Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Nabi Ibrahim dan ibadah haji

Nabi ibrahim memperkenalkan tuhan yang esa yang imanen dan transenden. mengumandangkan neraca keadilan ilahi. praktek ibadah haji mempunyai makna pengakuan keesaan tuhan. manusia punya nilai tinggi.

23 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA ilmuwan sering berbicara tentang penemuan-penemuan yang mempengaruhi atau bahkan mengubah jalannya sejarah. Tapi kita sering lupa bahwa ada penemuan yang terbesar dan tak dapat diabaikan oleh siapa saja. Yakni penemuan Nabi Ibrahim a.s. Kata Abbas Mahmud Al-Akad, ulama dan filsuf besar Mesir. "Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik-buruknya." Bila penemuan ini menguasai jiwa dan raga manusia, sebab penemuan itu "berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk dan hubungannya dengan Tuhan, alam raya, dan makhluk-makhluk sesamanya." Itulah penemuan Ibrahim tentang Tuhan Yang Esa. Penemuan itu yang menyebabkan "kepastian" yang dibutuhkan oleh para ilmuwan tak akan mungkin diperoleh tanpa melalui keyakinan ajaran Nabi Ibrahim. Sebab, apa yang akan menjamin kepastian tersebut bila suatu ketika ada tuhan satu yang mengatur alam ini, dan di ketika yang lain tuhan dua yang melakukannya? Maka, monoteisme Nabi Ibrahim a.s. bukan sekadar merupakan hakikat keagamaan yang benar, tapi sekaligus menjadi penunjang akal ilmiah manusia yang lebih tepat, lebih teliti, dan lebih meyakinkan. Tuhan yang diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim bukan sekadar tuhan suku, bangsa, atau golongan. Tapi Tuhan seru sekalian alam. Tuhan yang imanen sekaligus transenden. Tuhan yang dekat pada manusia, yang menyertainya dalam keseluruhan dan orang per orang. Yang menyertainya kala manusia sendirian atau ketika dalam kelompok. pada saat manusia diam atau bergerak kala tidur atau jaga di masa kehidupan, sebelumnya, dan sesudah kehidupan dan kematiannya. Bukan Tuhan yang sifat-sifatnya hanya menjadi monopoli pengetahuan para pemuka agama. Tapi Tuhan manusia seluruhnya secara universal. Memang benar bahwa di Mesir 5.000 tahun silam telah dikumandangkan ajaraan keesaan Tuhan, serta persamaan antara sesama manusia. Tapi itu hanya berupa dekrit "Ikhnatun" dari singgasana kekuasaan, yang kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa sesudahnya. Ibrahim a.s. datang mengumandangkan neraca keadilan Ilahi yang membuat manusia sama semuanya di hadapan-Nya. Hingga, betapapun kuatnya seseorang, sama saja kedudukannya dengan seseorang lain yang begitu lemah di hadapan Tuhan. Bukankah kekuatan si kuat diperoleh dari-Nya, dan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya? Dia Yang Mahakuasa bisa mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu kepada siapa saja sesuai dengan sunah-sunah yang ditetapkannya. Ibrahim hadir di pentas dunia pada suatu masa ketika pandangan tentang manusia dan kemanusiaan ada di persimpangan. Ketika dua pandangan berlawanan muncul. Yakni antara dibolehkannya manusia dijadikan korban sesaji atau tidak dibolehkannya karena alasan bahwa manusia adalah makhluk yang tinggi nilainya. Lewat Ibrahim a.s. mengorbankan manusia sebagai sesaji tegas dilarang. Bukan dengan alasan bahwa manusia tinggi nilainya, tapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tingginya nilai manusia tak ada artinya bila Tuhan menghendaki pengorbanan. Begitulah, Tuhan pun memerintahkan Ibrahim mengorbankan Ismail. Dan dengan kekuasaan-Nya digantilah Ismail dengan seekor domba. Domba itulah yang tersembelih oleh pedang Ibrahim. Itulah pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya kepada manusia maka praktek pengorbanan semacam itu tak diperkenankan. Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan pengalaman-pengalaman rohaniah. Dan itu bukan hanya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam, seperti diuraikan dalam Surat Al An'am 6:75. Juga keyakinan tentang hari kebangkitan. Beliaulah satu-satunya nabi yang disebut dalam Quran minta kepada Tuhan untuk diperlihatkan bagaimana caranya menghidupkan yang mati. Permintaan itu dikabulkan (Surat Al Baqarah 2:260). Demikianlah sebagian kecil keistimewaan Nabi Ibrahim.a.s. Keistimewaan yang menyebabkan ia dijadikan teladan bagi seluruh umat manusia. Karena keteladanan itulah, antara lain, ibadah haji diwajibkan. Sebab, beliaulah bersama Ismail a.s., putranya, yang membangun (kembali) fondasi Ka'bah, dan beliau pulalah yang diperintahkan mengumandangkan syariat haji. Itu menjelaskan mengapa ritual ibadah haji berkaitan dengan peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya. Ibadah haji pada hakikatnya merupakan penegasan kembali tentang keterikatan para jamaah dengan prinsip keyakinan yang dianut Nabi Ibrahim a.s., yang intinya adalah: pengakuan keesaan Tuhan keyakinan adanya neraca keadilan Tuhan keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal. Ketiga hal itu tercermin dengan jelas atau dilambangkan dalam praktek ibadah haji.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus