KETIKA pesawat Garuda DC 9 dari Jakarta yang bernomor
penerbangan GA-182 mau mendarat di Polonia Medan pada jam 16.00
sore Senin 24 September itu beberapa polisi berpakaian preman
tampak sibuk. Terdengar bisik-bisik "Pengantin yang kita tunggu
itu sebentar lagi mendarat. Siapkan jemputan. Laksanakan...."
Setelah pintu pesawat dibuka muncul sang pengantin. Kedua
tangannya diborgol ke belakang diapit dua orang pengawal dan di
belakang membuntut seorang. Si pengantin cepat didorong ke dalam
sedan yang sudah menunggu. Adegan begitu cepat hingga tak sempat
mengundang perhatian orang yang sedang sesak di terminal.
Siapa pengantinnya? Ia adalah Emra Kamaruddin. Bujangan ini (28
tahun) jadi buronan polisi setelah terjadi tragedi di Stadion
Teladan Medan. Minggu 16 September, yang mengambil korban peajar
SD dan SLTP meninggal karena terinjak-injak massa yang ingin
nonton acara Adi Bing Slamet. (TEMPO 22 September).
Emra, Direktur PT Kamar Jaya, yang dinyatakan turut
bertanggungjawab atas 'tragedi di Stadion Teladan, setelah dari
Polonia kemudian dihadapkan ke Kadapol II srigjen JFR Montolalu
yang menunggu di markas polisi di Jalan H. Zainul Arifin.
Bekas Muridnya
Emra ditangkap Intel Markas Besar Kepolisian (Mabak) Sabtu 22
September di sebuah hotel tak begitu terkenal di Jakarta, ketika
sedang bersenang-senang dengan seorang wanita," kata sebuah
sumber di Kodak II. Ada yang mengatakan dia ditangkap di kamar
hotel itu berkat laporan seorang pelayan hotel.
Dua kawannya belum berhasil diciduk. Mereka adalah dua
bersaudara Aidil Azhar alias Kancil dan Karim, rnerupakan
bendahara dan wakil ketua pelaksana show Adi Bing Slamet di
Teladan itu. Tetapi berdasar pengakuan Emra empat persembunyian
mereka sudah diketahui.
Cerita Emra Kamaruddin lari ke Jakarta agak menarik juga. Meski
korban sudah jatuh di Stadion Teladan, pagi itu ia masih mundar
mandir di Hotel Danau Toba. Di antara yang melihatnya adalah
Haji A. Rahman Lubis, orang yang mencetak karcis pertunjukkan.
Ia menjumpai Emra Kamaruddin karena ongkos cetak tiket belum
dibayar sepeserpun. Sampai jam 09.00 pagi Emra dan dua
saudaranya masih di rumah membenahi uang hasil penjualan karcis.
Menurut seorang tetangga "uang itu sampai dua goni gandum."
Sekitar jam 11.00 siang beberapa petugas di Kotabes Medan &
Sekitarnya sibuk mencari Emra dan menyelidiki identitasnya.
Rumah yang merangkap alamat kantor perusahaannya di Jalan
Sipiso-piso di belakang Masjid Raya Al-Mausun itu digerebek.
Tetapi polisi tak menemukan apa-apa.
Emra dan kawanannya menuju ke Padang secara estafet dengan
menumpang beberapa kendaraan. Barulah dari Padang dia terbang ke
Jakarta.
Emra Kamaruddin pernah jai pegawai Pertamina di Medan. Ketika
masih bersekolah di SMA Negeri IX Medan, ia juga jadi murid SR
Sitohang (ketua PGRI Sumatera Utara) yang kini ditahan di
Markotabes Medan. Konon, antara Sitohang dengan murid yang
menjerumuskannya itu ada pula kesan-kesan lain yang sulit mereka
lupakan. Ketika di sekolah itu, dulu, Sitohang pernah menampar
muka Emra. Anak ini terbilang bandel. Tetapi kalangan
tetangganya di Jalan Sipiso-piso mengenal Emra sebagai "alim",
tetapi "sedikit kelihatan angkuh ".
Sebelum peristiwa di Stadion Teladan Emra sering mundar mandir
di daerah pertokoan kalangan elite Medan di Kesawan. Hubungannya
dengan segelintir pengurus PGRI Sumatera Utara dan Kotamadya
Medan sudah agak lama terjalin. Emra sering mengerjakan
pesananpesanan PGRI Sumatera Utara, seperti memborong pembuatan
kotak P3K dan dijual ke sekolah-sekolah. Menjelang Kongres PGRI
Mei lalu Emra mengerjakan cetak sablon 12 lusin baju kaos dan
diserahkan melalui SR Sitohang.
Kegiatannya sebagai direktur PT Kamar Jaya baru sekitar Pebruari
lalu. Perusahaannya itu, menurut Monrolalu, sifatnya avonture.
Alamat perusahaannya menempel di rumah keluarganya di Jalan
Sipiso-piso. "Dia sendiri tidur di hotel," kata Montolalu. Tentu
saja karena jenis perusahaan seperti ini merupakan "PT angin
ribut,"sehingga tidak didaftar dan tidak ada surat Izin usaha
dari Kanwil Departemen Perdagangan Sumatera Utara. Sementara
kontrak kerja sebagai penyelenggara pertunj-kan Adi sing Slamet
itu dengan PGRI Sumatera Utara hanya berdasar perjanjian ' di
bawah tangan" antara Emra dengan Sitohang.
Dalam perjanjian lisan itu PGRI Sumatera Utara dikatakan akan
mendapat hagian keuntungan Rp 1 juta.
Emra dikurung di sebuah tempat yang dirahasiakan dan dijaga
ketat. Polisi tidak menyebutkan di mana ia ditahan--di markas
Kodak atau di tempat lain. Hanya saja sejak 24 September lalu
ada suasana yang tidak seperti biasanya di markas kepolisian
Kotabes Medan & Sekitarnya di Jalan Bali wartawan tak dibolehkan
menginjak halaman kantor polisi. Yang berani masuk, "akan saya
usir dari sini," kata Komandan Sat. Sabhara Kapten Pol. Syahril.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini