Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan Pollycarpus Budihari Priyanto atas peninjauan kembali oleh Kejaksaan Agung mengguncang rasa keadilan kita. Dengan putusan itu, misteri pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir terkubur semakin dalam. Komplotan yang bekerja dengan sangat terencana di balik pembunuhan ini agaknya tak akan pernah tersentuh hukum. Jelas ini merupakan kemunduran besar peradilan di Indonesia.
Munir tewas di atas pesawat Garuda dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam sembilan tahun lalu. Dari hasil otopsi, ditemukan senyawa arsenik di dalam tubuh Munir. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus hukuman 14 tahun penjara untuk Pollycarpus. Dia terbukti melakukan pembunuhan berencana.
Pollycarpus mengajukan perlawanan hukum. Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung menyatakan Pollycarpus hanya terbukti bersalah menggunakan dokumen palsu dan divonis dua tahun penjara. Pada 2007, Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasasi itu. Setahun kemudian, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan tersebut dan menghukum Pollycarpus 20 tahun penjara.
Hukuman inilah yang kemudian dipersoalkan Pollycarpus dengan mengajukan permohonan PK atas PK tersebut.
Meskipun tidak lazim, hakim majelis PK punya alasan mengabulkan permohonan PK Pollycarpus: putusan 20 tahun penjara itu menyalahi hukum acara. Hukum acara itu diatur Pasal 266 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana: pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Karena itu, Mahkamah Agung menurunkan hukuman Pollycarpus dari 20 tahun menjadi 14 tahun penjara, seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pengurangan hukuman terhadap Pollycarpus, apa pun persoalan teknis hukumnya, tentu sangat mengecewakan. Kita tadinya berharap ada terobosan hukum sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim pencari fakta kasus kematian Munir. Apalagi, menurut catatan, Pollycarpus begitu kerap mendapat remisi sehingga hukuman 14 tahun itu berkali-kali dikurangi.
Aspek penting yang seolah-olah dilupakan, kasus pembunuhan ini tampak terlalu "dibebankan" pada Pollycarpus seorang. Padahal di persidangan jelas tergambar bahwa dia sekadar pion dari peristiwa besar ini.
Jaksa misalnya tidak mempersoalkan vonis bebas atas mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Mayor Jenderal Purnawirawan Muchdi Pr. Padahal, dalam putusannya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah menyebutkan pembunuhan terhadap Munir tidak dilakukan sendirian, tapi merupakan tindakan komplotan. Bukti berupa 41 kali telepon Pollycarpus kepada Muchdi Pr., meski disangkal Muchdi, menunjukkan masih banyak hal yang perlu digali lebih jauh. Terlalu banyak kejanggalan di sekitar peradilan Muchdi yang tidak dikejar hingga titik penghabisan.
Sangat disesalkan, Presiden Yudhoyono, yang sudah menggagas pembentukan tim pencari fakta kasus pembunuhan Munir, tidak berhasil mendorong tim ini membongkar habis kematian aktivis hak asasi manusia itu. Memang masih ada waktu tersisa untuk menunjukkan keseriusan pemerintah menuntaskan kasus ini, tapi kami ragu Yudhoyono mampu dan mau melakukannya.
Pengungkapan kasus Munir merupakan ujian bagi sejarah kita, menurut Yudhoyono. Apa boleh buat, harus dikatakan, pemerintah Yudhoyono gagal menjawab ujian sejarah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo