RIUHNYA godaan iklan kamera tak urung bikin bingung orang awam
yang menaruh minat untuk bermain foto. Semuanya saling unggul.
Semuanya hebat. Semua bagus. Lalu mana kamera yang bagus, sih?
"Kalau orang bertanya begitu, biasanya kita perlu tanya lagi:
ada berapa uang anda sekarang?" cerita seorang pemilik toko foto
di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta. Di etalasenya tersedia
sekitar 25 merk kamera dengan aneka harga pula. Ada kamra
miniatur seperti Minox C, dengan film 8 mm sekitar Rp 100
ribuan.
Gunanya untuk keperluan khusus, misalnya untuk 'mencuri'
dokumen-dokumen, seperti dalam film serial Mannix. Lalu ada
kamera saku semacam Olympus XA, komplit dengan lampu kilat pun
sekitar seratusan. Kemudian ada kamera kompak (compact camera),
yaitu jenis kamera yang lensanya tak bisa diganti-ganti: ini
terdapat dari berbagai merk baik semi-otomatik maupun seluruhnya
otomatik alias serba pintar. Harganya berkisar sekitar Rp 50
sampai Rp 100 ribuan.
Ada lagi kamera single-lens reflex (SLR), juga dari aneka merk
dan ragam sistem mekaniknya. Ada kamera twin-lens, seperti
Rolleicord buatan Jerman, Yashica Mat bikinan Jepang, dan
Seagull yang keluaran RRC. Harganya masih di bawah seratus untuk
yang baru.
Selain itu akan segera pula muncul produk baru dari Kodak berupa
kamera dengan sistem cakram pada putaran filmnya, lalu untuk
Ektra bakal muncul pula seri 200 yang dijuluki 'kamera si Unyil'
-- saking mungilnya. Sementara Fuji, yang sudah mendirikan
perakitan kamera di Cakung, sebentar lagi siap memasarkan Fujica
M-1, sejenis kamera ekonomis yang ringan pula.
Dewasa ini kamera yang luas dipergunakan adalah dari jenis 35
mm. Secara garis besar ada dua tipe yang berbeda dari kamera
ini, yaitu: kamera yang menggunakan sistem rangefinder dan
single-lens reflex (SLR). Itu dapat dijelaskan begini. Pada
kamera rangefinder, lubang pembidik gambar berlainan letaknya
dengan lensa penangkap gambar. Riwayat munculnya kamera ini
bermula dengan kelahiran Leica di tahun 1925, yang kemudian
menjadi model dasar dari kamera-kompak sekarang ini.
Kelebihannya dibanding kamera SLR ialah pada kehalusan bunyinya.
Tapi selain lensanya tak bisa diganti-ganti, ada kelemahannya
yang menjebak. Yaitu pada pemotretan dari jarak terdekat --
sekitar 1 meter, bila pemotretnya kurang cermat, sering
mengakibatkan bagian kepala orang atau bahu terpotong.
Pengalaman begini tak akan terjadi pada kamera SLR, karena apa
yang nampak di lubang pembidik, itulah gambar yang bakal jadi.
Asas pembidikan melalui lensa yang mendasari sistem SLR
sesungguhnya sudah lebih tua dari umur fotografi sendiri. Karena
kamera obskura yang dipakai Nicephore Niepce untuk membuat foto
paling pertama di dunia tahun 1926, merupakan suatu alat gambar
yang menghimpun cahaya melalui lensa dan dengan pantulan cermin
menggiring cahaya itu pada bidang kaca baur di bagian atasnya.
Alkisah, para ilmuwan bangsa Arab telah mempergunakan kamera
obskura semacam itu di abad ke-11.
Kamera SLR dengan ukuran 35 mm mulai diproduksi pada tahun
1930-an. Namun baru menjelang akhir tahun 50-an terdapat aneka
penyempurnaan, yang membuat penampilannya kian menarik. Sehingga
bagi mereka yang belum terbiasa membidik melalui lensa, kamera
SLR merupakan iatu pengalaman baru, suatu kegairahan baru.
Selain itu ada kamera dengan ukuran film yang sama, tapi
dipakainya hanya untuk keperluan tertentu saja. Misalnya,
Widelux, yang bisa dipakai untuk membuat foto panoramik. Sudut
tangkapan lensanya 140ø yang dimungkinkan karena lensanya bisa
berputar. Bandingkan dengan lensa biasa, misalnya lensa normal
50 mm yang sudut tangkapannya hanya 46ø. Atau ambil lensa 15 mm,
sudutnya adalah 110ø, sementara lensa mata-ikan, 8 mm, memang
bisa mencapai 180ø, tapi gambarnya menjadi 'rusak berat'.
Itu untuk sekedar perbandingan sudut tangkapan lensa, yang
seluruhnya tersedia 21 macam lensa: mulai 8 mm sampai 2000 mm.
Masing-masing lensa ini dipakai sesuai dengan keperluannya:
makin jauh sasaran yang perlu difoto, tentu diperlukan lensa
jarak jauh. Makin sempit satu ruang tempat memotret, tapi kita
mau semua masuk, tentu perlu lensa sudut lebar. Pasangannya
adalah kamera-kamera SLR.
Di samping kamera Widelux, ada satu kamera dari rumpun Nikon,
namanya Nikonos, yang khusus dirancang untuk pemotretan di
dalam air -- sampai kedalaman 50 meter. Di luar air pun bisa
dipergunakan, tentu saja. Harganya sekitar Rp 300 ribu, belum
termasuk lampu kilatnya.
Kemudian ada kamera Polaroid Land. Kamera seketika ini ciptaan
ilmuwan jenius Amerika, Edwin Herbert Land, degan harganya yang
masih bilangan puluhan ribu rupiah itu, sering kita lihat
digunakan tukang foto keliling. Tapi bagi kalangan pemotret
profesional, kamera Polaroid ini lebih berfungsi sebagai alat
tambahan, dipakai untuk alat uji-coba bagi susunan cahaya dan
komposisi fotonya, dan setelah itu baru mereka melakukan
pemotretan dengan kamera lain.
Tingkat harga kamera yang berlainan, dengan sendirinya
menunjukkan perbedaan daya gunanya, sehingga di samping mengukur
kemampuan kantung, orang biasanya juga menyadari apa gunanya
dia membeli kamera. Sebab sejauh ini main-main foto ini masih
terbilang mainan mahal.
Serang ayah yang berdiam di rumah kontrakan di kampung Cempaka
Putih, Jakarta, baru saja membelikan anaknya sebuah kamera
instamatik, toh kemudian melenguh. "Kameranya sendiri sih murah,
tapi filmnya. Saban-saban tak kurang dari Rp 5.000 untuk cuci
cetaknya," ujarnya. Ia tadinya ingin menyenangkan anaknya yang
naik kelas. Lalu sang kamera pun lebih banyak tersimpan di
lemari. Apa boleh buat.
Kemudian ada lagi alasan lain orang membeli kamera: untuk lebih
memeriahkan acara-acara keluarga. Untuk keperluan semacam itu
tentu bisa dilayani oleh kamera dari kelompok kamera-kompak --
yang harganya sekitar Rp 50 ribuan. Dengan kamera ini acara
ulang tahun atau piknik atau arisan bisa diabadikan secara
memadai. Bahkan para tukang foto keliling umumnya beroperasi
dengan kamera semacam ini.
Sedangkan bagi mereka yang berniat memakai kamera sebagai alat
untuk mengembangkan kreativitasnya, pilihannya adalah kamera
dari kelompok SLR terutama yang fasilitas mekaniknya tidak
tergantung sistem elektronis. Juga para wartawan foto lebih
memilih kamera jenis ini.
Selain itu ada pembeli kamera dari kelompoknya yang unik: mereka
memiliki kamera sebagai pelengkap simbol status sosialnya.
Seperti diamati Enong Ismail, sehari-hari pengasuh Ruang Foto di
mingguan Mutiara: " Niat mereka sudah lain, tapi sering
melontarkan keluhan pada hasil fotonya. Lalu ganti lagi beli
kamera lain, yang lebih manal. Tetap saja hasilnya mengecewakan,
karena dasarnya tak serlus," katanya. Menurut Enong, di tangan
kaum 'elite foto' itu sebuah kamera yang termahal sekalipun
lantas kehilangan harga, tercampak ke sana ke mari. Atau paling
banter dijadikan bahan pajangan di lemari. Akibatnya: iklim
tropis negeri kita dengan kadar kelembaban yang tinggi membuat
lensa kamera itu berjamur, dan body-nya sendiri lalu berkarat.
Tapi tak disengaja, keteledoran orang dengan kameranya, baik
karena tak dipakai ataupun dipakainya secara serampangan, toh
ada hikmahnya buat orang lain: montir kamera kebagian kerja. Di
Jakarta sedikitnya ada empat tempat reparasi kamera. Salah satu
di Gedung Harco Pasar Baru. Meski ada beberapa agen kamera yang
siap dengan jaminan servis, para montir di luar itu tak kurang
sibuknya melayani perbaikan kamera.
Di kios Bobby, di Pasar Baru ini, misalnya, tiap bulan tak
kurang dari 200 kamera yang harus diperbaiki. Kerusakannya macam
macam: mulai kaca prisma kotor, lensa berjamur, sampai kokangan
patah atau macet dan jaringan lampu kilat yang tak sinkron.
Sejauh yang tidak kelewat rumit, sekalipun tak ada suku-cadang
asli, Bobby biasa melakukan 'sistem kanibal': "Dari kamera rusak
yang saya beli ada bagian yang dicomot dan cocok untuk
membetulkan kamera lain yang rusak. Itu saya pakai," tuturnya.
Montir Bobby menasihatkan agar kamera itu jangan dibiarkan
tersimpan saja. Tujuh bulan dibiarkan tergeletak di lemari sudah
cukup membuat lensanya disarangi jamur. "Malahan kamera yang
dipakai itu pun, sebaiknya tiap tahun diservis," anjurnya. Tak
salah memang, kamera itu tak ubahnya sebuah mobil: dipakai dia
mulus, disimpan dia usang.
Tapi ada keadaan lain yang membuat kamera tiba-tiba malah jadi
beban yaitu bila salah beli. Ada beberapa kamera buatan Jepang
yang memang tujuannya para pembeli di Eropa dan Amerika. Salah
satu contoh: kamera Nikkormat biasanya dilampiri catatan dari
pabriknya bahwa ini untuk pasar Eropa. Begitu pula Minolta, ada
yang merupakan kamera untuk pasar Amerika. Kamera semacam ini
mengalami penderitaan bila dibawa ke Indonesia. Lem pada
lensanya merekah karena tak cocok dengan iklim yang lembab di
sini.
BAGAIMANA mengetahui seri kamera mana yang bukan seharusnya
untuk negeri tropis ini nampaknya diperlukan hubungan baik
dengan para dealer foto. Sebab ada keterangan yang disertakan
pabrik di kotak kamera bersangkutan. Nah, maukah saudagar foto
itu memberitahukannya kepada konsumen tanpa ditanya? Ini soal
lain lagi.
Menurut catatan yang pernah tersiar di Fotokina 1978 -- sebuah
pekan raya industri foto sedunia di Jerman Barat, Indonesia
merupakan negara No. 5 di dunia dalam hal pasar foto. Yang
pertama Amerika Serikat, kedua Eropa, ketiga Negara-negara
Sosialis, keempat Jepang. Sedang RRC dan India menganut politik
ketat dalam impor, terbilang negara yang tak mudah ditembus.
RRC misalnya dengan ketat melindungi produksi perabot foto dalam
negerinya, dan India melakukan sistem lisensi dengan merakit
sendiri benda-benda foto di negerinya. Umpamanya, untuk film
Ilford buatan Inggris, di India namanya: Hindi. Sehingga tak
heran bila Indonesia dan negara ASEAN lain terbilang ajang yang
empuk bagi pelemparan aneka macam kamera. "Sedihnya, sekalipun
kita masuk 5 besar dalam pasar foto, di sini tak ada lembaga
profesionalisme, termasuk lembaga kontrol terhadap kamera yang
masuk ke sini," kata Harry Kawilarang, fotografer Sinar Harapan.
Bagaimana Lembaga Konsumen Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini