KETEGANGAN itu indah," demikian tulis Anand Krishna dalam Seni Memberdaya Diri. Sebab, kata Anand dalam buku itu, "Kita tidak akan pernah kenal relaksasi tanpa ketegangan." Tapi entah bagaimana membayangkan indahnya ketegangan saat mengejar bus kota di tengah kemacetan Jakarta, menghidupi tujuh anak sembari menganggur, atau menyiasati perampok yang menempelkan parang di jendela mobil—sebagian kecil dari ketegangan yang rutin dalam masyarakat urban model Jakarta.
Tapi, ini dia, Anand datang lagi dengan sebuah rahasia: kenali dulu anatomi ketegangan sebelum merasakan nikmatnya. Ini rumus yang kerap dilontarkannya dalam berbagai ceramah. Anand tidak sedang menjual kecap. Yang dijualnya adalah buku yang di dalamnya tersisip janji yang bisa membuat hati nan rusuh menjadi mudah terpikat: dari relaksasi fisik hingga pencerahan jiwa.
Ngomong-ngomong, siapakah Anand? Seorang Deepak Chopra ala Indonesia? Ia menulis dengan kecepatan hebat. Bayangkan, 21 buku sejak 1992, sementara dua judul baru segera meluncur ke pasar. Dan ia membuat penerbit setuju mencetak ulang buku-bukunya. Tapi, yang lebih hebat, Anand tak punya pengalaman menulis. Yang dimiliki ayah dua anak ini adalah pengalaman menjual garmen dan berceramah meditasi. Ini sumber produktivitasnya mula-mula. Lima buku pertamanya—termasuk Seni Memberdaya Diri—adalah hasil ceramah meditasi yang kebetulan direkam murid-muridnya.
Cara Anand menulis agaknya juga menunjang produktivitas: tanpa kerangka dan tanpa persiapan bertele-tele. Dia hanya perlu sekitar lima jam sehari dan sebuah komputer untuk membuat murid-muridnya berbahagia. Lalu, walau tanpa simsalabim, jadilah sekian puluh judul buku dalam waktu tujuh tahun lebih. Di beberapa toko buku besar di Jakarta, kita bisa menemukan karya-karyanya, seperti Tao Teh Ching, Meditasi dan Reiki, Baghavad Gita bagi Orang Modern, dan Telaga Pencerahan di Tengah Gurun Kehidupan, yang isinya kira-kira tips relaksasi bagi orang di kota besar yang dilanda ketegangan dan kerusuhan hati.
Tadinya, Anand Krishna, 44 tahun, jauh dari dunia tulis-menulis dan meditasi. Pada 1991, penyakit kanker darah menyerangnya. Dokter memvonisnya mati. Ia kemudian sembuh melalui meditasi. Menurut Anand, itulah titik balik hidupnya: dari urusan kain dan benang, ia membuka pedepokan meditasi dan menuliskan seluruh pengalaman penyembuhannya. Buku-buku Anand memperoleh sambutan, laris manis, meski belum masuk daftar buku terlaris. Wandi S. Brata, Manajer Produksi PT Gramedia Pustaka Utama, mengatakan ukuran terlaris untuk jenis buku semacam ini adalah 1.000 eksemplar per bulan. Sedangkan buku Anand bergerak dari angka 201 (Telaga Pencerahan) hingga 670 (Meditasi dan Reiki). Wandi mengaku, pihak Gramedia mempunyai alasan tersendiri menerbitkan tulisan Anand.
Buku-buku ini membawa semacam misi lintas agama. Pertimbangan lain adalah soal pasar. Ketika bekas pengusaha ini membawa naskahnya ke Gramedia pada November 1997, penerbit itu serta-merta menghitung. Sampai saat ini, murid yang berlatih di Pusat Kesehatan Holistik dan Meditasi Anand Ashram pimpinan Anand Khrisna sudah sekitar 5.000 orang. Jika separuh saja dari mereka membeli buku-buku ini, sekitar 2.000 eksemplar akan terjual.
Perhitungan Wandi tidak terlalu meleset. Mulkan Aksan, 49 tahun, Manajer Umum PT Indotruck Utama, misalnya, membelinya karena ingin mempraktekkan meditasi di dalam zikir dan salat agar lebih khusyuk beribadah. Buku-buku Anand juga menjadi semacam "kata pengantar" untuk latihan meditasi. Setiawan, dokter ahli bedah otak, mengaku bahwa ia mengenal kegiatan meditasi melalui buku-buku Anand.
Memang tidak semua pembaca membeli dengan alasan hebat. Ada yang sekadar iseng. "Judul-judulnya menarik. Tapi, setelah dibaca, kok makin mumet, ya," ujar Daniel, 46 tahun, guru SMP di kawasan Bekasi, kepada TEMPO. Ada juga yang membaca untuk "melarikan diri" dari keadaan tertekan, seperti yang dilakukan Ratna, 22 tahun, calon dokter gigi dari Kedoya, Jakarta Barat. Ia frustrasi menghadapi perceraian orang tuanya.
Drajat S. Soemitro, psikolog sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah muak dengan segala kebusukan, tindakan penjarahan, pembunuhan, dan korupsi. Akibatnya, ada kesenjangan antara sisi moral yang diyakininya dan perilaku sehari-hari. Mereka kemudian berusaha menemukan diri kembali melalui pendekatan meditasi, baik berlatih maupun membaca—seperti yang ditawarkan Anand di pedepokannya.
Kepada TEMPO, Anand Krishna mengaku di pedepokan itu ia mengalami hidup lebih indah. Bagaimana tidak? Ia sehat jiwa raga berkat meditasi sembari terus menulis buku yang laris manis.
Hermien Y. Kleden, Mustafa Ismail, Yayi Ichram
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini