SEBUAH iklan aneh muncul di Dagens Nyheter, koran terbesar di
Stockholm (sirkulasi 381.726). Swedia dikitari laut, dan
penduduknya gemar berlayar. "Beritahu kami bila Anda melihat
sesuatu yang perlu Anda laporkan," tulis iklan itu ditujukan
kepada 800.000 pemilik kapal pribadi. "Sambil berlayar lihatlah
ke sekeliling dan laporkan kepada kami bila Anda melihat sesuatu
yang mencurigakan."
Pemasang iklan itu, alamat tempat laporan ditujukan, adalah
Angkatan Laut Kerajaan Swedia. Iklan itu tidak untuk mencari
hewan misterius Loch Ness, tetapi mengajak peran serta
masyarakat untuk waspada terhadap kapal selam Rusia.
Akhir 1981, sebuah kapal selam Rusia tertangkap basah. Mogok
dekat pangkalan AL Swedia di Karlskrona. Sekitar Oktober 1982
dua kapal selam Rusia tampak lagi di sekitar pangkalan AL di
Pulau Musk. Dua minggu lamanya helikopter dan kapal selam Swedia
dikerahkan untuk mencari, tetapi kapal Rusia itu sudah lebih
dulu lari bea.
Rusia memang tak menurunkan kegiatan intelijennya. Swedia
memperkirakan sejumlah 100 kapal selam hilir-mudik di bawah
permukaan Laut Baltik. Hanya 30 dimiliki NATO. Selebihnya dari
Pakta Warsawa. Dengan 12 kapal selam yang dimiliki, Swedia
merasa tak mampu melindungi 1.700 mil garis pantainya dari
peningkatan lalu lintas kapal selam Rusia.
Mengingat kapal selam Rusia yang terdahulu pun pertama dipergoki
seorang pelayar Sipil, maka AL Swedia memutuskan pemasangan
iklan itu sebagai usaha mengajak peran serta masyarakat sipil.
Bahkan dari kalangan AL terdengar lelucon agar iklan itu tidak
hanya dimuat di Dagens Nyheter, tetapi juga di koran Rusia
Pravda. "Untuk memberitahu AL Soviet bahwa musim panas ini
Swedia menempatkan 800.000 kapal di perairannya untuk
memata-matai kapal selam Rusia."
Aneh juga. Iklan ternyata sudah dijadikan senjata, bahkan oleh
angkatan bersenjata. Kenyataan ini memang kedengaran lebih aneh
di Indonesia. Di sini kita selalu mendengar: iklan adalah alat
imperialisme baru untuk menguasai pasar iklan adalah penyebar
hajat konsumsi berlebih-lebihan iklan telah menyusup ke desa
dan membuat mbok tani memelihara kuku agar bisa memakai kuteks.
Pokoknya, iklan adalah hewan berkepala dua berekor tujuh yang
selalu disalah-mengerti. Bahkan mahasiswa yang mencari dana
dengan menjual spanduk dan halaman iklan di buku acara lomba
sepatu roda, akan berbicara sumbang tentang iklan kalau ia sudah
duduk di bangku seminar.
Memang pantas disalah-mengerti. Karena para praktisi periklanan
di Indonesia sendiri belum mengiklankan dirinya dengan baik.
Belum mempergunakan kreativitas dan kesempatan untuk mendudukkan
iklan sebagai sarana komunikasi di tempat yang layak. Seminar
tentang peranan iklan dam pembangunan gagal merumuskan pendapat
yang utuh dan kongkrit untuk melaksanakan peran itu -- malah
melahirkan isu baru di luar konteks yang lalu dikunyah dengan
lahap oleh pembuat gaduh.
Pemerataan iklan, yang semula diharapkan akan menjadi pemerataan
informasi, ternyata malah menimbulkan aliran dana periklanan ke
media nonpers dan menimbulkan polusi terhadap keindahan dan tata
kota. Sebuah iklan Indonesia memenangkan anugerah internasional
CLIO Award sebagai iklan layanan masyarakat terbaik untuk
mempromosikan masalah lingkungan hidup. Padahal beberapa media
di Indonesia sendiri pernah menolak pemasangan iklan itu di
medianya.
"Iklan adalah alat kapitalis, karenanya tak cocok untuk kondisi
Indonesia," kata seseorang dalam sebuah diskusi. "Ya, kalau
begitu cara melihatnya, Indonesia pun tak butuh BKPM (Badan
Koordinasi Penanaman Modal). Yang menanam modal kan kapitalis?"
bantah yang lain.
Sudahlah. Nasib iklan memang begitu. Slogan menyuruh peningkatan
produksi. Tetapi konsumsi selalu dipersoalkan, dan di sini iklan
lagi yang salah. Iklan memang menyuruh orang mengkonsumsi hasil
produksi. Dan fungsi iklan sebagai pembawa informasi pasar
itulah yang menimbulkan kesalahan persepsi masyarakat. Seolah
hanya itulah peran iklan. Padahal harkat iklan sebenarnya suatu
kekuatan untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang. Tak ada
peraturan yang mengatakan bahwa iklan hanya untuk menjual sabun,
odol, dan barang kelontong.
Di Singapura iklan dipakai untuk "menjual" Angkatan Bersenjata.
"Karena upaya sebuah generasi untuk membangun bangsa bisa lenyap
seketika," kata iklan itu, di atas foto udara dari Singapura
yang indah penuh bangunan mencakar langit. Iklan itu mengimbau
para remaja agar tidak saja bercita-cita menjadi computer
programmer, sales manager atau jabatan komersal lain, tetapi
juga berminat memilih karir sebagai tentara. "Siapa yang akan
mempertahankan negara ini kalau ta ada yang ingin menjadi
tentara?" tanya iklan itu.
Di Amerika Serikat -- ya, negara kapitalis -- tahun lalu telah
habis anggaran sebesar 60 milyar dollar untuk iklan. Tetapi yang
datang ke Madison Avenue -- pusat periklanan AS -- tidak saja
pedagang sabun dan barang kelontong. Pemerintah AS sendiri
ternyata satu di antara pengiklan terbesar. Bahkan setelah
gunting Reagan memotong, anggaran iklan pemerintah masih tetap
di atas anggaran iklan Unilever.
Tahun 1983 ini Pemerintah AS menganggarkan 200 juta dollar untuk
iklan. Dari jumlah itu 162 juta dollar untuk Departemen
Pertahanan, guna merekrut tentara. Dan setelah dipecah-pecah ke
masing-masing angkatan, anggaran iklan Angkatan Darat masih
merupakan kedua terbesar pada NW Ayer, satu dari 12 biro iklan
terbesar di AS. Ayer mengunakan televisi, radio, koran dan
majalah untuk memenuhi jatah 800.000 tentara yang harus
direkrut.
Dengan jumlah penganggur 11 juta orang sebagai akibat resesi,
tugas Ayer memang tak terlalu sulit tampaknya. Tetapi setidaknya
Ayer telah berhasil meningkatkan mutu peminat. Sekitar 80%
pelamar punya ijazah SMTA, padahal sebelumnya hanya 57%. Bahkan
untuk masuk AD kini tak semudah dulu. Waiting list-nYa panjang.
Mereka yang tak bisa menjadi sersan setelah tiga tahun akan
dipecat. Lulusan perguruan tinggi pun makin banyak melamar ke
AD.
Itu semua dihasilkan karena iklan yang hebat. Selama tiga tahun
kampanye, Ayer telah memenangkan 25 piala untuk iklan AD ini.
Bahkan Uni Soviet, tak lebih dan tak kurang, menyontek judul
iklan Be All You Can Be-nya Ayer untuk merekrut tentara wanita.
Byt vsyo shto mazhno byt, begitu bunyi contekan itu.
"Jadi di Rusia ada iklan?" tanya Anda. Ya, yang mengatakan iklan
alat kapitalis memang keliru. Di Rusia iklan digunakan secara
intensif, tetapi kenapa tidak ada yang mengatakan iklan alat
komunis?
Sikap kita terhadap iklan memang belum benar: baru melihat (lari
sebelah sisi. Kita cukup pintar melihat dampak negatif yang
langsung atau tak langsung diciptakan iklan, tetapi belum
memberi cukup kesempatan bagi dunia periklanan di Indonesia
uruuk mengembangkan kekuatan lainnya di bidang layanan
masyarakat.
Masalah-masalah nasional yang mendesak, seperti keluaruga
berencana, transmigrasi, dan lingkungan hidup, perlu
dikomunikasikan dengan baik, terencana dan tepat. Iklan bisa.
Jendral Murdani pun tak perlu rikuh menggunakan iklan kalau
perlu. Sudah terbukti di mana-mana, Jenderal. Iklan bisa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini