Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengapa bisa, mengapa tidak

Pendidikan formil-non formil, swasta-pemerintah, hanyalah diferensiasi pilihan & diversifikasi tugas. perlu diuji dengan melalui atau tanpa pendidikan, ada yang gagal dan yang lain tidak.

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YUDHISTIRA novelis muda yang tahun ini menang hadiah buku fiksi dari Yayasan Buku Utama, lebih populer sebagai penulis sastra pop. Ternyata dia juga bisa omong serius. Ketika ditanya wartawan Kompas kenapa dia ongkosi dua orang adiknya di Perguruan Tinggi, padahal dia sendiri tidak suka pendidikan formil, jawabannya sama sekali tidak pop. "Ada dua hal yang ingin saya peroleh" begitu awal jawabannya. Satu, menyenangkan hati orangtuanya yang ingin anaknya sekolah tinggi. Dua, menguji pendapatnya apakah benar sekolah dapat menjamin dan menyokong seorang untuk hidup dan hasilkan sesuatu. Dia juga mau keluarkan biaya untuk menguji pendapat itu --mengirim Rp 50.000 -- sebulan untuk kedua adiknya. Seru 'kan? Terus terang saya kagum apakah Yudhistira sehebat itu. Tapi baiklah. Itu bukan persoalan. Yang hendak dimasalahkan adalah pandangannya tentang pendidikan formil. Mana yang hebat: pendidikan formil, pendidikan informil atau pendidikan non- formil? Pertanyaan itu kira-kira sejajar dengan pertanyaan: lebih bagus jadi pegawai negeri atau pegawai swasta? Lebih enak jadi supir bis-kota atau supir taxi? Memang sia-sia bertanya begitu. Supir taxi akan bilang: "Kalau perkara uang mah, terang enakan supir bis-kota. Tapi tenaganya habis dikuras dan tidak bisa bebas. Tidak boleh ngaso sesuka dia. Kalau kita, tergantung maunya. Kalau sedang capek, boleh stop --minum atau tidur sebentar." Jawab supir bis-kota: "Untuk apa bebas, kalau duitnya -- potong setoran -- tinggal pas-pasan? Kayaknya enakan kita, jam kerja kurang, gaji bulanannya lumayan, dan pasti." Dipikir sedikit, akan kelihatan kesalahan logika dalam jalan pikiran tersebut. Jadi profesor atau jadi penulis jelas dua hal yang beda. Tidak dengan sendirinya menjadi profesor artinya hebat. Tidak dengan sendirinya jadi wartawan artinya kurang hebat. Maka Yudhistira, novelis kita yang prolifik, siasia menguji pendapatnya. Kalau kedua adiknya nanti jadi pengusaha atau pengarang yang sukses, apa itu berkat pernah adanya mereka di Perguruan Tinggi? Ada orang tamat universitas dan kerjanya hanya mengantar surat dari kantor yang satu ke kantor yang lain. Saya kira masalah yang harus diuji adalah apakah adiknya akan menjadi sarjana yang kreatif dan berguna. Seperti Yudhistira sudah membuktikan bahwa tanpa jadi sarjana dia dapat berkembang dan sampai tingkat tertentu berhasil jadi pengarang yang menghasilkan sesuatu. Kekeliruan yang sama imbul lagi kalau orang bertanya lebih hebat mana gerangan: dengan pendidikan formil atau tanpa pendidikan formil? Barangkali lebih benar kalau ditanyakan: mengapa setelah tamat pendidikan formil ada yang maju, ada yang tetap bego? Mengapa tanpa pendidikan formil, ada yang tinggal merangkak, ada yang melejit dan menjulang? Formil-non formil, swasta-pemerintah, bis-kota-taxi, hanyalah diferensiasi pilihan dan diversifikasi tugas yang tak menentukan tingkatan prestasi dan kwalifikasi. Karena itu melihat diferensiasi atau diversifikasi dengan maksud mengadakan gradasi adalah suatu kesalahan dalam penglihatan yang bisa menyesatkan. Yang barangkali berlaku untuk semua bidang yang didiversifikasi hanyalah tantangan. Yang sempat sekolah tinggi ditantang untuk membuktikan bahwa dia bisa jadi sarjana yang tidak mandul. Yang tak sempat sekolah tinggi ditantang untuk membuktikan bahwa berbekalkan pendidikan formil yang sedikit, dia dapat juga berbuat banyak. Maka kalau ada yang harus diuji, maka itu adalah pertanyaan mengapa -- dengan atau tanpa pendidikan formil - yang satu baik hasilnya, yang lain gagal, yang satu bisa, yang lain tidak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus