MASYARAKAT Osing, demikian sebutan untuk penduduk asli
Banyuwangi, memiliki kebolehan khusus. Menyumpit. Bahannya cukup
sederhana. Bambu langsing kecil, yang mempunyai ruas
panjang-panjang. Didiamkan sementara agar kering, buku-buku
bambu kemudian dihilangkan dengan cara memasukkan besi panjang
ke dalam tubuh bambu. Ujung sumpit biasanya diukir. Sumpit bisa
pula dibuat secara bersambung, dengan memasukkan bambu yang
lebih kecil diameternya ke dalam dua bambu yang lebih besar,
sampai mencapai kepanjangan sekitar dua-tiga meter. Model
terakhir ini lebih praktis, karena bagai senapan tembak ampuh,
dia bisa dicopot dan dipasang lagi.
Bajing Locat
Sebagai peluru, diambil bambu yang diraut demikian tipis dan
tajam. Bambu yang menyerupai paser (jangka) itu panjangnya
sekitar 40 cm, dan pada badan peluru dibuat ukiran sederhana. Di
pangkal yang tidak tajam, ada hiasan dari kapok. Peluru-peluru
sumpit ini biasanya dimasukkan ke dalam satu wadah yang bisa
dibawa ke mana-mana dan diletakkan di pinggang.
Seorang pemuda Osing, dengan gaya pemburu, biasanya menyandang
sumpit ini dan menuju kebun kelapa. Sarung dililitkan di
pinggang, topi, kiso (keranjang anyaman daun mendong, yakni
sejenis rumput, atau daun nyiur) menemani tabung peluru. Dan
berangkatlah ia dengan gagahnya. Binatang buruan bukan babi atau
celeng atau yang lebih besar dari kambing. Tapi yang cuma
segenggaman tangan manusia, yang punya buntut panjang indah:
tupai alias bajing. Bajing-bajing ini memang bajingan. Mereka
tidak melata di tanah, tapi hinggap dari pohon kelapa yang satu
ke yang lain dengan lincah - dan makan kelapa setengah tua yang
merupakan kekayaan si pemilik pohon. Maka sumpitlah salah satu
cara paling bagus untuk memusnahkan si bajingan. Pemburu bajing
biasanya tidak mencari tupai yang sedang duduk-duduk sembari
sightseeing. Tapi bajing loncat atau yang lari -- karena tidak
terlindung.
Tenaga Dalam
Biasanya dilempar sebuah batu dari bawah. Bajing terkejut, lari.
Sumpit, yang panjangnya sekitar dua-tiga meter, dibidikkan ke
ketinggian pohon kelapa yang rata-rata di atas 20 meter, dengan
pangkalnya dikulum di mulut. Bisa dibayangkan berapa besar
"tenaga dalam" si penyumpit untuk melontarkan peluru di dalam
bambu ke ketinggian tersebut. Sumpitan yang tepat, kontan
membuat bajing terhempas, menggelepar. Bajing dipungut,
dimasukkan ke dalam kiso. Orang Banyuwangi sebagian makan
dagingnya, sebagian tidak. Yang makan bilang, daging bajing ini
sungguh assoi.
Penyumpit-penyumpit yang ampuh konon datang dari desa Kabat,
Alian Pendaringan, Buyulangin dan Banjarsari. Mereka percaya
bahwa merekalah orang Osing asli, masyarakat yang masih percaya
magi dan hidup dengan banyak tabu. Kepintaran ini didapat mereka
dari nenek moyang tentunya.
Konon, penduduk Osing adalah keturunan Menakjinggo, yang
berontak terhadap Majapahit, kemudian menetap di sudut bawah
pulau Jawa, Blambangan. Berkat besi kuning - senjata sang Menak
- dan sumpit inilah, ceritanya Blambangan bisa mempertahankan
diri dari serangan Majapahit. Zaman dulu peluru sumpit biasanya
dioles racun. Menyumpit orang tentu saja lebih mudah dari
menyumpit bajing. Hanya saja orang itu 'kan besar, matinya
susah.
Melihat bab persumpitan yang unik ini, Pemerintah Daerah lantas
mendapat akal. Ini cara bagus untuk menturiskan kepintaran
mereka -- nah. Itu lagi. Maka pada hari besar tertentu sudah
pasti ada acara menyumpit. Sekalian memberantas hama kelapa,
areal buruan pun cukup luas. Maklum menurut sensus ada sekitar 3
juta pohon kelapa di sini. Mau belajar nyumpit?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini