Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bulu-Bulu Kandar

Cak Kandar mengadakan pameran lukisan di Hotel Sahid Jaya. Lebih mirip kerajinan, karena menggunakan bulu-bulu burung yang ditempel pada lukisannya. Pengawetan dilakukan dengan penyemprotan obat anti hama.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pendapa lobi hotel Sahid Jaya. Jakarta, berkata pelukis itu: "Sebenarnya saya juga ingin melukis kucing dengan bulu aslinya. Tapi membunuhnya tak berani. Sebab kepercayaan Jawa terhadap kucing tinggi sekali". Akhirnya ia menampilkan wajah kucing dengan meminjam bulu-bulu burung. Sebagaimana juga ia melukis macan dengan material yang sama. Ini merupakan perkecualian-perkecualian dari tekadnya semula untuk melukis margasatwa, khususnya burung, dengan bulu-bulu asli. Tak kurang dari 31 buah lukisan bulu burung terpampang di pendapa tersebut tanggal 6 - 13 Pebruari ini. Semuanya merupakan buah pencarian Cak Kandar selama 7 tahun menempel-nempel bulu pada kanvas. Lelaki berkumis, yang lahir tepat pada tanggal 17 Agustus 1948 ini, bermula hanya seorang pelukis biasa yang banyak bergaul dengan seniman-seniman di AKSERA (Akademi Seni Rupa Surabaya). Tapi sejak dikeluarkannya Undang-Undang Perlindungan Margasatwa, ia sibuk mengumpulkan bulu-bulu dan mencoba menampilkan kehidupan makhluk bersayap tersebut. Hampir sama dengan yang dilakukan pelukis bulu ayam dari Sala yang bernama Tom Harry. Bedanya: Tom lebih cenderung pada potret wajah. Lagi pula menurut Kandar, di samping meniru burung dengan bulu aslinya, anak Surabaya ini juga sangat memperhitungkan awetnya lukisan dengan cara menyemprotkan obat anti hama pada material. Juga memberinya lapisan kimia pada lukisan yang telah jadi tanpa mempengaruhi warna asli. Cia Sekelebatan saja, terasa apa yang dilakukan Kandar lebih merupakan kerajinan daripada lukisan. Bukan karena material yang dipergunakannya. Juga bukan karena proses menempel yang lebih mengesankan hal-hal teknis. Tetapi karena yang terpancar dari buah tangannya sifatnya lebih menggambarkan ilustrasi, pajangan, hiasan dinding. Belum melantunkan emosi, imajinasi atau keharuan lain lebih dari sekedar peniruan bentuk. Proporsi, komposisi, tarikan garis, terlihat kadangkala mengalami penyederhanaan. Bukan karena kesengajaan, tetapi oleh keterbatasan material. Ini problim teknis. Kalau sesuatu karya masih bergulat dalam pemapanan dengan soal-soal teknis, memang wajar belum sempat menyabet segi-segi lain. Pada gambar Raja Rimba misalnya, yang menampakkan seekor macan, kita merasakan kesan lugu, akrab, semacam hasrat menggauli kehidupan margasatwa itu dengan pendekatan yang dilakukan oleh dongeng sebelum tidur mereka misalnya mampu berbicara sebagaimana manusia. Dalam gambar Raja Angkasa kita melihat sejumlah burung terbang di langit luas, melantunkan semacam semangat kemerdekaan dari dunia yang liar dan jauh. Dalam Dua Sejoli, peranan komposisi sangat menonjol. Tampak dahan-dahan pohon jatuh dari belahan bingkai atas lalu dua ekor burung bergelantungan. Ini seperti puisi-puisi yang kita jumpai pada lukisan-lukisan Cina. Barangkali kalau Kandar menggencarkan diri menangkap puisi-puisi kecil itu - di samping keinginan menampilkan "seni bulu burung" - gambar-gambarnya akan berarti lain. Kekuatannya dalam gambar bentuk sebetulnya telah tercermin dari Sabung Ayam. Di sana bentuk dan komposisi pas, kendati objek tersebut sudah sangat klise. Ini berbeda sekali dengan gambar-gambar yang lebih besar seperti Merak, yang berharga sampai Rp 400 ribu, yang jelas diarahkan kepada mereka yang mencari sesuatu untuk penghias dinding. Anehnya buah tangan yang memakan kerja 21 hari ini dipuji sendiri oleh Kandar sebagai karya favoritnya. Reog "Saya heran, seingat saya sudah 3 kali ini burung hantu selalu laku paling dulu. Padahal burungnya sendiri tidak dipelihara", kata Kandar. Ketika ditanya apa dia sering melukis sebuah objek berulang kali, ia cepat menjawab: "Tidak". Kita agak berkepentingan untuk mengusut, sampai seberapa jauh sebenarnya usaha Kandar dalam "berkarya", di samping bagaimana proses terjadinya setiap gambar. Menurutkan selera pasaran, berdasar persediaan bulu-bulu, atau mengikutkan keinginannya untuk mensukseskan peraturan perlindungan margasatwa? Kandar mengaku memperoleh bulu-bulu dari Sumatera, Kalimantan, Irian. Kalau perlu ia membeli sebuah "reog" untuk mendapat bulu-bulu merak. Kalau perlu lagi, ia mengumpulkan bulu kepalanya sendiri - untuk sebuah gambar muka dengan rambut asli. Gambar ini rupanya telah tergaet oleh seorang kolektor dari Jepang. Kalau toh pancaran karya Kandar nanti bisa setanding dengan pancaran karya yang disebut lukisan - sehingga kita tidak menggubris lagi soal proses atau material yang dipergunakan - itulah saatnya lukisan bulu tidak perlu lagi menderita rasa rendah diri karena dianggap kerajinan. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus