KEPADA kenang-kenangan almarhum Husni Alatas nomor TEMPO kali
ini kami persembahkan.
Berhari-hari kami percaya, berharap, dan bercerita, bahwa dia
masih hidup di hutan itu. Ternyata tidak. Ia menyebut nama Tuhan
di hari pertama kecelakaan di lereng G. Tinombala itu, lalu
menutup hari terakhir hidupnya. Ia tidak bersama kita lagi. Ia
sudah bersama mereka yang kekal.
Ia adalah salah satu contoh yang baik dari seorang koresponden
di daerah. Ia mencintai daerahnya, la mencintai flora dan
faunanya. Ia mencintai lereng bukit dan semak itu. Ia uga
mencintai mereka yang hidup di sana -- dengan segala problem
mereka. Ia banyak berjalan, mendengar, lalu menulis. Orang yang
berbicara halus ini seperti banyak mengendapkan gejolak dari
hidupnya sendiri dan dari hidup orang di sekitarnya.
Adakah ia mempunyai lawan? Kami tidak tahu. Yang jelas ia punya
banyak kawan, bahkan pengagum, la bisa mengambil jarak dari
mereka yang ditulisnya: dekat tanpa menjadi sekedar humas, jauh
tanpa terlanjur menjadi musuh. Tentu saja tak selamanya ia bisa
menyenangkan mereka yang mengira, bahwa di luar puji-pujian,
yang lain adalah kritik.
Husni -- seperti pers di Indonesia ini -- tak jarang harus
mengalami kenyataan bahwa pujiannya sering dianggap sudah
selayaknya, sementara kritiknya tidak. Barangkali begitulah
kaidah hidup: kritik selamanya lebih keras terdengar dibanding
dengan ucapan selamat. Kritik bisa menimbulkan dendam, sedang
pujian -- gampang dilupakan.
Tapi untunglah pers bukan berkisar pada soal mengritik dan
memuji melulu, seperti yang banyak disangka orang. Husni lebih
banyak berbuat untuk daerahnya dari sekedar itu. Ia, yang lebih
lama bekerja di bidang jurnalistik ketimbang banyak rekannya di
majalah TEMPO, adalah satu tauladan.
Dalam hal-hal tertentu mungkin ada yang bisa menggantikannya.
Tapi Husni hanya Husni. Inna Lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini