Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sampe tuahta bercerita

Kisah seorang anak yang nyaris menjadi korban di stadion teladan medan ketika terjadi kerusuhan pertunjukan adi bing slamet. malapetaka itu mengakibatkan 3 anak meninggal dunia.(krim)

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK-ANAK merengek. "Sedangkan guru saja menyuruh kami-nonton, kok ibu melarang," desak Sampe Tuahta (10 tahun) murid kelas 3 Sekolah Dasar 53 Padang Bulan, Medan. Kakaknya, Sehmin (14 tahun) murid kelas 5, ikut-ikutan memojokkan ibunya "Ibu guru bilang, yang tak nonton pasti rugi!" Maka jadilah Nurhayati Sembiring pagi itu, Minggu 19 September, menggiring anak-anaknya Zubaidah (16 tahun, murid kelas 3 SMP), Sehmin, Sampe Tuahta dan si bungsu Afrida (8 tahun), ke Stadion Teladan ramai-ramai mau norlton pertunjukan Adi Bing Slamet. Muhammad Mandat, sopir Colt, mengantar keluarganya. Turut bersama mereka Rukiah dan anaknya Suprapto (10 tahun, murid kelas 3 SD). Walaupun acara rencananya akan dimulai pukul 9 pagi, supaya enak, Mandat telah menurunkan keluarganya di stadion sejak jam 06.30. Di pintu masuk keluarga ini harus berpisah. Nurhayati dan Rukiah, yang membeli karcis seharga Rp 750, harus masuk melalui pintu VIP. Sedangkan Zubaidah, yang berjanji akan menjaga adik-adiknya dan Suprapto anak Rukiah, ikut anak-anak sekolah lain menunggu masuk di muka pintu khusus murid yang memegang karcis seharga Rp 250. Cuma si kecil Afrida yang diizinkan petugas digendong ibunya. Nurhayati dan Rukiah bisa segera masuk. Tapi menurut Nurhayati, sampai agak siang dia masih melihat pintu kiri stadion bagi murid sekolah belum juga dibuka. Ia hanya mendengar suara hiruk-pikuk. Ibu ini gelisah. Perasaannya sudah tidak enak. Sebab ia hanya melihat hanya sekitar 15 polisi saja yang berjaga. Jam 8 barulah kelihatan pintu dibuka bukan main. Nurhayati melihat bocah-bocah membanjir ke stadion dari pintu yang tidak cukup lebar bagi mereka yang berjubel. "Macam air bah," katanya. Dia berusaha mencari-cari anaknya di antara lautan bocah tersebut. Tapi tak ketemu. Jantung isteri hohammad Mandat ini terasa copor begitu melihat orang menggotong dua anak kecil yang sudah tak keruan macamnya. Bagaimana pula nasib anak-anaknya? Dicobanya mencari di luar lapangan. Juga tak bersua. Sekitar jam 11 suaminya datang menyusul. "Ah, sabar saja, mungkin. . ." ujar Mandat menyabarkan isterinya. Setiap kenalan yang mereka' temui menggelengkan kepala--mereka juga sedang sibuk mencari anak masing-masing. Nurhayati dan Rukiah mulai menangis melolong-lolong. Akhirnya mereka memutuskan pulang saja. Barangkali saja anak mereka sudah tiba duluan. Tapi di tengah jalan kendaraan mereka distop oleh seseorang -- saking paniknya sampai tak ingat lagi siapa namanya--menyampaikan kabar buruk: dia melihat Suprapto ada di rumah sakit .... tapi sudah tewas. Rukiah pingsan seketika. Lebih dulu Mandat membawa isteri dan tetangganya pulang. Setelah itu dengan deg-degan, dia ikut s,erombongan besar orang memeriksa korban di rumah sakit. Tapi, " ya, Allah, apa dosaku!" jerit Mandat dengan kaki lemas. Di samping mayat Suprapto, anak tetangganya, terbujur mayat kedua anaknya, Zubaidah dan Sehmin. Mandat lama terduduk. Sorenya, jam 15.00, dia angkut tiga jenazah.dengan mobilnya. "Saya rasanya seperti mimpi. Paginya mereka saya antar untuk bersenang-senang, sorenya saya hanya menjemput mayatnya," keluh Mandat. Batak bertubuh kekar dan berkulit hitam ini meneteskan air mata. Anaknya yang selamat, Sampe Tuahta, bercerita. Setelah berpisah dengan ibunya Zubaidah mencoba menjaga adik-adiknya. Mereka saling berpegangan dan ikut berdesakan dengan yang lain di muka pintu masuk. "Mau maJu pintu masih tertutup, mau mundur di desak dari belakang," tutur Sampe. Hampir satu jam begitu ceritanya, desak dan himpit bertubi-tubi. Tiba-tiba ada yang berteriak: Adi Bing Slamet datang! Nah, ter jadilah desak-desakan makin menggila. Seorang bertubuh "besar" melanggar tubuh Sampe. Tangan kecil itu lepas dari baju kakaknya dan jatuh tertendang. Sementara dia terlentang entah berapa pasang kaki menginjak selu ruh tubuhnya. Kakaknya, Zubaidah mengulurkan tangan dan berhasi menggaet tangan adiknya. Sampe ter tolong, tapi Zubaidah terdorong desakan dan jatuh ke belakang. Zubaidah menjerit minta tolong. Sampe, yang melihat tubuh kakaknya diinjak-injak, juga berteriak "Tolong kakakku .... tolong .... ! " Tapi siapa yang sempat mendengar? Berikutnya Sampe terbawa arus yang menggilas tubuh kakaknya. Sampe yang kecil itu masih berusaha melawan arus. Sampai kakinya terjegal dan ia jatuh lagi. Kembali berpasang-pasang sepatu mendarat di atas tubuhnya. "Wah, bisa mati aku," katanya belakangan. Bagaimana ia dapat selamat? Rupanya, dalam kegentingan, Sampe punya akal: dia gigit kaki-kaki yang nyenggol dekat mulutnya. Hampir seluruh tubuhnya berdarah, tapi ia selamat. "Itu semua gara-gara panitia mau cari duit saja--guru-guru sekarang mikirin uang saja," tuduh Nurhayati. Dia benci sekali kepada guru yang menjual karcis dan menganjurkan anak-anaknya nonton acara yang urung itu. "Rasanya saya ingin menikamnya dengan pisau kalau teringat kedua anak saya .... tapi apa gunanya lagi?" desah ibu ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus