Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir-akhir ini, kita sering disuguhkan narasi dampak perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati. Namun, agaknya kita perlu sejenak menengok ke belakang untuk berefleksi: bagaimana hal itu bisa terjadi dan mengapa kita harus mencegahnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, akibat kebijakan pembangunan yang sembrono, Indonesia kehilangan hutan tropis dan keanekaragaman hayati, beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan peruntukan lainnya. Indonesia pernah mengalami deforestasi bersih selama 22 tahun (1990 -2012) seluas 31,4 juta hektare atau setara mengemisi karbon kurang lebih 9,020 MtCO2e (FREL Nasional, KLHK, 2016). Kerusakan hutan di belahan dunia lain, seperti di hutan Amazon Brasil dan Afrika, serta polusi dari negara-negara industri turut memicu pemanasan global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua, komitmen negara-negara tidak cukup ambisius memenuhi Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu pada 1,5-2 derjat Celcius, memicu dampak perubahan iklim semakin serius. Kenaikan suhu 1 derjat Celcius di bumi telah mencairkan es di kutub. Kenaikan suhu 2 derjat Celcius melenyapkan 40 persen hutan hujan berakibat menipisnya cadangan makanan hewan. Krisis planet bumi telah diintimidasi oleh hilangnya keanekaragaman hayati super cepat, polusi, dan kerusakan lingkungan serta perubahan iklim global.
Ketiga, sebagai negara megabiodiversity, Indonesia harus belajar dari masa lalu, dan perlu lebih memperkuat penerapan kebijakan melindungi keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem secara efektif terukur serta melibatkan peran para pihak dalam pelestarian, pemanfaatan lestari yang adil agar memiliki daya tahan dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Hasil kajian The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) tahun 2019 dan Global Biodiversity Outlook (GBO) edisi ke-5 menunjukan kurang lebih 25 persen spesies hewan dan tumbuhan terancam punah sekitar 1 juta spesies dalam satu dekade.
Kelompok pakar Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan adanya "red code for humanity" akibat dampak perubahan iklim itu. Sekitar 50-75 persen dari populasi global berpotensi terdampak kondisi iklim yang mengancam di tahun 2100 (IPCC, 2022). Polusi udara telah menyebabkan penyakit dan kematian dini hingga 4,2 juta kematian setiap tahun (UNFCCC, 2022).
Dunia internasional mengakui bahwa negara-negara peserta Convention on Biological Diversity (CBD) dan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) belum sepenuhnya berhasil mencapai Target Aichi 2010-2020, bahkan dinilai masih jauh dari memuaskan. Kondisi itu menaikkan risiko dampak perubahan iklim menjadi krisis multidimensi: lingkungan, energi, kesehatan, dan keuangan global.
Konflik dan ancaman resesi menempatkan dunia dalam krisis pangan global. Tingkat kelaparan pada tahun 2021, menyebabkan hampir 193 juta orang berada pada kondisi sangat rawan pangan, membutuhkan bantuan mendesak di 53 negara/wilayah (Global Report on Food Crisis/GRFC, 2022).
Selanjutnya: Keanekaragaman Hayati sebagai Benteng Pertahanan
Keanekaragaman Hayati sebagai Benteng Pertahanan
Keanekaragaman hayati memiliki potensi meredam dampak perubahan iklim. Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore sukses mengkampanyekan dampak perubahan iklim melalui film "An Inconvenient Truth" pada 2006, yang menceritakan pembangunan di era awal pada 1610 hingga 1960. Era Anthropocene itu ditandai migrasi orang-orang Eropa ke Amerika mengubah bentang alam hutan seluas 65 juta ha menjadi lahan pertanian. Sesudahnya penemuan industri bahan sintesis beracun, plastik, tes nuklir, dan pertambahan penduduk yang cepat telah berdampak signifikan terhadap perubahan fungsi ekosistem dan iklim bumi.
Pakar Konservasi Biodiversitas, Prof. Jatna Supriatna, mengatakan kawasan konservasi adalah benteng pertahanan terakhir terhadap perubahanan iklim yang kian terasa dampaknya. Sumber daya hayati memainkan peran penting dalam menyeimbangkan lingkungan, stabilitas untuk berbagai proses alam, penyedia pakan, sandang dan sumber pendapatan termasuk jasa ekosistem seperti hidrologi, siklus hara, regulasi iklim, proses penyerbukan.
Hutan yang dijaga, mampu menghasilkan tandon karbon selain sumber plasma nutfah. Studi memproyeksi potensi mereduksi emisi karbon dari lahan seluas 2.873.166 hektare di Provinsi Aceh mencapai 11,2 juta ton CO2e/tahun. Sementara untuk total luas lahan 11.692.793 hektare di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara berpotensi mereduksi emisi sebesar 85 juta ton CO2e/tahun (Hatfield, 2020).
Keragaman pangan nusantara adalah modal utama terhindar dari bencana kelaparan. Mengutip data Badan Pangan Nasional pada 2022, terdapat beragam ekosistem dan sumber pangan lokal yang tumbuh adaptif, yakni 77 jenis sumber karbohidrat, 389 jenis buah-buahan, 75 jenis sumber protein, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah dan bumbu, 26 jenis kacang-kacang, dan 40 jenis bahan minuman. Sumber daya ikan laut Indonesia meliputi 37 persen dari spesies ikan dunia, dengan potensi sebesar 12,54 juta ton pertahun tersebar di perairan dan zona ekonomi ekslusif Indonesia (KKP, 2020).
Dari dunia tumbuhan tingkat rendah, penelitian bioteknologi kita telah mengungkap alga yang banyak ditemui di daerah perairan berpotensi menjadi penyelamat kehidupan sebagai bahan pangan, bahan bakar nabati (BBN), agen hayati penyaring racun limbah pertanian dan industri, serta mampu menekan laju emisi.
Alga hijau biru (Cyanobacteria) diyakini sepuluh kali lebih efisien berfotosintesis dibanding tanaman daratan sehingga mampu menekan tingkat emisi karbon. Beberapa mikro alga menghasilkan enzim pengurai limbah plastik, bahkan alga dapat dibuat biopolymer sebagai bahan pengganti plastik.
Mikro alga Chlorella memiliki kandungan minyak mentah maksimal 32 persen, Dunaliella (23 persen), Isochrysis galbana (35 persen), dan Nannochloropsis oculata (68 persen). Jenis alga ini berpotensi dikembangkan sebagai bahan bakar nabati tanpa berkompetisi dengan sumber bahan bakar nabati lainnya, seperti kelapa sawit.
Indonesia dengan garis pantai lebih dari 80 ribu kilometer serta keragaman ekosistem perairannya, seharusnya menempatkan bioprospecting alga sebagai andalan pembangunan green ekonomi Indonesia di masa depan.
Selanjutnya: Menguatkan Komitmen Melindungi Bumi
Menguatkan Komitmen Melindungi Bumi
Komitmen Indonesia untuk semakin berkontribusi dalam menjaga suhu global telah menyampaikan peningkatan ambisi penurunan gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada September 2022. Hal itu dimaksudkan untuk lebih memutakhirkan kebijakan-kebijakan nasional terkait perubahan iklim, di antaranya kebijakan Long-term Strategi for Low Carbon and Climate Resilience 2050 dan menuju net zero emission pada 2060 atau lebih cepat (KLHK, 2022).
Di COP 15 Montreal, 2022, Pemerintah mengajukan penetapan kawasan lindung 54,48 persen dari hutan Indonesia, melindungi 25,93 persen situs penting untuk terrestrial biodiversity, melindungi 39 persen situs penting keanekaragaman hayati perairan darat sejak 2021, dan meningkatkan upaya lebih dalam perlindungan perairan laut. Pemerintah mengklaim target perlindungan eksositem darat 30 persen telah terlampaui. Tutupan lahan hutan mencapai 51 persen atau seluas 95,3 juta hektare, sedangkan di kawasan hutan mencapai 63 persen atau seluas 118 juta hektare.
Data perlindungan kawasan konservasi perairan dan darat seluas 27,41 juta hektare (21,8 persen), hutan lindung 29,5 juta hektare (23,5 persen) dan target perluasan kawasan esensial di luar kawasan konservasi pada 2023 seluas 12,4 juta hektare (KSDAE, 2022). Upaya-upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah menjaga hutan dan keanekaragaman hayati.
Pemerintah menargetkan perlindungan kawasan gambut dan mangrove dengan rincian, pemulihan 1,2 juta hektare ekosistem gambut dan rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare hingga 2024. Data Badan Restorasi Gambut dan Mangrove pada 2021 itu menjadikan Indonesia negara paling ambisius menekan laju emisinya.
Pemerintah terus mendorong regionalisasi sistem pangan yang merujuk pada keanekaragaman pangan nusantara yang beragam dan adaptif iklim setempat. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024 yang menempatkan transformasi sistem pangan sebagai salah satu prioritas nasional.
Menyusul terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Keanekaragaman Hayati, semua pihak perlu mengawal pemerintah agar segera memfinalkan kebijakan Nilai Ekonomi Karbon, Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990; Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP) pasca 2020, serta rencana penyusunan strategi dan peta jalan bioprospecting supaya lebih relevan dengan komitmen CBD dan Goal COP15, yaitu kehidupan yang harmoni.