Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mutu Suginem

Sebenarnya sulit mengukur mutu manusia. tetapi sebagai pegangan sementara, dapat dipakai tingkat kesehatan dan pendidikan. untuk meningkatkan mutu manusia seluruh rakyat harus dicerdaskan.

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI Pandawa dan Kurawa, seperti Rama dan Rawana, begitulah kini mutu dipertentangkan dengan jumlah. Jumlah itu menyangkut manusia sendiri, yang terus menanjak dan tak kunjung berhenti. Pada gilirannya jumlah yang menggunung itu mencekik manusia, merampas kebutuhan pokok dari tangannya, membuat tanahnya merah dan kekurangan sekolah. Teori ekonomi penyanjung jumlah, yang mendewakan pertumbuhan, dipertanyakan yang tidak menghiraukan lingkungan diobrak-abrik. Pedoman pokok: dengan mengekang jumlah akan ditingkatkan mutu. Itulah, strategi meningkatkan martabat manusia dan mengikis kebodohannya. Dielukan dengan panji-panji kuning gemerlapan, terkuak zaman pencerah pikiran, Aufklarung Malthus, Margaret Sanger dan McNamara. Mempertanyakan jumlah ya mudah ya tidak mudah. Mudah karena cuma hitung kepala, hitung berapa jenis Adam berapa jenis Hawa. Tidak mudah sebab ada negeri yang belum mencacah jiwa dan sensus tidak luput dari kekeliruan. Jumlah ummat manusia sebagian hasil terkaan. Di atas segalanya itu memusingkan pula perhitungan yang bakal lahir. Umur penduduk harus dianalisa, digolong-golongkan, supaya dimaklumi berapa yang perlu bidan, yang perlu spiral, yang perlu sekolah, yang perlu pekerjaan. Ini cukup rumit karena orang seperti Bejo dan Supiyah tidak tahu tanggal lahirnya. Bejo tahu dia lahir Sener Pon, adiknya lahir Jemuah (Jumat) Wage. Tapi berapa Senen Pon sudah dilewatinya wallahualam bisawab, tiada orang yang tahu. Tidak diketahui apakah dia lahir pada bulan Rejeb atau Sapar, apakah pada tahun Ehe, Jimawal atau yang lain. Sebab dia tidak berlilin-lilin dan ber-cake memperingati ulang tahun seperti Joni dan Inge di Ibukota. Tidak berkaset. Masih kurang keinsyafanlah. Untunglah tidak perlu khawatir karena para ahli punya cara merapikan umur dan membereskan rupa-rupa persoalan. Ada tekniknya. Bila perlu, bisa didatangkan konsultan. Demi membantu yang termiskin dari yang miskin, hutang yang bernama bantuan bisa diatur. Kalau mau mengukur mutu manusia, serta perkembangan mutu itu, dari manakah bertolak? Mutu ayam negeri atau kambing ras bisa diukur tukang timbang. Mutu yang lebih tinggi ditunjukkan oleh kilo yang lebih tinggi. Atau mutu dagingnya. bagaimaha empuknya, bagaimana merahnya. Manusia? Rumitnya bukan main atau barangkali mustahil. Betul, tinggi dan berat badan bisa dipakai untuk menaksir perkembangan fisik atau menilai kemajuan kesehatan pasien. Namun, bagaimana menimbang mutu manusia sebagai manusia? Bukankah tubuh yang gemuk bisa berisi hati yang kering, tubuh yang montok manis berisi perasaan yang bengis? Apa dari segi ini: adakah ia setia menunaikan tugasnya sebagai manusia adakah ia menyeleweng dari kemanusiaan adakah ia beriman adakah ia berusaha menyempurnakan diri? Itu berbau filsafat dan ahli filsafat bukan tukang hitung angka. Maka zaman kini menuntut angka guna memenuhi target pembangunan di segala bidang. Dibutuhkan indikator-indikator kongkrit. Penunaian tugas kemanusiaan dan keimanan mustahil diukur. Mesjid, gereja, kuil dan perangkat gamelan bisa didata, bisa distatistik, tapi keimanan mustahil dimasukkan tabel dan dibuatkan grafik. Waktu sudah mendesak, pakailah data kongkrit, kata ahli. Bertolaklah dari pendapatan per kapita, akseptor KB, jumlah sepeda motor transistor, televisi, mesin cuci dan penumpang kapal terbang. Untuk indikator mutu manusia--pegangan sementara -- pakailah tingkat kesehatan dan pendidikan. Ukuran itu peka sekali. Rakyat sehat negara kuat. Umur ratarata bertambah panjang. Menyekolahkan berarti mencerdaskan kehidupan bangsa, yang berarti meninggilan martabat bangsa. Untuk meningkatkan mutu manusia, seluruh rakyat harus dicerdaskan melalui sekolah. *** Suginem, kamu sudah lebih 3 tahun pembantu rumah tangga saya. Saya mau tanya beberapa hal. Selaku seoran ibu yang aktip dalam masyarakat, saya ingin kamu maju. Maksud saya bukan mengukur pekerjaanmu karena itu sudah baik. Saya mau mengecek apakah mutumu sudah tambah baik. Tambah baik dari sudut kesehatan dan pendidikan, artinya bertambahnya pengetahuanmu selama di sini. Tentunya kamu belum mengerti maksud saya, tapi tidak apa. Selama bekerja di sini apa kamu tambah sehat? Ya bu, tambah sehat. Dulu sering lemas dan semut-semutan di kaki, sekarang sudah hilang. Tambah gemuk juga. Soalnya makanan cukup di sini. Dari sisa-sisa makanan saja saya boleh kenyang. Nasi tidak perlu dicampur gaplek. Sering nasi tidak habis. Karena itu waktu makan, sering teringat adik saya di desa. Baik. Ada kemajuan. Kebersihanmu bagaimana? Di sini jauh lebih bersih. Di sini lantai tegel, di kampung tanah. Di sini sabun tidak kurang. Air tinggal putar sudah keluar. Malah pakai pasta gigi seharga Rp 250. Ibu saya tidak tahu pasta gigi upahnya sehari cuma Rp 175. Apa pengetahuanmu bertambah? Majalah-majalah wanita selalu dipinjamkan padamu. Beberapa nomor tempo hari saya suruh kamu bawa pulang waktu cuti, supaya orang di desalnu tambah cerdas. Kebodohan harus dihilangkan. Apa banyak kemajuanmu ? Gambar-gambarnya bagus sekali. Ada yang besar-besar carltik-cantik dan warna-warni. Sama dengan tivi: Segala macam ada di situ: sabun, minyak wangi, cat bibir, cat alis, bahan pakaian, minuman, makanan, obat semprot nyamuk dan lalat, semprot badan dan obat ketombe. Macam-macam potongan pakaian bisa ditiru ada potongan pakaian orang hamil yang cantik sekali ada juga potongan pakaian calon haji. Baiklah. upanya kamu sudah hafal iklan. Tapi bagaimana dengan isi bacaan itu? Umpamanya sejarah kemerdekaan yang dimuat di situ, Rengasdengklok, Garuda yang menubruk gunung Sibayak, Bimas, candak klak, undang-undang perkawinan, dan lain-lain. (Suginem tersipu-sipu dan lama baru menjawab.) Tidak saya baca, bu. Lho! Bacaan yang berharga itu tidak kamu baca? Untuk apa itu dipinjamkan padamu? Cuma lihat iklannya thok? Kamu cuma menelan ampasnya, bukan intisarinya. Bagaimana meningkatkan mutumu kalau begini! Maiah merosot dimakan iklan melulu. Mengapa tidak baca, apa kurang waktu? Saya tidak bisa baca, bu. Tidak bisa? Suginem tidak bisa baca? Katamu dulu sampai kelas empat. Gayamu sudah persis kota, pakai lipstik segala. Memang saya sampai kelas empat, tapi tidak pernah baca. Untuk orang kampung bacaan itu mahal sekali. Majalah sampai limaratus perak atau lebih. Bekerja sehali belum tentu dapat tigaratus perak Yang baca koran pun tidak ada di desa. Kemudian ilmunya hilang, tidak bisa baca lagi. Di kampung kami banyak sekali begitu. Waktu majalah itu saya bawa pulang, yang dilihat adik dan tetangga cuma gambarnya. Terserah kalau dikatakan ampas. Lebih dari ampas. Kalau begitu Suginem tidak memerlukan majalah lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus