ANAK-ANAK merengek. "Sedangkan guru saja menyuruh kami-nonton,
kok ibu melarang," desak Sampe Tuahta (10 tahun) murid kelas 3
Sekolah Dasar 53 Padang Bulan, Medan. Kakaknya, Sehmin (14
tahun) murid kelas 5, ikut-ikutan memojokkan ibunya "Ibu guru
bilang, yang tak nonton pasti rugi!"
Maka jadilah Nurhayati Sembiring pagi itu, Minggu 19 September,
menggiring anak-anaknya Zubaidah (16 tahun, murid kelas 3 SMP),
Sehmin, Sampe Tuahta dan si bungsu Afrida (8 tahun), ke Stadion
Teladan ramai-ramai mau norlton pertunjukan Adi Bing Slamet.
Muhammad Mandat, sopir Colt, mengantar keluarganya. Turut
bersama mereka Rukiah dan anaknya Suprapto (10 tahun, murid
kelas 3 SD). Walaupun acara rencananya akan dimulai pukul 9
pagi, supaya enak, Mandat telah menurunkan keluarganya di
stadion sejak jam 06.30.
Di pintu masuk keluarga ini harus berpisah. Nurhayati dan
Rukiah, yang membeli karcis seharga Rp 750, harus masuk melalui
pintu VIP. Sedangkan Zubaidah, yang berjanji akan menjaga
adik-adiknya dan Suprapto anak Rukiah, ikut anak-anak sekolah
lain menunggu masuk di muka pintu khusus murid yang memegang
karcis seharga Rp 250. Cuma si kecil Afrida yang diizinkan
petugas digendong ibunya.
Nurhayati dan Rukiah bisa segera masuk. Tapi menurut Nurhayati,
sampai agak siang dia masih melihat pintu kiri stadion bagi
murid sekolah belum juga dibuka. Ia hanya mendengar suara
hiruk-pikuk. Ibu ini gelisah. Perasaannya sudah tidak enak.
Sebab ia hanya melihat hanya sekitar 15 polisi saja yang
berjaga.
Jam 8 barulah kelihatan pintu dibuka bukan main. Nurhayati
melihat bocah-bocah membanjir ke stadion dari pintu yang tidak
cukup lebar bagi mereka yang berjubel. "Macam air bah," katanya.
Dia berusaha mencari-cari anaknya di antara lautan bocah
tersebut. Tapi tak ketemu.
Jantung isteri hohammad Mandat ini terasa copor begitu melihat
orang menggotong dua anak kecil yang sudah tak keruan macamnya.
Bagaimana pula nasib anak-anaknya? Dicobanya mencari di luar
lapangan. Juga tak bersua. Sekitar jam 11 suaminya datang
menyusul. "Ah, sabar saja, mungkin. . ." ujar Mandat menyabarkan
isterinya. Setiap kenalan yang mereka' temui menggelengkan
kepala--mereka juga sedang sibuk mencari anak masing-masing.
Nurhayati dan Rukiah mulai menangis melolong-lolong.
Akhirnya mereka memutuskan pulang saja. Barangkali saja anak
mereka sudah tiba duluan. Tapi di tengah jalan kendaraan mereka
distop oleh seseorang -- saking paniknya sampai tak ingat lagi
siapa namanya--menyampaikan kabar buruk: dia melihat Suprapto
ada di rumah sakit .... tapi sudah tewas. Rukiah pingsan
seketika.
Lebih dulu Mandat membawa isteri dan tetangganya pulang. Setelah
itu dengan deg-degan, dia ikut s,erombongan besar orang
memeriksa korban di rumah sakit. Tapi, " ya, Allah, apa dosaku!"
jerit Mandat dengan kaki lemas. Di samping mayat Suprapto, anak
tetangganya, terbujur mayat kedua anaknya, Zubaidah dan Sehmin.
Mandat lama terduduk.
Sorenya, jam 15.00, dia angkut tiga jenazah.dengan mobilnya.
"Saya rasanya seperti mimpi. Paginya mereka saya antar untuk
bersenang-senang, sorenya saya hanya menjemput mayatnya," keluh
Mandat. Batak bertubuh kekar dan berkulit hitam ini meneteskan
air mata.
Anaknya yang selamat, Sampe Tuahta, bercerita. Setelah berpisah
dengan ibunya Zubaidah mencoba menjaga adik-adiknya. Mereka
saling berpegangan dan ikut berdesakan dengan yang lain di muka
pintu masuk. "Mau maJu pintu masih tertutup, mau mundur di desak
dari belakang," tutur Sampe. Hampir satu jam begitu ceritanya,
desak dan himpit bertubi-tubi.
Tiba-tiba ada yang berteriak: Adi Bing Slamet datang! Nah, ter
jadilah desak-desakan makin menggila. Seorang bertubuh "besar"
melanggar tubuh Sampe. Tangan kecil itu lepas dari baju kakaknya
dan jatuh tertendang. Sementara dia terlentang entah berapa
pasang kaki menginjak selu ruh tubuhnya. Kakaknya, Zubaidah
mengulurkan tangan dan berhasi menggaet tangan adiknya. Sampe
ter tolong, tapi Zubaidah terdorong desakan dan jatuh ke
belakang.
Zubaidah menjerit minta tolong. Sampe, yang melihat tubuh
kakaknya diinjak-injak, juga berteriak "Tolong kakakku ....
tolong .... ! " Tapi siapa yang sempat mendengar? Berikutnya
Sampe terbawa arus yang menggilas tubuh kakaknya.
Sampe yang kecil itu masih berusaha melawan arus. Sampai kakinya
terjegal dan ia jatuh lagi. Kembali berpasang-pasang sepatu
mendarat di atas tubuhnya. "Wah, bisa mati aku," katanya
belakangan. Bagaimana ia dapat selamat? Rupanya, dalam
kegentingan, Sampe punya akal: dia gigit kaki-kaki yang nyenggol
dekat mulutnya. Hampir seluruh tubuhnya berdarah, tapi ia
selamat.
"Itu semua gara-gara panitia mau cari duit saja--guru-guru
sekarang mikirin uang saja," tuduh Nurhayati. Dia benci sekali
kepada guru yang menjual karcis dan menganjurkan anak-anaknya
nonton acara yang urung itu. "Rasanya saya ingin menikamnya
dengan pisau kalau teringat kedua anak saya .... tapi apa
gunanya lagi?" desah ibu ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini