Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Menuju Uang Digital Rupiah

Tegas dan bijak adalah dua kata yang tepat untuk menggambarkan sikap Bank Indonesia (BI) atas polemik mengenai uang digital.

19 Maret 2018 | 08.40 WIB

Bitcoin Versus E-Money, Sentralisasi Lawan Desentralisasi Uang Digital Revisi
Perbesar
Bitcoin Versus E-Money, Sentralisasi Lawan Desentralisasi Uang Digital Revisi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Tegas dan bijak adalah dua kata yang tepat untuk menggambarkan sikap Bank Indonesia (BI) atas polemik mengenai uang digital. BI berkukuh melarang penggunaan uang digital (cryptocurrency) semacam Bitcoin sebagai alat pembayaran di seluruh wilayah Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BI mengklaim Bitcoin tidak layak sebagai mata uang lantaran tak memiliki dasar penilaian (underlying) yang kokoh. Dengan nilainya yang sangat fluktuatif, Bitcoin berpotensi kuat mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional.

Sebagai instrumen investasi, Bitcoin juga memperlihatkan kelemahannya. Pasokannya yang sangat terbatas niscaya tidak mampu memenuhi permintaan. Konsekuensinya, Bitcoin menjadi aset kosong yang bersifat spekulasi dengan mengesampingkan perlindungan konsumen.

Untungnya, BI tidak alergi terhadap teknologi cryptocurrency. Bahkan BI hendak mengkaji kemungkinan penerapan uang digital rupiah dengan teknologi Blockchain. Walhasil, uang digital rupiah tampaknya menjadi resultan akhir dari proses metamorfosis panjang.

Sebelumnya, masyarakat mengenal rupiah berbahan logam, kertas, dan elektronik berbasis kartu. Perbedaan preferensi membawa persoalan uang tunai, uang elektronik, dan uang digital rupiah masuk ke ranah substitusi. Kemampuan substitusi tiga jenis uang tersebut menuntut ekuivalensi daya belinya.

Jika prinsip ekuivalensi ini tidak terpenuhi, hukum Grisham niscaya terjadi: bad money drives out good money. Perkembangan uang virtual akan tertekan dan bahkan bisa jadi akan dihindari. Masyarakat kembali memilih cara tunai-dalam taraf tertentu, jika tidak terpaksa betul-yang dianggap berdaya beli lebih tinggi.

Dengan prinsip ini, uang digital rupiah harus mampu menjalankan fungsinya sebagai media pertukaran dalam suatu sistem pembayaran seperti layaknya uang fisik. Posisi ini dengan sendirinya menutup peluang uang digital rupiah sebagai instrumen investasi.

Prinsip yang lazim berlaku adalah memegang uang menjadi likuid tetapi tidak menghasilkan imbal hasil (return). Sebaliknya, memegang aset akan menghasilkan imbal hasil tetapi pemiliknya tidak likuid lagi. Dengan logika ini pula nantinya tidak akan ada penambang uang digital rupiah sebagaimana yang terjadi pada Bitcoin.

Dengan skenario di atas, pemberlakuan uang digital rupiah sangat bergantung pada kapasitas teknologi informasi yang digunakan BI. Kecanggihan teknologi informasi memudahkan BI memantau peredaran uang digital sehingga bisa mendeteksi pergerakan inflasi.

Kompatibilitas teknologi informasi BI dengan jaringan global sangat membantu BI dalam mengamati pergerakan uang lintas negara yang berimbas pada pasokan likuiditas, cadangan devisa, dan nilai tukar. Konsekuensinya, cadangan valuta asing juga menuntut penyesuaian bentuk menuju cryptocurrency.

Kasus e-money memberikan pelajaran berharga dalam mendesain model sirkulasi uang virtual. Sebagai contoh, transaksi uang elektronik melalui Gerbang Pembayaran Nasional ternyata belum terkoneksi sempurna dengan Visa dan Master Card yang lebih dulu eksis sehingga menyulitkan investor asing.

Kesulitan niscaya muncul pada masa transisi. Pokok masalahnya adalah uang digital rupiah masih terkait erat dengan uang kertas, uang logam, dan uang elektronik tadi. Fase ini sangat krusial karena dominasi transaksi digital bisa jadi belum tercakup utuh dalam data jumlah uang beredar.

Dalam jangka panjang, uang digital rupiah juga akan membawa perubahan fundamental bagi bank umum. Kontak langsung peer to peer membuat peran bank sebagai lembaga intermediasi-yang menjembatani antara pihak yang berlebihan dana dan pihak yang membutuhkan dana-akan semakin susut. Susutnya peran ini membuat bank umum tidak bisa leluasa menciptakan "uang sekunder" dari rupiah yang disimpan masyarakat. Konsekuensinya, BI tidak memiliki agen dalam mengimplementasikan kebijakan moneter dan makroprudensialnya. Rentang kendali menjadi tantangan yang harus diantisipasi.

Dengan konfigurasi masalah tersebut, inovasi disruptif tampaknya sudah sampai pada wilayah moneter yang menuntut bank sentral bersikap akomodatif dan hati-hati. Kajian yang dilakukan BI harus mampu mengidentifikasi berbagai isu yang akan muncul sekaligus langkah penanggulangannya.

Kesulitan utama BI adalah belum ada praktik terbaik sebagai rujukan. Semua negara sejauh ini masih meraba-raba bentuk antisipasi yang paling elementer. Kemampuan melihat jauh ke depan dan kecerdasan berpikir yang spesifik adalah prasyaratnya. Jalan menuju cashless society masih panjang dan berliku.

Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus