephore Niepce untuk membuat foto paling pertama di dunia tahun 1926, merupakan suatu alat gambar yang menghimpun cahaya melalui lensa dan dengan pantulan cermin menggiring cahaya itu pada bidang kaca baur di bagian atasnya. Alkisah, para ilmuwan bangsa Arab telah mempergunakan kamera obskura semacam itu di abad ke-11. Kamera SLR dengan ukuran 35 mm mulai diproduksi pada tahun 1930-an. Namun baru menjelang akhir tahun 50-an terdapat aneka penyempurnaan, yang membuat penampilannya kian menarik. Sehingga bagi mereka yang belum terbiasa membidik melalui lensa, kamera SLR merupakan iatu pengalaman baru, suatu kegairahan baru. Selain itu ada kamera dengan ukuran film yang sama, tapi dipakainya hanya untuk keperluan tertentu saja. Misalnya, Widelux, yang bisa dipakai untuk membuat foto panoramik. Sudut tangkapan lensanya 140ø yang dimungkinkan karena lensanya bisa berputar. Bandingkan dengan lensa biasa, misalnya lensa normal 50 mm yang sudut tangkapannya hanya 46ø. Atau ambil lensa 15 mm, sudutnya adalah 110ø, sementara lensa mata-ikan, 8 mm, memang bisa mencapai 180ø, tapi gambarnya menjadi 'rusak berat'. Itu untuk sekedar perbandingan sudut tangkapan lensa, yang seluruhnya tersedia 21 macam lensa: mulai 8 mm sampai 2000 mm. Masing-masing lensa ini dipakai sesuai dengan keperluannya: makin jauh sasaran yang perlu difoto, tentu diperlukan lensa jarak jauh. Makin sempit satu ruang tempat memotret, tapi kita mau semua masuk, tentu perlu lensa sudut lebar. Pasangannya adalah kamera-kamera SLR. Di samping kamera Widelux, ada satu kamera dari rumpun Nikon, namanya Nikonos, yang khusus dirancang untuk pemotretan di dalam air -- sampai kedalaman 50 meter. Di luar air pun bisa dipergunakan, tentu saja. Harganya sekitar Rp 300 ribu, belum termasuk lampu kilatnya. Kemudian ada kamera Polaroid Land. Kamera seketika ini ciptaan ilmuwan jenius Amerika, Edwin Herbert Land, degan harganya yang masih bilangan puluhan ribu rupiah itu, sering kita lihat digunakan tukang foto keliling. Tapi bagi kalangan pemotret profesional, kamera Polaroid ini lebih berfungsi sebagai alat tambahan, dipakai untuk alat uji-coba bagi susunan cahaya dan komposisi fotonya, dan setelah itu baru mereka melakukan pemotretan dengan kamera lain. Tingkat harga kamera yang berlainan, dengan sendirinya menunjukkan perbedaan daya gunanya, sehingga di samping mengukur kemampuan kantung, orang biasanya juga menyadari apa gunanya dia membeli kamera. Sebab sejauh ini main-main foto ini masih terbilang mainan mahal. Serang ayah yang berdiam di rumah kontrakan di kampung Cempaka Putih, Jakarta, baru saja membelikan anaknya sebuah kamera instamatik, toh kemudian melenguh. "Kameranya sendiri sih murah, tapi filmnya. Saban-saban tak kurang dari Rp 5.000 untuk cuci cetaknya," ujarnya. Ia tadinya ingin menyenangkan anaknya yang naik kelas. Lalu sang kamera pun lebih banyak tersimpan di lemari. Apa boleh buat. Kemudian ada lagi alasan lain orang membeli kamera: untuk lebih memeriahkan acara-acara keluarga. Untuk keperluan semacam itu tentu bisa dilayani oleh kamera dari kelompok kamera-kompak -- yang harganya sekitar Rp 50 ribuan. Dengan kamera ini acara ulang tahun atau piknik atau arisan bisa diabadikan secara memadai. Bahkan para tukang foto keliling umumnya beroperasi dengan kamera semacam ini. Sedangkan bagi mereka yang berniat memakai kamera sebagai alat untuk mengembangkan kreativitasnya, pilihannya adalah kamera dari kelompok SLR terutama yang fasilitas mekaniknya tidak tergantung sistem elektronis. Juga para wartawan foto lebih memilih kamera jenis ini. Selain itu ada pembeli kamera dari kelompoknya yang unik: mereka memiliki kamera sebagai pelengkap simbol status sosialnya. Seperti diamati Enong Ismail, sehari-hari pengasuh Ruang Foto di mingguan Mutiara: " Niat mereka sudah lain, tapi sering melontarkan keluhan pada hasil fotonya. Lalu ganti lagi beli kamera lain, yang lebih manal. Tetap saja hasilnya mengecewakan, karena dasarnya tak serlus," katanya. Menurut Enong, di tangan kaum 'elite foto' itu sebuah kamera yang termahal sekalipun lantas kehilangan harga, tercampak ke sana ke mari. Atau paling banter dijadikan bahan pajangan di lemari. Akibatnya: iklim tropis negeri kita dengan kadar kelembaban yang tinggi membuat lensa kamera itu berjamur, dan body-nya sendiri lalu berkarat. Tapi tak disengaja, keteledoran orang dengan kameranya, baik karena tak dipakai ataupun dipakainya secara serampangan, toh ada hikmahnya buat orang lain: montir kamera kebagian kerja. Di Jakarta sedikitnya ada empat tempat reparasi kamera. Salah satu di Gedung Harco Pasar Baru. Meski ada beberapa agen kamera yang siap dengan jaminan servis, para montir di luar itu tak kurang sibuknya melayani perbaikan kamera. Di kios Bobby, di Pasar Baru ini, misalnya, tiap bulan tak kurang dari 200 kamera yang harus diperbaiki. Kerusakannya macam macam: mulai kaca prisma kotor, lensa berjamur, sampai kokangan patah atau macet dan jaringan lampu kilat yang tak sinkron. Sejauh yang tidak kelewat rumit, sekalipun tak ada suku-cadang asli, Bobby biasa melakukan 'sistem kanibal': "Dari kamera rusak yang saya beli ada bagian yang dicomot dan cocok untuk membetulkan kamera lain yang rusak. Itu saya pakai," tuturnya. Montir Bobby menasihatkan agar kamera itu jangan dibiarkan tersimpan saja. Tujuh bulan dibiarkan tergeletak di lemari sudah cukup membuat lensanya disarangi jamur. "Malahan kamera yang dipakai itu pun, sebaiknya tiap tahun diservis," anjurnya. Tak salah memang, kamera itu tak ubahnya sebuah mobil: dipakai dia mulus, disimpan dia usang. Tapi ada keadaan lain yang membuat kamera tiba-tiba malah jadi beban yaitu bila salah beli. Ada beberapa kamera buatan Jepang yang memang tujuannya para pembeli di Eropa dan Amerika. Salah satu contoh: kamera Nikkormat biasanya dilampiri catatan dari pabriknya bahwa ini untuk pasar Eropa. Begitu pula Minolta, ada yang merupakan kamera untuk pasar Amerika. Kamera semacam ini mengalami penderitaan bila dibawa ke Indonesia. Lem pada lensanya merekah karena tak cocok dengan iklim yang lembab di sini. BAGAIMANA mengetahui seri kamera mana yang bukan seharusnya untuk negeri tropis ini nampaknya diperlukan hubungan baik dengan para dealer foto. Sebab ada keterangan yang disertakan pabrik di kotak kamera bersangkutan. Nah, maukah saudagar foto itu memberitahukannya kepada konsumen tanpa ditanya? Ini soal lain lagi. Menurut catatan yang pernah tersiar di Fotokina 1978 -- sebuah pekan raya industri foto sedunia di Jerman Barat, Indonesia merupakan negara No. 5 di dunia dalam hal pasar foto. Yang pertama Amerika Serikat, kedua Eropa, ketiga Negara-negara Sosialis, keempat Jepang. Sedang RRC dan India menganut politik ketat dalam impor, terbilang negara yang tak mudah ditembus. RRC misalnya dengan ketat melindungi produksi perabot foto dalam negerinya, dan India melakukan sistem lisensi dengan merakit sendiri benda-benda foto di negerinya. Umpamanya, untuk film Ilford buatan Inggris, di India namanya: Hindi. Sehingga tak heran bila Indonesia dan negara ASEAN lain terbilang ajang yang empuk bagi pelemparan aneka macam kamera. "Sedihnya, sekalipun kita masuk 5 besar dalam pasar foto, di sini tak ada lembaga profesionalisme, termasuk lembaga kontrol terhadap kamera yang masuk ke sini," kata Harry Kawilarang, fotografer Sinar Harapan. Bagaimana Lembaga Konsumen Indonesia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus