TIBA-TIBA krisis perkayuan, 1970, melanda dengan hebat. Beberapa
perusahaan penebangan kayu di Samarinda mandek. Kang King-tek,
direktur PT Sumber Mas, sangat prihatin, sebab dalam masa krisis
itu ia juga masih harus menghidupi para pekerjanya. Tapi ia toh
tidak tega menagih piutang sekitar Rp 350 juta pada rekan-rekan
daangnya. Akhirnya piutang sebanyak itu relakan begitu saja.
Setelah merelakan uang tersebut beberapa hari kemudian ia
merasa mendapat petunjuk" dari Tuhan. Katanya suatu malam ia
bermimpi berlayar bersama kedua orangtuanya ke satu tempat.
Menurut perasaannya tempat itu seperti Arab Saudi. "Adakah
orang Cina di sini?" tanyanya kepada seseorang yang ditemuinya
dalam mimpi itu. "Cukup anak," ujar orang itu.
Tak berapa lama turun sinar hijau dari langit -- begitulah
peristiwa dalam mimpi tadi. Di tengah-tengahnya tamak seorang
lelaki tampan. Ketika itu sayup ada suara yang berbisik di
telinganya, bahwa lelaki tampan itu adalah Nabi Muhammad.
King-tek lantas menyembahnya -- seperti halnya ia menyembah
Sang Sidharta Gautama. King-tek memang beragama Budha. Tapi
dalam mimpi itu, Muhammad menolak disembah.
Rupanya cukup panjang mimpi itu. Sebab kemudian Nabi lantas
berpesan: "Kalau engkau hendak pulang, lewatlah jalan ini."
King-tek bersama kedua orangtuanya mengikuti jalan itu. Sejak
itu pikiran King-tek selalu terpaut akan pribadi Muhammad.
Dua tahun kemudian -- 1972, ketika ia berusia 27 tahun -- Kang
King-tek sekeluarga masuk Islam. Namanya pun diganti menjadi
Muhammad Jos Soetomo. Istrinya pun, Tan Jek Tjien, ganti nama
menjadi Erna Megawati.
Dua tahun lalu ia menunaikan rukun Islam kelima. Sebelumnya ia
juga sudah menjalankan umroh dua kali ke Mekah. "Ibadat haji
ternyata sangat nikmat. Hanya orang yang imannya kuat saja yang
bersedia naik haji. Dan kalau orang kaya mau naik haji, itu
tandanya ia mendapat petunjuk Allah," kata Jos suatu hari di
rumahnya di kawasan Simpruk. Jakarta.
Rumah yang bernilai Rp 125 juta itu tak kalah megah dengan
Gedung Kedutaan Besar Korea di sebelahnya. Tiga Mercy Tiger
nongkrong di sana. Lambang-lambang keagamaan menghias
dinding-dindingnya. Ada potret Ka'bah di malam hari dan beberapa
kaligrafi ayat Al Quran. Untuk masuk ke rumah ini para tamu
dipersilakan melepas alas kaki, sebab setiap saat lantai bisa
digunakan untuk bersembahyang.
Di rumah inilah Jos mengontrol perusahaannya, PT Sumber Mas.
Masing-masing mobilnya dilengkapi dengan telepon, radio CB dan
radio telepon. Ia memang jarang hadir di kantornya di Jalan
Pintu Besar, Jakarta. Semua persoalan dibicarakan melalui
peralatan komunikasi modern. Jos sendiri lebih suka bila
tamu-tamunya menemui dia di rumah.
Jos lahir 37 tahun lalu di Senyiur, Muara Ancalong -- sebuah
desa kecil yang hanya bisa ditempuh dua minggu dengan perahu
dari Samarinda, Kal-Tim. Orangtuanya berasal dari Hokkian, RRC.
Di desa itu yang hanya dihuni 200 kk, hanya keluarga Jos yang
Cina. "Tapi kami sudah lama menyatu dengan penduduk," kata Jos.
Pada usia 16 tahun, Jos merantau ke Surabaya. "Jadi kuli atau
kerja apa saja. Ketika itulah saya belajar pahit-getirnya
kehidupan," tuturnya.
Kembali ke Samarinda -- setelah ia menikah pada usia 20 tahun --
pada 1966 Jos melanjutkan usaha ayahnya sebagai pengusaha kayu.
Dalam waktu singkat ia sukses. Ia membuka usaha penebangan dan
mengekspor kayu ke Hongkong. Lalu dibentuknya PT Sumber Mas yang
kemudian berkembang jadi enam anak perusahaan yang cukup mau.
Dari keenam perusahaannya, tiga di antarnya berkantor di
Samarinda: Meranti Sakti Indah Plywood, Sumber Mas Timber dan
Meranti Sakti Timber. Sumber Mas Indah Plywood di Surabaya dan
Kayan River Timber Product di Tarakan, sedang PT Sumber Mas di
Jakarta.
Total produksi kayu lapisnya 1,5 juta lembar/bulan kayu
glondongan 40.000 kubik/bulan, sebagian besar untuk ekspor.
Sedang produksi kayu gergajian, khusus untuk keperluan dalam
negeri, 15.000 kubik/bulan. PT Sumber Mas agaknya satu-satunya
perusahaan kayu yang mendapat penghargaan dari International
Award Export, AS, bulan lalu.
Dari investasi US$ 65 juta, ia menarik keuntungan sekitar US$ 8
juta/tahun. Dana tersebut ia rencanakan untuk membangun pabrik
mentega dan minyak goreng di Jakarta.
"Apa yang saya capai sekarang ini, semakin membuat saya lehih
berhati-hati terhadap amanat Allah. Harta benda itu kan amanat
Allah yang dititipkan kepada kita. Kalau saya salah menjalankan
amanat-Nya, saya takut mendapat kutukanNya," kata Jos.
Sejak pulang haji ia mulai giat membangun sarana ibadat. Kini
sudah berdiri 26 masjid di Kal-Tim dengan nilai massing-masing
minimal Rp 50 juta. Di Jakarta ia sedang membangun tiga masjid.
Satu di antaranya di kawasan perumahan megah Simpruk, dibangun
bersama kedua saudara Presiden Soeharto, Probosoetedjo dan
Soedwikatmono, dengan biaya Rp 175 juta.
Di Kal-Tim ia juga membangun pesantren yang dipimpin Ustad
Assegaf (guru agamanya yang pertama) dengan subsidi Rp 3
juta/bulan. Di sana ada perpustakaan bernilai Rp 40 juta. Di
Kal-Tim ia mendirikan pula Rumah Sakit Islam Al-Ittihad dengan
biaya Rp 2,5 milyar. Bukan hanya itu, ia juga membangun
sekolah-sekolah umum mulai SD sampai SMA "Persatuan". Tak
ketinggalan sebuah rumah yatim-piatu.
"Dana sosial saya 30% dari seluruh penghasilan saya," kata Jos,
ayah dari delapan anak ini. "Sesungguhnya saya sedih dan malu
melihat keadaan umat Islam di Indonesia. Kita ini kan mayoritas,
tapi nyatanya tidak punya apa-apa," katanya. Ia pun mendidik
anak-anaknya secara Islam. Dan anak-anak itu, tertua di SMP Klas
II, selalu menyapa dengan assalamuallaikum setiap bertemu dengan
ayah mereka.
Ia juga membangun sarana olahraga di Samarinda, membentuk klub
bolabasket Sumber Mas yang pernah mengalahkan klub Tomang Sakti,
Jakarta. Jos sendiri gemar bermain tenis, badminton, golf dan
memancing. Untuk hobi mancingnya ia memiliki empat kapal pesiar.
Bulan Maret lalu Jos menyumbangkan sebuah pesawat Cessna untuk
keperluan da'wah di pedalaman Kalimantan. Upacara penyerahan
tersebut diresmikan Menteri Agama Alamsyah dengan upacara adat
setempat. Jos sendiri masih punya tiga Cessna lagi untuk
keperluan bisnisnya.
Sekitar 80% dari penduduk Kal-Tim yang 1,2 juta beragama Islam,
sementara 50% di antaranya tinggal di pedalaman. Yang paling
sulit dicapai ialah kawasan Hulu Bulungan dan Hulu Mahakam.
Selain untuk memelihara kehidupan beragama umat Islam di
pedalaman yang terpencil, pesawat Cessna pemberian Jos tadi juga
untuk mengangkut juru da'wah ke tempat-tempat penghunian
penduduk yang masih menganut animisme. Jumlah mereka sekitar
120.000 jiwa.
Menyaksikan penggunaan pesawat tersebut, Haji Abdushamad (70
tahun) menangis. Sudah 50 tahun ia berda'wah ke tempat-tempat
pemukiman Dayak di pedalaman. "Dulu berbulan-bulan saya
berda'wah, keliling dari kampung ke kampung, masuk -- ke luar
hutan. Dan baru pulang beberapa bulan kemudian. Sekarang, dengan
pesawat itu, tentu tidak lagi begitu," katanya.
Haji Muhammad Jos Soetomo juga akan membangun beberapa lapangan
udara, terutama di Kutai dan Bulungan -- dua daerah yang paling
sulit didatangi.
Setelah masuk Islam, kebetulan saya punya kemampuan ekonomi.
Hingga saya wajib memperhatikan kehidupan umat Islam," katanya
tentang berbagai sumbangannya itu.
MENGAPA ia tertarik akan Islam? "Karena ajaran dan persamaan
derajat pemeluknya. Islam tidak membedakan suku, bangsa dan
kekayaan," katanya. Sebelum masuk Islam Jos sering mendatangkan
muballigh untuk mengisi pengajian para karyawannya. Setiap tahun
ia juga memberangkatkan 2 sampai 5 orang karyawan untuk
menunaikan haji. Di antara delapan saudaranya, hanya Jos yang
menjadi WNI dan masuk Islam.
"Ketika itu saya katakan kepada saudara-saudara saya bahwa saya
memilih WNI. Dan kini, ternyata saya benar. Sekarang saya
memilih Islam, ternyata saya benar pula," tutur Jos dengan
bangga.
Menurut Jos, masalah pribumi-nonpribumi tidak bisa diselesaikan
dengan jalan pintas, kekerasan misalnya. Sebab bila nonpri bisa
dibasmi misalnya, bukan mustahil Indonesia yang memiliki banyak
suku itu akan mengalami persoalan yang sama di kemudian hari.
"Sikap ekstrim itu mobil tua yang kere. Tak bisa dipakai sesuai
dengan perkembangan zaman," katanya lagi.
Sekarang, sebagian waktunya ia manfaatkan untuk mengurus
kegiatan-kegiatan sosial dan da'wah. Misalnya melalui yayasan
miliknya, Yayasan Ukhuwah Islamiah. Jos juga aktif di Bakom PKB
(Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa), dan menjadi
salah seorang pengurus Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila yang
dibentuk oleh Presiden Soeharto.
Tidak merokok dan tak suka minum minuman keras, Jos Soetomo juga
menjauhi hidup foya-foya. Katanya: "Cita-cita saya hanya ingin
mati syahid. Kalau saya mati untuk urusan niaga berarti mati
syahid. Sebab urusan niaga sudah saya tekadkan untuk mengabdi
kepada Allah. Tapi jika saya mati di tempat plesiran, saya mati
kafir."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini