BANYAK orang terpukau perhatiannya pada angka ajaib hasil
ramalan jangka panjang dari jumlah penduduk suatu negara atau
sebuah kota. Bahayanya bila angka itu dipegang teguh sebagai
"kebenaran ilmiah" tanpa mengingat pembatasan yang melekat pada
setiap ramalan hasil hitungan proyeksi.
Umumnya makin panjang jangkauan ramalan, makin besar unsur
ketidakpastian yang dihadapi. Makin jauh waktu yang ingin
dilihat dan ditaksir, makin buram gambaran yang diperoleh.
Teoritis proyeksi suatu jumlah penduduk relatif lebih sederhana
dan mudah dibanding dengan proyeksi tentang phenomena lain.
Karena angka jumlah penduduk dari waktu ke waktu hanya
digerakkan oleh tiga besaran: lahir, mati dan migrasi
(perpindahan). Yang sulit ialah bahwa perilaku ketiga besaran
ini dipengaruhi oleh banyak sekali faktor, yang sulit
diperhitungkan semua. Akibatnya ramalan itu terpaksa bekerja
pada sejumlah praanggapan. Kebenaran praanggapan tidak diuji,
selain dari cocok tidaknya ramalan dengan kenyataannya kelak.
Dalam ramalan tentang jumlah penduduk, praanggapannya sering
kali sangat disederhanakan lagi. Umumnya praanggapan tentang
nilai ketiga besaran lahir, mati dan migrasi dari waktu ke waktu
didasarkan pada nilai waktu sekarang dan sebelumnya,
keinginan-keinginan atau dugaan dugaan untuk masa yang akan
datang dan sejumlah "skenario".
Praanggapan inilah yang mestinya tetap menempel pada nilai hasil
ramalan. Tidak hanya menjadi faktor pembatas atas kecermatan
ramalan, tetapi juga dasar "sengketa ilmiah" yang sah setiap
kali kita memperbincangkan hasil ramalan itu. Sedang
hitung-hitungan dan metode proyeksinya semata-mata soal
aritmatik yang relatif sederhana (trivial). Di sinilah orang
sering melupakan, malah mengabaikan peranan dan pentingnya
memahami benar praanggapan dari setiap ramalan.
**
Saya tidak mengatakan bahwa ramalan jangka panjang tentang
jumlah penduduk tidak ada gunanya. Cuma orang sering melupakan
pesan lebih penting di balik angka ajaib itu. Angka-angka hasil
ramalan jumlah penduduk dengan segala pembatasannya seyogyanya
digunakan lebih lanjut, untuk dikembalikan guna menyusun
skenario tentang citra besaranbesaran lain yang dipengaruhi oleh
jumlah penduduk itu. Misalnya tentang kondisi lingkungan
permukiman, kebutuhan lapangan kerja, pertumbuhan kota corak
sosial ekonomi masyarakat dll. Lazimnya "skenario" disusun
bersama-sama, mencakup kemungkinan yang dapat dibayangkan dari
yang "paling buruk" sampai yang "paling baik".
Sulitnya sejumlah besar besaran yang digunakan melengkapi
skenario itu tidak hanya sulit diterka perkembangannya tetapi
juga bersifat kwalitatif.
**
Statistik demografi umumnya hanya berani membuat ramalan
kependudukan untuk kawasan yang "tertutup". Artinya besaran
migrasi dianggap dapat diabaikan. Soalnya besaran kelahiran dan
kematian dirasakan lebih aman untuk ditaksir atas dasar nilainya
di masa lampau. Sedang perpindahan sangat dipengaruhi banyak
faktor sehingga sulit diterka. Praanggapan sulit ditegakkan
untuk besaran migrasi, karena cenderung tidak kokoh untuk dapat
dipedomani.
Tetapi buat Jakarta, tidak ada manfaatnya menyusun ramalan
penduduk hanya atas dasar besaran lahir dan mati. Karena migrasi
pengaruhnya lebih besar dari perkembangan alamiah (lahir
dikurangi mati). Karena itu betapapun goyahnya praanggapan,
ramalan untuk Jakarta harus memperhitungkan unsur migrasi.
Berlainan dengan besaran lahir dan mati, yang hanya bergerak
pada skala yang sangat terbatas, migrasi secara teoritis
bergerak dari nilai yang jauh lebih longgar dan tidak menentu
polanya.
S.G. Mamas misalnya, adalah salah satu ahli yang pernah mencoba
menyusun proyeksi penduduk Jakarta tahun 1971-1991 dengan metode
transisi demografi secara bertanggung jawab. Ia kembangkan tiga
skenario, masing-masing disebut skenario proyeksi "rendah",
"menengah" dan "tinggi". Sebutan skenario itu menunjukkan sifat
taksiran atau proyeksi, menurut urutan-urutan dari yang
"serendah-rendahnya" sampai yang dianggap "setinggi-tingginya".
Sifat proyeksi ini didasarkan atas praanggapan tentang perilaku
besaran lahir, mati dan migrasi. Sedang patokan dasar untuk
menghitung nilai itu adalah hasil Sensus Penduduk 1971 dan
Sensus Penduduk 1961 serta survey-survey lainnya. Tetapi toh
hasilnya kurang memuaskan, seperti telah ia duga sebelumnya.
Silakan dinilai, inilah ringkasan hasil proyeksi penduduk DKI
Jakarta untuk kurun waktu 1971 -1991 (dalam ribuan).
Tetapi apakah arti angka-angka di atas, bila citra DKI Jakarta
saat itu nanti juga sudah berkembang dan berobah sama sekali.
Ambillah pola permukimannya. Barangkali pola conurbation
Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi saat itu sudah menjadi kenyataan,
lepas dari cocok tidaknya dengan rencana. Karena perobahan pola
metropolitan yang baru itu, lingkungan-lingkungan pemukiman pun
akan berkembang, mengikuti sistim kota induk dan kota anak dari
Metropolitan JABOTABEK. Batas administratif yang sekarang
digunakan referensi dalam memproyeksikan penduduk Jakarta
menjadi tidak relevan lagi. Perkembangan dan dinamika penduduk
perlu dilihat dalam kerangka kawasan yang lebih luas, meliputi
semua kawasan sekitar yang menjadi kota urbanized area).
Tambahan penduduk di pusat kota yang mulai kegerahan karena
kepadatan, akan meluber (overfill) ke daerah sekitar keluar
dari batas administratif Jakarta, baik karena memang
direncanakan demikian atau sebagai proses logis dari dinamika
pertumbuhan kota itu.
Bila demikian adanya, apa gunanya angka proyeksi penduduk atas?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini