Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah seharusnya tak hanya meminta Dewan Perwakilan Rakyat menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila. Pemerintah semestinya meminta DPR menghentikan pembahasan rancangan undang-undang yang tak mewakili kepentingan seluruh masyarakat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak masuk Program Legislasi Nasional 2020, rancangan undang-undang yang diusung Fraksi PDI Perjuangan itu menuai penolakan dari sejumlah kalangan. Alasannya beragam. Ada yang menganggap rancangan tersebut tidak jelas urgensinya. Ada yang menyebutnya terlalu sekuler. Ada pula yang menentang karena dihantui fobia komunisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang memantik penolakan antara lain ayat 2 dan 3 Pasal 7 RUU Haluan Ideologi Pancasila. Ayat 2 memeras lima dasar negara (Pancasila) menjadi tiga prinsip (trisila), yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Lalu, ayat 3 memeras trisila menjadi satu dasar (ekasila), yakni gotong-royong. Klausul ini tak hanya mengingatkan orang akan pidato Sukarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945. Poin ini juga menjadi peluru bagi barisan penolak untuk menyebut RUU ini sebagai upaya mendegradasi Pancasila.
Pengurus Pusat Muhammadiyah, misalnya, menolak dengan argumen bahwa materi RUU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang bagian pembukaannya memuat lengkap lima dasar negara. Adapun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyebutkan RUU Haluan Ideologi Pancasila merupakan "bara panas" yang bisa terus membakar situasi.
Sepintas argumen pengusung RUU ini memang terkesan luhur, yakni untuk menguatkan ideologi negara. Mereka juga beralasan pemahaman atas ideologi Pancasila perlu diperkuat untuk membendung gejala intoleransi yang kian kuat di negeri ini. Masalahnya, jika ditelaah lebih dalam, RUU yang terdiri atas 60 pasal ini malah seperti memonopoli penafsiran atas Pancasila. Di dalamnya, antara lain, terdapat pengertian dan ciri manusia Pancasila, masyarakat Pancasila, demokrasi politik Pancasila, dan demokrasi ekonomi Pancasila.
Penjabaran tekstual seperti itu segera mengingatkan kita akan rezim Orde Baru, yang memaksakan tafsir tunggal pemerintah atas Pancasila. Pemerintahan Soeharto mewajibkan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di semua sekolah, perguruan tinggi, dan lembaga pemerintah. Dalam pelaksanaannya, penataran itu lebih mirip indoktrinasi ketimbang diskusi terbuka tentang dasar negara. Jadilah Ekaprasetya Pancakarsa-nama lain P4-sebagai alat propaganda untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun.
Pancasila, sebagai kesepakatan para pendiri bangsa, merupakan kompromi paling realistis untuk mengakomodasi keragaman aliran politik dan keyakinan di Indonesia. Kesepakatan serupa rasanya sulit dicapai oleh para politikus sekarang yang umumnya menempatkan urusan bangsa di urutan nomor sekian, jauh di bawah hasrat pribadi ataupun kepentingan elektoral. Partai dan pemerintah yang berkuasa saat ini jelas tak punya mandat yang sah untuk memonopoli penafsiran atas kesepakatan para pendiri bangsa tersebut. Apalagi jika di balik monopoli itu juga ada hasrat untuk menyingkirkan lawan politik demi melanggengkan kekuasaan.
Karena itu, pemerintah Joko Widodo seharusnya menolak tegas-tak hanya menunda-pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila, yang rawan memicu perpecahan politik.