Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR tak kunjung mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Belakangan DPR setuju dengan menggantinya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam draf DPR, aturan pokok tentang relasi kuasa justru dihapus.
DARURAT kekerasan seksual tak juga menggugah Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk mengesahkan undang-undang pencegahan kekerasan seksual. Dengan berbagai dalih, DPR menunda-nunda pembahasannya meskipun korban terus berjatuhan. Tiadanya empati wakil rakyat terhadap para korban berujung pada sulitnya mencegah dan menangani kejahatan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tak membuka mata para politikus. Hingga awal Oktober lalu, Komnas Perempuan menerima sekitar 4.200 laporan kekerasan seksual. Angkanya melonjak dari tahun lalu sebanyak 2.400 kasus. Statistik tersebut bisa lebih tinggi karena ada juga korban yang takut melapor atau kasusnya ditutup-tutupi oleh pelaku seperti yang terjadi di sejumlah universitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komnas Perempuan dan sejumlah pegiat kesetaraan gender sejak sepuluh tahun lalu telah meneriakkan isu ini. Komnas pula yang menggodok naskah akademiknya sepanjang 2012 hingga 2015 dan menyampaikan drafnya ke DPR pada 2016. Diberi judul Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, draf ini baru masuk program legislasi nasional setahun kemudian. Sampai DPR periode lalu berakhir, draf tersebut tak kunjung diketok.
Politikus Senayan bahkan mencabut draf tersebut dari daftar prioritas legislasi pada tahun lalu. Rancangan yang sekarang dibahas di panitia kerja bukanlah draf bikinan Komnas Perempuan, melainkan produk Badan Legislasi DPR dengan nama Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sembilan jenis kekerasan seksual di draf lama dipangkas menjadi lima. Kejahatan yang dihilangkan antara lain pemaksaan perkawinan.
Selain menciutnya jumlah tindak pidana, definisi kekerasan seksual berubah. Dalam rancangan yang baru, unsur relasi kuasa dan relasi gender yang kerap melatari kekerasan seksual ditiadakan. Frasa “tanpa persetujuan korban” juga lenyap. Padahal frasa tersebut penting untuk membedakan pelaku dengan korban. Hasil kompromi para politikus tersebut jelas merupakan kemunduran.
Alasan DPR bahwa undang-undang ini rumit dan sulit dibahas sangat mengada-ada. Draf yang dibuat Komnas Perempuan “hanya” 64 halaman. Bandingkan dengan draf Undang-Undang Cipta Kerja setebal 1.870 halaman dan mengubah 82 undang-undang. Dalam hal yang terakhir, DPR dan pemerintah menuntaskannya dalam waktu setahun.
Presiden Joko Widodo semestinya menggalang partai politik pengusungnya, yang memiliki kursi mayoritas di parlemen, untuk mengebut pembahasan. Dua partai pendukung Jokowi, Partai Persatuan Pembangunan dan Golkar, ironisnya justru menjadi pengganjal. Keduanya mengikuti gendang Partai Keadilan Sejahtera yang selalu menentang disahkannya undang-undang ini.
Patut dikecam: wakil rakyat dan elite politik menghadang undang-undang ini demi kepentingan politik jangka pendek—membarternya untuk maksud lain. Patut dicurigai, kelak kalaupun rancangan ini disahkan, isinya bakal jauh panggang dari api. Pencegahan kekerasan seksual dan perlindungan korban kejahatan seksual tampaknya tak akan optimal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo