SEPERTI Pandawa dan Kurawa, seperti Rama dan Rawana, begitulah
kini mutu dipertentangkan dengan jumlah.
Jumlah itu menyangkut manusia sendiri, yang terus menanjak dan
tak kunjung berhenti. Pada gilirannya jumlah yang menggunung itu
mencekik manusia, merampas kebutuhan pokok dari tangannya,
membuat tanahnya merah dan kekurangan sekolah. Teori ekonomi
penyanjung jumlah, yang mendewakan pertumbuhan, dipertanyakan
yang tidak menghiraukan lingkungan diobrak-abrik. Pedoman pokok:
dengan mengekang jumlah akan ditingkatkan mutu. Itulah, strategi
meningkatkan martabat manusia dan mengikis kebodohannya.
Dielukan dengan panji-panji kuning gemerlapan, terkuak zaman
pencerah pikiran, Aufklarung Malthus, Margaret Sanger dan
McNamara.
Mempertanyakan jumlah ya mudah ya tidak mudah. Mudah karena cuma
hitung kepala, hitung berapa jenis Adam berapa jenis Hawa. Tidak
mudah sebab ada negeri yang belum mencacah jiwa dan sensus tidak
luput dari kekeliruan. Jumlah ummat manusia sebagian hasil
terkaan. Di atas segalanya itu memusingkan pula perhitungan yang
bakal lahir.
Umur penduduk harus dianalisa, digolong-golongkan, supaya
dimaklumi berapa yang perlu bidan, yang perlu spiral, yang perlu
sekolah, yang perlu pekerjaan. Ini cukup rumit karena orang
seperti Bejo dan Supiyah tidak tahu tanggal lahirnya. Bejo tahu
dia lahir Sener Pon, adiknya lahir Jemuah (Jumat) Wage. Tapi
berapa Senen Pon sudah dilewatinya wallahualam bisawab, tiada
orang yang tahu. Tidak diketahui apakah dia lahir pada bulan
Rejeb atau Sapar, apakah pada tahun Ehe, Jimawal atau yang lain.
Sebab dia tidak berlilin-lilin dan ber-cake memperingati ulang
tahun seperti Joni dan Inge di Ibukota. Tidak berkaset. Masih
kurang keinsyafanlah.
Untunglah tidak perlu khawatir karena para ahli punya cara
merapikan umur dan membereskan rupa-rupa persoalan. Ada
tekniknya. Bila perlu, bisa didatangkan konsultan. Demi membantu
yang termiskin dari yang miskin, hutang yang bernama bantuan
bisa diatur.
Kalau mau mengukur mutu manusia, serta perkembangan mutu itu,
dari manakah bertolak? Mutu ayam negeri atau kambing ras bisa
diukur tukang timbang. Mutu yang lebih tinggi ditunjukkan oleh
kilo yang lebih tinggi. Atau mutu dagingnya. bagaimaha empuknya,
bagaimana merahnya. Manusia? Rumitnya bukan main atau barangkali
mustahil. Betul, tinggi dan berat badan bisa dipakai untuk
menaksir perkembangan fisik atau menilai kemajuan kesehatan
pasien. Namun, bagaimana menimbang mutu manusia sebagai manusia?
Bukankah tubuh yang gemuk bisa berisi hati yang kering, tubuh
yang montok manis berisi perasaan yang bengis? Apa dari segi
ini: adakah ia setia menunaikan tugasnya sebagai manusia adakah
ia menyeleweng dari kemanusiaan adakah ia beriman adakah ia
berusaha menyempurnakan diri?
Itu berbau filsafat dan ahli filsafat bukan tukang hitung angka.
Maka zaman kini menuntut angka guna memenuhi target pembangunan
di segala bidang. Dibutuhkan indikator-indikator kongkrit.
Penunaian tugas kemanusiaan dan keimanan mustahil diukur.
Mesjid, gereja, kuil dan perangkat gamelan bisa didata, bisa
distatistik, tapi keimanan mustahil dimasukkan tabel dan
dibuatkan grafik.
Waktu sudah mendesak, pakailah data kongkrit, kata ahli.
Bertolaklah dari pendapatan per kapita, akseptor KB, jumlah
sepeda motor transistor, televisi, mesin cuci dan penumpang
kapal terbang. Untuk indikator mutu manusia--pegangan sementara
-- pakailah tingkat kesehatan dan pendidikan. Ukuran itu peka
sekali. Rakyat sehat negara kuat. Umur ratarata bertambah
panjang. Menyekolahkan berarti mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang berarti meninggilan martabat bangsa. Untuk meningkatkan
mutu manusia, seluruh rakyat harus dicerdaskan melalui sekolah.
***
Suginem, kamu sudah lebih 3 tahun pembantu rumah tangga saya.
Saya mau tanya beberapa hal. Selaku seoran ibu yang aktip dalam
masyarakat, saya ingin kamu maju. Maksud saya bukan mengukur
pekerjaanmu karena itu sudah baik. Saya mau mengecek apakah
mutumu sudah tambah baik. Tambah baik dari sudut kesehatan dan
pendidikan, artinya bertambahnya pengetahuanmu selama di sini.
Tentunya kamu belum mengerti maksud saya, tapi tidak apa. Selama
bekerja di sini apa kamu tambah sehat?
Ya bu, tambah sehat. Dulu sering lemas dan semut-semutan di
kaki, sekarang sudah hilang. Tambah gemuk juga. Soalnya makanan
cukup di sini. Dari sisa-sisa makanan saja saya boleh kenyang.
Nasi tidak perlu dicampur gaplek. Sering nasi tidak habis.
Karena itu waktu makan, sering teringat adik saya di desa.
Baik. Ada kemajuan. Kebersihanmu bagaimana?
Di sini jauh lebih bersih. Di sini lantai tegel, di kampung
tanah. Di sini sabun tidak kurang. Air tinggal putar sudah
keluar. Malah pakai pasta gigi seharga Rp 250. Ibu saya tidak
tahu pasta gigi upahnya sehari cuma Rp 175.
Apa pengetahuanmu bertambah? Majalah-majalah wanita selalu
dipinjamkan padamu. Beberapa nomor tempo hari saya suruh kamu
bawa pulang waktu cuti, supaya orang di desalnu tambah cerdas.
Kebodohan harus dihilangkan. Apa banyak kemajuanmu ?
Gambar-gambarnya bagus sekali. Ada yang besar-besar
carltik-cantik dan warna-warni. Sama dengan tivi: Segala macam
ada di situ: sabun, minyak wangi, cat bibir, cat alis, bahan
pakaian, minuman, makanan, obat semprot nyamuk dan lalat,
semprot badan dan obat ketombe. Macam-macam potongan pakaian
bisa ditiru ada potongan pakaian orang hamil yang cantik
sekali ada juga potongan pakaian calon haji.
Baiklah. upanya kamu sudah hafal iklan. Tapi bagaimana dengan
isi bacaan itu? Umpamanya sejarah kemerdekaan yang dimuat di
situ, Rengasdengklok, Garuda yang menubruk gunung Sibayak,
Bimas, candak klak, undang-undang perkawinan, dan lain-lain.
(Suginem tersipu-sipu dan lama baru menjawab.) Tidak saya baca,
bu.
Lho! Bacaan yang berharga itu tidak kamu baca? Untuk apa itu
dipinjamkan padamu? Cuma lihat iklannya thok? Kamu cuma menelan
ampasnya, bukan intisarinya. Bagaimana meningkatkan mutumu kalau
begini! Maiah merosot dimakan iklan melulu. Mengapa tidak baca,
apa kurang waktu?
Saya tidak bisa baca, bu.
Tidak bisa? Suginem tidak bisa baca? Katamu dulu sampai kelas
empat. Gayamu sudah persis kota, pakai lipstik segala.
Memang saya sampai kelas empat, tapi tidak pernah baca. Untuk
orang kampung bacaan itu mahal sekali. Majalah sampai limaratus
perak atau lebih. Bekerja sehali belum tentu dapat tigaratus
perak Yang baca koran pun tidak ada di desa. Kemudian ilmunya
hilang, tidak bisa baca lagi. Di kampung kami banyak sekali
begitu. Waktu majalah itu saya bawa pulang, yang dilihat adik
dan tetangga cuma gambarnya. Terserah kalau dikatakan ampas.
Lebih dari ampas. Kalau begitu Suginem tidak memerlukan majalah
lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini