YUDHISTIRA novelis muda yang tahun ini menang hadiah buku fiksi
dari Yayasan Buku Utama, lebih populer sebagai penulis sastra
pop. Ternyata dia juga bisa omong serius. Ketika ditanya
wartawan Kompas kenapa dia ongkosi dua orang adiknya di
Perguruan Tinggi, padahal dia sendiri tidak suka pendidikan
formil, jawabannya sama sekali tidak pop.
"Ada dua hal yang ingin saya peroleh" begitu awal jawabannya.
Satu, menyenangkan hati orangtuanya yang ingin anaknya sekolah
tinggi. Dua, menguji pendapatnya apakah benar sekolah dapat
menjamin dan menyokong seorang untuk hidup dan hasilkan sesuatu.
Dia juga mau keluarkan biaya untuk menguji pendapat itu
--mengirim Rp 50.000 -- sebulan untuk kedua adiknya. Seru 'kan?
Terus terang saya kagum apakah Yudhistira sehebat itu. Tapi
baiklah. Itu bukan persoalan. Yang hendak dimasalahkan adalah
pandangannya tentang pendidikan formil. Mana yang hebat:
pendidikan formil, pendidikan informil atau pendidikan non-
formil? Pertanyaan itu kira-kira sejajar dengan pertanyaan:
lebih bagus jadi pegawai negeri atau pegawai swasta? Lebih enak
jadi supir bis-kota atau supir taxi?
Memang sia-sia bertanya begitu. Supir taxi akan bilang: "Kalau
perkara uang mah, terang enakan supir bis-kota. Tapi tenaganya
habis dikuras dan tidak bisa bebas. Tidak boleh ngaso sesuka
dia. Kalau kita, tergantung maunya. Kalau sedang capek, boleh
stop --minum atau tidur sebentar." Jawab supir bis-kota: "Untuk
apa bebas, kalau duitnya -- potong setoran -- tinggal pas-pasan?
Kayaknya enakan kita, jam kerja kurang, gaji bulanannya lumayan,
dan pasti."
Dipikir sedikit, akan kelihatan kesalahan logika dalam jalan
pikiran tersebut. Jadi profesor atau jadi penulis jelas dua hal
yang beda. Tidak dengan sendirinya menjadi profesor artinya
hebat. Tidak dengan sendirinya jadi wartawan artinya kurang
hebat. Maka Yudhistira, novelis kita yang prolifik, siasia
menguji pendapatnya. Kalau kedua adiknya nanti jadi pengusaha
atau pengarang yang sukses, apa itu berkat pernah adanya mereka
di Perguruan Tinggi? Ada orang tamat universitas dan kerjanya
hanya mengantar surat dari kantor yang satu ke kantor yang lain.
Saya kira masalah yang harus diuji adalah apakah adiknya akan
menjadi sarjana yang kreatif dan berguna. Seperti Yudhistira
sudah membuktikan bahwa tanpa jadi sarjana dia dapat berkembang
dan sampai tingkat tertentu berhasil jadi pengarang yang
menghasilkan sesuatu.
Kekeliruan yang sama imbul lagi kalau orang bertanya lebih
hebat mana gerangan: dengan pendidikan formil atau tanpa
pendidikan formil? Barangkali lebih benar kalau ditanyakan:
mengapa setelah tamat pendidikan formil ada yang maju, ada yang
tetap bego? Mengapa tanpa pendidikan formil, ada yang tinggal
merangkak, ada yang melejit dan menjulang?
Formil-non formil, swasta-pemerintah, bis-kota-taxi, hanyalah
diferensiasi pilihan dan diversifikasi tugas yang tak menentukan
tingkatan prestasi dan kwalifikasi. Karena itu melihat
diferensiasi atau diversifikasi dengan maksud mengadakan gradasi
adalah suatu kesalahan dalam penglihatan yang bisa menyesatkan.
Yang barangkali berlaku untuk semua bidang yang didiversifikasi
hanyalah tantangan. Yang sempat sekolah tinggi ditantang untuk
membuktikan bahwa dia bisa jadi sarjana yang tidak mandul. Yang
tak sempat sekolah tinggi ditantang untuk membuktikan bahwa
berbekalkan pendidikan formil yang sedikit, dia dapat juga
berbuat banyak.
Maka kalau ada yang harus diuji, maka itu adalah pertanyaan
mengapa -- dengan atau tanpa pendidikan formil - yang satu baik
hasilnya, yang lain gagal, yang satu bisa, yang lain tidak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini