Yang sering ditunjuk sebagai bukti kemandulan DPR adalah ketidakmampuannya. Padahal, sekitar 45% anggotanya adalah sarjana (TEMPO, 3 Agustus 1991, Laporan Utama). Rasanya, kurang tepat mengaitkan kesarjanaan anggota DPR dengan mutunya. Semua sepakat bahwa mutu anggota parlemen di dunia ini sangat ditentukan oleh keberanian mereka berbicara untuk menyuarakan aspirasi rakyat dan mengkritik kebijaksanaan pihak eksekutif yang dinilai merugikan rakyat. Bahkan, bila perlu, membatalkan keputusan atau kebijaksanaan itu. Sampai saat ini, saya belum melihat adanya hubungan keberanian seorang anggota DPR/MPR dengan tingkat pendidikannya. Bahkan, tidak sedikit orang yang berpendidikan tinggi justru takut berbicara apa adanya sambil memegang erat-erat kursi jabatannya. Menurut saya, keberanian lebih ditentukan oleh ketidakpedulian seseorang terhadap risiko yang dihadapinya. Tentu saja, intelektualitas seseorang ikut berperan dalam menilai persoalan, tapi apakah itu yang menyebabkan DPR kita kurang gizi? Sebetulnya, TEMPO tak usah bersusah payah mencari penyebab kurangnya mutu DPR/MPR. Hal itu lebih disebabkan oleh adanya peraturan dan perundang-undangan yang dibuat mereka sendiri. Untuk meningkatkan mutu dan peranan DPR/MPR, itu terletak di tangan mereka (anggota DPR) sendiri. Mereka harus mempunyai keinginan untuk menjadi bermutu, yakni dengan jalan menghapus hambatan-hambatan yang pernah mereka buat dulu, sehingga kesan "DPR berdiri sama tinggi dengan eksekutif" bisa terlihat. MPR sebagai lembaga tertinggi negara bisa terasakan. Selama peraturan dan perundang-undangan yang berlaku masih membatasi kesempatan anggota bersuara dengan bebas, selama itu pula mutu hanya merupakan hiasan bibir saja. Meskipun semua anggota DPR/MPR sarjana plus, saya yakin, mutu DPR/MPR kita tetap saja tidak berubah karena perasaan "takut" itu memang tidak ada korelasinya antara sarjana dan bukan. ERIZAL SODIKIN Krugstrasse 30 3400 Goetingen Germany
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini