Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Makna di Balik Simbol

Orang dan partai politik sudah lazim menggunakan simbol. Kesetaraan antara makna dan simbol menjadi penting.

7 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG-ORANG senang menggunakan simbol, baik dalam percakapan maupun tulisan. Simbol digunakan sebagai lambang partai politik, organisasi, atau komunitas untuk menampung tujuan, cita-cita, atau sekadar semangat bersama. Simbol lebih banyak digunakan dalam peribahasa, unen-unen (peribahasa), puisi, dongeng, legenda, mitos, dan beragam bentuk folklor lain. Di samping sifatnya yang tidak langsung menggurui, simbol juga estetis dan luwes sehingga bisa masuk ke banyak ranah budaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benda-benda yang dipakai dalam penyimbolan memiliki banyak kesamaan dengan tafsirannya, baik dalam sifat, manfaat, tingkah laku, maupun fisik. Komposisi (tulisan) dan konteks juga jadi kunci. Folklor memakai ciri khusus pada simbol sebagai kekhasannya. Itulah sebabnya tak semua ungkapan yang memakai simbol lantas bisa dikategorikan sebagai folklor. Dalam pendapat Alan Dundes, meskipun ungkapan tradisional (jenis folklor) sukar didefinisikan secara spesifik, mereka memiliki kekhasan dan ciri tersendiri (James Danandjaja, 1984).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Seperti katak yang congkak” adalah contoh folklor, sementara “seperti kodok yang sombong” bukan. Meski komposisinya mirip, ungkapan pertama telah memiliki riwayat lama dalam tradisi lisan masyarakat kita. Ia telah memiliki konteks dan penafsirannya tersendiri. Walaupun kemudian dibuat ungkapan baru yang mirip, kelekatan ungkapan yang lama menjadi kelebihannya.

Di ranah budaya Jawa, simbol tertentu tak bisa diganti dengan simbol lain, walaupun penggantinya memiliki kedekatan dan kemiripan. Kerbau dalam ungkapan “aja cedhak kebo gupak” (jangan berdekatan dengan kerbau kotor) tak akan bisa diganti dengan banteng apalagi badak. Kerbau adalah perlambang orang bodoh yang selalu berkubang dalam kesalahan sehingga perlu dihindari.

Ada banyak orang yang mencoba memanfaatkan simbol dalam aktivitas berbahasa, dari motivator, sastrawan, pedakwah, guru, hingga warganet, yang sekadar ingin menulis status menarik di beranda akun media sosialnya. Namun penggunaannya kadang meleset. Ada seorang penulis yang menulis sebuah kata mutiara di status akun media sosialnya: “Kehebatan seseorang bukan terletak pada apa yang dia miliki, tetapi pada apa yang dia berikan. Seperti matahari yang memiliki api, dia menyinari semesta dengan cahayanya.”

Kita paham dengan maksud kalimat megah tersebut. Tapi membandingkan, apalagi menyamakan, kehebatan manusia dalam memberi dengan matahari adalah kenaifan. Ketidaksetaraan antara makna dan simbol yang dipilih menyebabkan logikanya cacat.

Anda mungkin masih ingat penyebab Cak Gondo Durasim, pelawak ludruk Jawa Timuran, ditangkap dan disiksa hingga meninggal oleh penjajah Jepang. Itu terjadi lantaran dia menyelipkan parikan “pagupon omahe dara, urip di bawah Nippon marakke sengsara” (Pagupon rumahnya merpati. Hidup di bawah Jepang menjadikan sengsara) dalam lawakannya. Sengsara adalah simbol kebohongan Jepang sekaligus ajakan kepada masyarakat untuk memilih kemerdekaan.

Anda mungkin juga ingat dengan ungkapan “merpati tak pernah ingkar janji”. Ungkapan ini tidak berangkat dari kekosongan budaya. Banyak kisah heroik tentang kesetiaan dan keberanian burung ini, baik di kancah perang maupun tugas komunikasi lain. Dua merpati yang terkenal dan abadi adalah Cher Ami, yang menyelamatkan hampir 200 prajurit dalam Perang Dunia I, dan Letnan Anumerta, yang meski sayapnya tertembus peluru hingga leher masih mampu membawa pesan hingga ke markas pejuang kemerdekaan RI di Surabaya. Maka tak mengherankan jika PT Pos Indonesia tertarik mengambil merpati sebagai simbol etos kerjanya.

Tapi, tentu saja, tidak seratus persen simbol itu lantas bisa kita percaya. Buaya darat, yang sering digunakan sebagai simbol lelaki hidung belang, pada kenyataannya lebih setia terhadap betinanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Simbol"

Nur Hadi

Nur Hadi

Penulis cerita pendek dan puisi. Aktif di Akademi Menulis Jepara

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus