Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERI televisi Midnight Diner dibuka dengan kegiatan rutin Master, pemilik dan tukang masak di kedai itu, sebelum tengah malam: mengupas lobak, mengiris-irisnya, menumis lembar-lembar daging babi, memasukkan potongan sayur dan kaldu, mencairkan ekstrak miso, membersihkan meja, memasang noren, dan menyalakan lampion bertulisan “Meshiya”. Tepat pukul 12 malam ia membuka kedai, yang baru tutup pukul 7 pagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shinjuku saat malam adalah nadi Tokyo yang mendenyutkan cahaya, juga kehidupan. Di jalan-jalan, papan neon “meneriakkan” nama restoran, bar, toko, tempat hiburan malam. Ribuan orang pulang kerja, berangkat kerja, sekadar mencari kesenangan atau penghidupan, mencari teman atau kesendirian di tengah keriuhan. Di permukaan jalan, mereka berseliweran saling-silang dengan mobil, taksi, sepeda motor, sepeda angin. Sesekali kereta lewat, seperti ular perak di antara menara-menara reklame. Semua bergerak cepat. Deras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berada di Hanazono, gang remang-remang di Shinjuku, kedai Meshiya kecil saja, hanya muat 12 orang, dengan bentuk meja U dari kayu, dapur di belakang, dan ruang saji untuk 1-2 orang. Masa lalu yang panjang terekam dalam warna gelap perabot, dinding-dinding kusam, dan benda-benda dekorasi ruang. Selain bersedia memasakkan apa pun permintaan pelanggan—asalkan tidak terlalu sulit—Master punya aturan lain: tiap pembeli hanya boleh memesan maksimal tiga botol bir atau sake (kecuali di malam tahun baru). Juga: semua pertengkaran harus diselesaikan di luar kedai.
Pelanggan kedai beragam: pekerja kantoran, anggota yakuza, polisi, penari telanjang, aktor film porno, pelacur, penulis, pembuat film, pelatih baseball, bekas penyanyi, tukang cukur, tukang sayur. Semua rukun; hanya sesekali terjadi konflik antarkarakter saat berada di dalam restoran.
Dalam tiap episode, makanan adalah kunci pembuka cerita. Tiap pelanggan punya satu makanan spesial yang mereka pesan tiap kali datang. Tiap makanan itu membawa himpunan pengalaman dan perasaan dari masa lalu, yang kembali mengingatkan bahwa mereka punya relasi unik dan berarti dengan orang lain.
Setiap episode membahas drama yang berfokus pada pelanggan tertentu. Master, meski pendiam, biasanya memberikan bantuan dan nasihat. Plotnya menawarkan pelajaran filosofis kehidupan sebagai bagian dari cerita, baik yang sederhana maupun rumit. Kisah-kisahnya cenderung ringan, ada pula yang dramatis dengan resolusi melankolis.
Seperti kisah pentolan yakuza, Ryu, yang tiap kali datang ke Meshiya selalu diiringi Gen, sidekick-nya, dan selalu memesan sosis wiener yang digoreng dan disajikan berbentuk gurita. Di episode berikutnya, kita tahu sosok Ryu yang dingin, minim kata, dan selalu berkacamata hitam itu punya kenangan pada sosis gurita itu.
Di masa mudanya, ketika menjadi anggota grup baseball, Ryu jatuh cinta kepada pelatihnya. Sosis gurita adalah makanan yang disajikan pelatih itu. Sebuah realitas yang ironis dari masa lalu yang inosens dan masa kini yang kelam.
•••
ELAHEH Nozari menulis di Medium edisi 4 Februari 2017 seperti ini:
Haruki Murakami selalu menghadirkan makanan dan proses memasaknya dalam novel. Ia tahu terkadang kita makan untuk mengisi void, kekosongan jiwa. Dalam cerita pendek “The Second Bakery Attack”, sepasang pengantin baru terbangun di tengah malam kelaparan. Mereka baru menikah dua pekan, belum merasa nyaman satu sama lain. Setelah tidak berhasil mencari makanan di dapur, mereka pergi ke McDonald's. Bukan memesan, melainkan merampok. Mereka mengambil 30 Big Mac: suami makan enam, istri makan empat. Begitu rasa lapar hilang, mereka merasa lebih dekat satu sama lain.
Bagi Haruki Murakami, makanan juga cerminan diri. Kamu adalah apa yang kamu makan. Pada 1Q84, janda kaya, tokoh cerita berusia 70, hanya mengkonsumsi bahan-bahan alami dan makan siang ala Prancis seperti “asparagus putih rebus, salad Niçoise, dan telur dadar daging kepiting”. Dia makan dalam porsi kecil dan meminum tehnya “seperti peri di tengah hutan yang menghirup embun pagi yang memberi kehidupan”. Dari pola makan dan tata kramanya, kita tahu ia hanya dibesarkan secara beradab, juga tercerahkan.
Murakami memakai makanan untuk menyampaikan perasaan universal seperti kenyamanan, cinta, persahabatan, kemandirian. Toru, protagonis Norwegian Wood, mengamati mentimun saat makan. “Rasanya enak kalau makanannya enak,” katanya. Toru bisa menemukan kepuasan dalam hal paling sederhana: kita bisa makan mentimun tanpa mencicipinya, atau kita bisa hidup dan menghargai rasa menyegarkan yang tersembunyi di balik kulit pahitnya. Kita tidak makan hanya untuk bertahan hidup, kita makan untuk mengalami hidup.
•••
MESKI ringan dan sederhana, Midnight Diner menyentuh sesuatu yang mendalam dan universal dari kehidupan modern. Kota yang bergegas telah mengalienasi manusia. Tokyo, megapolitan itu, seperti laut dengan gelombang besar yang menggeret dan mengombang-ambingkan. Midnight Diner seperti sekoci kecil untuk bertahan tidak tenggelam.
Master bukan hanya seorang penyendiri misterius yang tidak punya sejarah. Para pelanggannya juga orang-orang yang sendiri, terasing dan kesepian. Seperti yang dikatakan Marcel Proust seabad lalu, tidak ada yang lebih memicu ingatan selain makanan. Apa yang kita cicipi sesungguhnya adalah perasaan yang timbul karena makanan itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Koreksi 7 Juli 2024 penambahan satu kalimat setelah tanda bintang babak pertama